Khamis, 2 Jun 2011
pondok terpencil
Dhea mengerang sadarkan diri. Kepalanya seakan-akan ingin pecah. Ia berusaha mengingat apa yang telah terjadi tapi tidak berhasil. Ia ingat pergi ke sebuah pesta dan bertemu dengan laki-laki kurus dan berusaha mendekatinya.
Akhirnya ketika Dhea bosan ia pergi meninggalkan pesta tadi. Ia sedang berjalan menuju mobilnya ketika segalam tiba-tiba menjadi gelap. Dhea bangun dan duduk, sadar dirinya ada di sebuah bale-bale di sebuah rumah sederhana. Tidak ada lampu satupun tapi ia bisa melihat cahaya datang dari ruangan sebelah dan mendengar suara-suara. Seseorang masuk ke dalam ruangan itu dan berkata, “Sudah waktunya lo bangun cewek manis! Kita udah lama nunggu nggak sabar bersenang-senang sama lo!” Kemudian laki-laki itu berkata bahwa Dhea telah disergap dari belakang dan kepalanya dipukul hingga pingsan dan dibawa ke sebuah rumah kecil di dekat Pelabuhan Ratu, di sebuah desa kecil jauh dari manapun.
Laki-laki itu mendekati Dhea dan berkata bahwa ia dan teman-temannya tidak segan-segan membunuhnya jika ia tidak menuruti semua perintah mereka. Mereka akan menyiksa Dhea dulu dan akan butuh waktu lama dan menyakitkan sebelum ia bisa mati. Ketakutan, Dhea berkata ia akan menuruti semua perintah mereka, dan laki-laki itu tersenyum.
“Oke, masuk ke ruangan itu dan buka pakaian lo, semuanya!”
Dhea berjalan perlahan masuk ke ruangan sebelah, masih pusing akibat pukulan di kepalanya. Nafas Dhea tersentak ke ia masuk ke ruangan itu. Ada 12 laki-laki di dalam ruangan itu. Semuanya berbadan besar dan kekar, melihat penampilannya mereka adalah buruh pelabuhan atau pabrik yang kasar. Mereka semuanya adalah laki-laki paling besar yang pernah dilihat oleh Dhea! Mereka mulai bersiul dan berkomentar sambil berseru kagum dan memanggil Dhea dengan julukan jorok ketika Dhea mulai melepaskan pakaiannya. Ketika buah dada Dhea yang kecil tapi padat dan bulat terlihat, ia bisa melihat seluruh penis laki-laki itu langsung menegang. Dan ketika vagina Dhea terlihat jelas, Dhea merasa dirinya akan mati ketakutan ketika melihat tatapan penuh nafsu dari wajah-wajah beringas di hadapannya. Ia sangat ketakutan membayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya.
Laki-laki pertama maju mendekatinya. Ia bertubuh hitam. Ia meremas buah dada Dhea dan menyuruhnya untuk berkeliling dan mengulum penis setiap orang di ruangan itu. Wajah Dhea memerah ketika ia mendekati laki-laki yang pertama. Laki-laki itu langsung memasukan penisnya ke dalam mulut Dhea dan langsung memompa keluar masuk di mulut Dhea. Dhea sendiri mulai tersedak dan batuk, tapi laki-laki itu tanpa peduli mendorong penisnya masuk hingga tenggorokan. Ia mengerang dan berejakulasi. Dhea merasakan mulutnya terisi oleh semburan sperma yang hangat dan lengket, dan ia berusaha untuk menelan semuanya, tapi sperma itu tetap mengalir keluar dari sudut mulutnya, mengalir ke dagunya.
Semua laki-laki itu tertawa ketika Dhea merangkak mendekati laki-laki berikutnya. Semua sudah begitu terangsang membayangkan mulut Dhea di penis mereka, sehingga tidak ada yang bisa bertahan lama. Satu persatu dari mereka bergantian mengusapkan penis mereka pada wajah, hidung serta bibir Dhea. Mereka bergantian memaksa Dhea mengulum dan menjilati penis mereka.
Sekitar 40 menit kemudian, Dhea telah menelan 12 semburan sperma dan di wajahnya menempel sisa-sisa sperma yang tidak berhasil ia telan. Lalu seorang dari mereka mendekat dan menyuruhnya bertumpu pada lutut dan tangannya. Dhea berpikir dengan posisi merangkak seperti itulah dirinya akan mulai diperkosa dari belakang, tapi jantungnya seperti berhenti berdenyut ketika mendengar laki-laki itu berkata, “Siapa yang mau pertama kali ngerasain pantat bintang film kita ini?”. Sebelum Dhea sadar apa yang akan terjadi, Dhea merasakan sebuah kepala penis besar menempel di liang anusnya yang sempit dan kecil. Laki-laki dibelakangnya mendorong keras dan Dhea langsung menjerit kesakitan. Laki-laki yang lain tertawa senang melihat liang anus Dhea membuka dipaksa dimasuki oleh penis yang besar itu. Laki-laki itu bergerak cepat dan brutal, ber-ejakulasi di dalam anus Dhea memberika pelumas untuk laki-laki selanjutnya.
Ketika laki-laki selanjutnya sedang memperkosa anus Dhea, laki-laki yang lain memegang salah satu dari kaki Dhea dan menariknya. Kemudian ia menggosokan penisnya ke telapak kaki Dhea yang berkerut dan mengejang menahan sakit. Laki-laki itu terus menggosokan penisnya ke telapak kaki hingga jari-jari kaki Dhea yang kukunya dicat merah menyala, sementara semua laki-laki di ruangan itu bergantian mencoba anusnya. Beberapa laki-laki yang lain berlutut di depan Dhea dan mengocok senjata mereka di muka Dhea. Dan ketika laki-laki di hadapannya mulai menyemburkan sperma mereka ke wajah Dhea, laki-laki yang ada di pantatnya menarik penisnya dan sedetik sebelum ia ejakulasi, ia mendorong penisnya masuk ke dalam vagina Dhea yang perawan. Semburan demi semburan mengisi lubang kewanitaan Dhea dengan sperma. Dhea mulai menangis menyadari dirinya bisa hamil oleh mereka.
Sementara itu laki-laki yang menggunakan kakinya menggosok-gosok makin cepat dan keras. Ia berteriak, “Aahh.., gue kelluarr.., gue kkeluaar..!” Air mani langsung tersembur ke telapak kaki Dhea dan mengalir membasahi jari-jari kakinya. Selanjutnya semua 12 orang itu mendapat giliran menggunakan anus Dhea untuk memuaskan nafsu mereka, bergantian mereka menampar dan memukul pantat Dhea sambil tertawa senang melihat lubang anus Dhea membesar. Mereka menjulukinya Dhea Si Lubang Besar. Laki-laki yang terakhir juga memasukan tangannya hingga pergelangan ke dalam anus Dhea. Dhea menjerit dan menjerit ketika tangan laki-laki itu masuk ke dalam anusnya. Kemudian mereka semua memerintahkan agar Dhea menjilati penis mereka hingga bersih. Perut Dhea terasa mual tapi ia tetap menurut perintah mereka dengan harapan mereka akan puas dan meninggalkan dirinya.
Yang selanjutnya terjadi adalah, mereka menarik tubuh Dhea dan diseret keluar, untuk pertama kalinya Dhea sadar dirinya berada di tempat terpencil dari keramaian. Laki-laki itu mendorong tubuhnya menuju ke sebuah kandang. Dhea jatuh tersungkur kelelahan dan kesakitan. Tubuhnya gemetar ketika ia mendengar ringkikan kuda di dalam kandang itu. Dhea mulai menangis dan meronta-ronta ketika dirinya diseret mendekati kuda yang ada di dalam kandang. Seseorang berkata, “Lo bakalan ngerasain bagaimana rasanya kuda sayang!” Perlahan tangan Dhea meraih penis kuda tersebut dan mulai menggosoknya, dan tersentak melihat ukuran penisnya. Panjangnya dua kali dari panjang penis laki-laki yang pernah dilihatnya, dan tangannya sama sekali tidak bisa menggenggam diameter penis kuda itu. Dhea berharap ia hanya disuruh mengocok penis tersebut, tapi laki-laki itu berkata agar Dhea mengulum penis itu dengan mulutnya. Dengan air mata mengalir di pipinya, Dhea mulai menjilati penis kuda tersebut, hampir saja ia muntah karena bau yang tercium olehnya. Dhea hanya mampu memasukan kepala penis kedua itu saja ke dalam mulutnya, sedangkan tangannya digunakan untuk mengocok batang penis kuda itu.
Semburan sperma yang pertama membuat kepala Dhea terdorong menjauh dari penis itu. Semburan yang kedua menyembur ke wajah dan buah dadanya. Ia membuka mulutnya dan berusaha menelah sperma yang disemprotkan oleh kuda itu. Wajah Dhea tertutup seluruhnya oleh sperma kuda dan rambutnya lengket karena sperma tersebut. Sebagian besar sperma itu mengalir turun dan menetes ke budah dada Dhea.
Dhea langsung jatuh tersungkur lemas berpikir semua itu telah selesai. Satu dari laki-laki itu berlutut di depan wajahnya dan menyeringai ketika berkata ini adalah permulaan bagi diri Dhea. Ia berkata agar Dhea bersiap-siap menunggu sampai sisa kelompok mereka sampai ke pondok tersebut.
TAMAT
Akhirnya ketika Dhea bosan ia pergi meninggalkan pesta tadi. Ia sedang berjalan menuju mobilnya ketika segalam tiba-tiba menjadi gelap. Dhea bangun dan duduk, sadar dirinya ada di sebuah bale-bale di sebuah rumah sederhana. Tidak ada lampu satupun tapi ia bisa melihat cahaya datang dari ruangan sebelah dan mendengar suara-suara. Seseorang masuk ke dalam ruangan itu dan berkata, “Sudah waktunya lo bangun cewek manis! Kita udah lama nunggu nggak sabar bersenang-senang sama lo!” Kemudian laki-laki itu berkata bahwa Dhea telah disergap dari belakang dan kepalanya dipukul hingga pingsan dan dibawa ke sebuah rumah kecil di dekat Pelabuhan Ratu, di sebuah desa kecil jauh dari manapun.
Laki-laki itu mendekati Dhea dan berkata bahwa ia dan teman-temannya tidak segan-segan membunuhnya jika ia tidak menuruti semua perintah mereka. Mereka akan menyiksa Dhea dulu dan akan butuh waktu lama dan menyakitkan sebelum ia bisa mati. Ketakutan, Dhea berkata ia akan menuruti semua perintah mereka, dan laki-laki itu tersenyum.
“Oke, masuk ke ruangan itu dan buka pakaian lo, semuanya!”
Dhea berjalan perlahan masuk ke ruangan sebelah, masih pusing akibat pukulan di kepalanya. Nafas Dhea tersentak ke ia masuk ke ruangan itu. Ada 12 laki-laki di dalam ruangan itu. Semuanya berbadan besar dan kekar, melihat penampilannya mereka adalah buruh pelabuhan atau pabrik yang kasar. Mereka semuanya adalah laki-laki paling besar yang pernah dilihat oleh Dhea! Mereka mulai bersiul dan berkomentar sambil berseru kagum dan memanggil Dhea dengan julukan jorok ketika Dhea mulai melepaskan pakaiannya. Ketika buah dada Dhea yang kecil tapi padat dan bulat terlihat, ia bisa melihat seluruh penis laki-laki itu langsung menegang. Dan ketika vagina Dhea terlihat jelas, Dhea merasa dirinya akan mati ketakutan ketika melihat tatapan penuh nafsu dari wajah-wajah beringas di hadapannya. Ia sangat ketakutan membayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya.
Laki-laki pertama maju mendekatinya. Ia bertubuh hitam. Ia meremas buah dada Dhea dan menyuruhnya untuk berkeliling dan mengulum penis setiap orang di ruangan itu. Wajah Dhea memerah ketika ia mendekati laki-laki yang pertama. Laki-laki itu langsung memasukan penisnya ke dalam mulut Dhea dan langsung memompa keluar masuk di mulut Dhea. Dhea sendiri mulai tersedak dan batuk, tapi laki-laki itu tanpa peduli mendorong penisnya masuk hingga tenggorokan. Ia mengerang dan berejakulasi. Dhea merasakan mulutnya terisi oleh semburan sperma yang hangat dan lengket, dan ia berusaha untuk menelan semuanya, tapi sperma itu tetap mengalir keluar dari sudut mulutnya, mengalir ke dagunya.
Semua laki-laki itu tertawa ketika Dhea merangkak mendekati laki-laki berikutnya. Semua sudah begitu terangsang membayangkan mulut Dhea di penis mereka, sehingga tidak ada yang bisa bertahan lama. Satu persatu dari mereka bergantian mengusapkan penis mereka pada wajah, hidung serta bibir Dhea. Mereka bergantian memaksa Dhea mengulum dan menjilati penis mereka.
Sekitar 40 menit kemudian, Dhea telah menelan 12 semburan sperma dan di wajahnya menempel sisa-sisa sperma yang tidak berhasil ia telan. Lalu seorang dari mereka mendekat dan menyuruhnya bertumpu pada lutut dan tangannya. Dhea berpikir dengan posisi merangkak seperti itulah dirinya akan mulai diperkosa dari belakang, tapi jantungnya seperti berhenti berdenyut ketika mendengar laki-laki itu berkata, “Siapa yang mau pertama kali ngerasain pantat bintang film kita ini?”. Sebelum Dhea sadar apa yang akan terjadi, Dhea merasakan sebuah kepala penis besar menempel di liang anusnya yang sempit dan kecil. Laki-laki dibelakangnya mendorong keras dan Dhea langsung menjerit kesakitan. Laki-laki yang lain tertawa senang melihat liang anus Dhea membuka dipaksa dimasuki oleh penis yang besar itu. Laki-laki itu bergerak cepat dan brutal, ber-ejakulasi di dalam anus Dhea memberika pelumas untuk laki-laki selanjutnya.
Ketika laki-laki selanjutnya sedang memperkosa anus Dhea, laki-laki yang lain memegang salah satu dari kaki Dhea dan menariknya. Kemudian ia menggosokan penisnya ke telapak kaki Dhea yang berkerut dan mengejang menahan sakit. Laki-laki itu terus menggosokan penisnya ke telapak kaki hingga jari-jari kaki Dhea yang kukunya dicat merah menyala, sementara semua laki-laki di ruangan itu bergantian mencoba anusnya. Beberapa laki-laki yang lain berlutut di depan Dhea dan mengocok senjata mereka di muka Dhea. Dan ketika laki-laki di hadapannya mulai menyemburkan sperma mereka ke wajah Dhea, laki-laki yang ada di pantatnya menarik penisnya dan sedetik sebelum ia ejakulasi, ia mendorong penisnya masuk ke dalam vagina Dhea yang perawan. Semburan demi semburan mengisi lubang kewanitaan Dhea dengan sperma. Dhea mulai menangis menyadari dirinya bisa hamil oleh mereka.
Sementara itu laki-laki yang menggunakan kakinya menggosok-gosok makin cepat dan keras. Ia berteriak, “Aahh.., gue kelluarr.., gue kkeluaar..!” Air mani langsung tersembur ke telapak kaki Dhea dan mengalir membasahi jari-jari kakinya. Selanjutnya semua 12 orang itu mendapat giliran menggunakan anus Dhea untuk memuaskan nafsu mereka, bergantian mereka menampar dan memukul pantat Dhea sambil tertawa senang melihat lubang anus Dhea membesar. Mereka menjulukinya Dhea Si Lubang Besar. Laki-laki yang terakhir juga memasukan tangannya hingga pergelangan ke dalam anus Dhea. Dhea menjerit dan menjerit ketika tangan laki-laki itu masuk ke dalam anusnya. Kemudian mereka semua memerintahkan agar Dhea menjilati penis mereka hingga bersih. Perut Dhea terasa mual tapi ia tetap menurut perintah mereka dengan harapan mereka akan puas dan meninggalkan dirinya.
Yang selanjutnya terjadi adalah, mereka menarik tubuh Dhea dan diseret keluar, untuk pertama kalinya Dhea sadar dirinya berada di tempat terpencil dari keramaian. Laki-laki itu mendorong tubuhnya menuju ke sebuah kandang. Dhea jatuh tersungkur kelelahan dan kesakitan. Tubuhnya gemetar ketika ia mendengar ringkikan kuda di dalam kandang itu. Dhea mulai menangis dan meronta-ronta ketika dirinya diseret mendekati kuda yang ada di dalam kandang. Seseorang berkata, “Lo bakalan ngerasain bagaimana rasanya kuda sayang!” Perlahan tangan Dhea meraih penis kuda tersebut dan mulai menggosoknya, dan tersentak melihat ukuran penisnya. Panjangnya dua kali dari panjang penis laki-laki yang pernah dilihatnya, dan tangannya sama sekali tidak bisa menggenggam diameter penis kuda itu. Dhea berharap ia hanya disuruh mengocok penis tersebut, tapi laki-laki itu berkata agar Dhea mengulum penis itu dengan mulutnya. Dengan air mata mengalir di pipinya, Dhea mulai menjilati penis kuda tersebut, hampir saja ia muntah karena bau yang tercium olehnya. Dhea hanya mampu memasukan kepala penis kedua itu saja ke dalam mulutnya, sedangkan tangannya digunakan untuk mengocok batang penis kuda itu.
Semburan sperma yang pertama membuat kepala Dhea terdorong menjauh dari penis itu. Semburan yang kedua menyembur ke wajah dan buah dadanya. Ia membuka mulutnya dan berusaha menelah sperma yang disemprotkan oleh kuda itu. Wajah Dhea tertutup seluruhnya oleh sperma kuda dan rambutnya lengket karena sperma tersebut. Sebagian besar sperma itu mengalir turun dan menetes ke budah dada Dhea.
Dhea langsung jatuh tersungkur lemas berpikir semua itu telah selesai. Satu dari laki-laki itu berlutut di depan wajahnya dan menyeringai ketika berkata ini adalah permulaan bagi diri Dhea. Ia berkata agar Dhea bersiap-siap menunggu sampai sisa kelompok mereka sampai ke pondok tersebut.
TAMAT
anis seorang janda gantung
Aku mendapat tugas ke sebuah kota kabupaten di Kawasan Timur Indonesia. Ada sebuah peluang proyek baru disana. Aku berangkat dengan seorang Direktur. Setelah bertemu dengan para pejabat yang berwenang dan mengutarakan tujuan kedatangan kami, maka Direktur tersebut pulang terlebih dahulu karena masih ada urusan lain di Jakarta. Tinggalah aku disana mengurus semua perijinan sendirian saja.
Hotel tempatku menginap adalah sebuah hotel yang tidak terlalu besar, namun bersih dan enak untuk tinggal. Letaknya agak sedikit di pinggiran kota, sepi, aman, dan transport untuk kemana-mana relatif mudah. Aku mendapat kamar dilantai 2 yang letaknya menghadap ke laut. Setiap sore sambil beristirahat setelah seharian berputar-putar dari satu instansi ke instansi lainnya aku duduk di teras sambil melihat laut.
Para karyawan hotel cukup akrab dengan penghuninya, mungkin karena jumlah kamarnya tidak terlalu banyak, sekitar 32 kamar. Aku cukup akrab dan sering duduk di lobby, ngobrol dengan tamu lain atau karyawan hotel. Kadang-kadang dengan setengah bercanda aku ditawari selimut hidup oleh karyawan hotel, mulai dari room boy sampai ke security. Mereka heran selama hampir 3 minggu aku tidak pernah bawa perempuan. Aku tersenyum saja, bukan tidak mau bro, tapi pikiranku masih tersita ke pekerjaan.
Tak terasa sudah 3 minggu aku menginap di hotel. Karena surat-surat yang diperlukan sudah selesai, aku bisa sedikit bernafas lega dan mulai mencari hiburan. Tadi malam aku kembali dapat merasakan kehangatan tubuh perempuan setelah bergumul selama 2 ronde dengan seorang gadis panggilan asal Manado. Aku mendapatkannya dari security hotel. Meskipun orangnya cantik dan putih, tetapi permainannya tidak terlalu istimewa karena barangnya terlalu becek dan sudak kendor, tapi lumayanlah buat mengurangi sperma yang sudah penuh.
Dua hari lagi aku akan pulang. Transportasi di daerah ini memang agak sulit. Untuk ke Jakarta aku harus ke ibukota propinsi dulu baru ganti pesawat ke Jakarta. Celakanya dari kota ini ke ibukota propinsi dalam 1 minggu hanya ada 4 penerbangan dengan twin otter yang kapasitasnya hanya 17 seat. Belum lagi cadangan khusus buat pejabat Pemda yang tiba-tiba harus berangkat. Aku yang sudah booking seat sejak seminggu yang lalu, ternyata masih masuk di cadangan nomor 5.
Alternatifnya adalah dengan menaiki kapal laut milik Pelni yang makan waktu seharian untuk sampai ibukota propinsi. Rencanaku kalau tidak dapat seat pesawat terpaksa naik kapal laut.
Sore itu aku ngobrol dengan security, yang membantu mencarikan perempuan, sambil duduk-duduk di cafe hotel. Kami membicarakan gadis Manado yang kutiduri tadi malam. Kubilang aku kurang puas dengan permainannya.
Tiba-tiba saja pandanganku tertuju pada wanita yang baru masuk ke cafe. Wanita itu kelihatan bertubuh tinggi, mungkin 168 cm, badannya sintal dan dadanya membusung. Wajahnya kelihatan bukan wajah Melayu, tapi lebih mirip ke wajah Timur Tengah.
Security itu mengedipkan matanya ke arahku.
” Bapak berminat ? Kalau ini dijamin oke, Arab punya,” katanya.
Wanita tadi merasa kalau sedang dibicarakan. Ia menatap ke arah kami dan mencibir ke arah security di sampingku.
“Anis, sini dulu. Kenalan sama Bapak ini,” kata security itu.
“Aku mau ke karaoke dulu,” balas wanita tadi. Ternyata namanya Anis. Anis berjalan kearah meja karaoke dan mulai memesan lagu. Ruangan karaoke tidak terpisah secara khusus, jadi kalau yang menyanyi suaranya bagus lumayan buat hiburan sambil makan. Tapi kalau pas suara penyanyinya berantakan, maka selera makan bisa berantakan. Untuk karaoke tidak dikenakan charge, hanya merupakan service cafe untuk tamu yang makan disana.
“Dekatin aja Pak, temani dia nyanyi sambil kenalan. Siapa tahu cocok dan jadi,” kata security tadi kepadaku.
Aku berjalan dan duduk didekat Anis. Kuulurkan tanganku, “Boleh berkenalan ? Namaku Jokaw”.
“Anis,” jawabnya singkat dan kembali meneruskan lagunya. Suaranya tidak bagus cuma lumayan saja. Cukup memenuhi standard kalau ada pertunjukan di kampung.
Beberapa lagu telah dinyanyikan. dari lagu dan logat yang dinyanyikan wanita ini agaknya tinggal di Manado atau Sulawesi Utara. Dia mengambil gelas minumannya dan menyerahkan mike ke tamu cafe di dekatnya.
“Sendirian saja nona atau …,” kataku mengawali pembicaraan.
“Panggil saja namaku, A…N…I…S, Anis,” katanya.
kami mulai terlibat pembicaraan yang cukup akrab. Anis berasal dari Gorontalo. Ia memang berdarah Arab. Menurutnya banyak keturunan Arab di Gorontalo. Kuamati lebih teliti wanita di sampingku ini. Hidungnya mancung khas Timur Tengah, kulitnya putih, rambutnya hitam tebal, bentuk badannya sintal dan kencang dengan payudaranya terlihat dari samping membusung padat.
Kutawarkan untuk mengobrol di kamarku saja. Lebih dingin, karena ber-AC, dan lebih rileks serta privacy terjaga. Ia menurut saja. kami masuk ke dalam kamar. Security tadi kulihat mengangkat kedua jempolnya kearahku. Di dalam kamar, kami duduk berdampingan di karpet dengan menyandar ke ranjang sambil nonton TV. Anis masuk ke kamar mandi dan sebentar kemudian sudah keluar lagi.
Kami melanjutkan obrolan. Ternyata Anis seorang janda gantung, suaminya yang seorang pengusaha, keturunan Arab juga, sudah 2 tahun meninggalkannya namun Anis tidak diceraikan. ia sedang mencoba membuka usaha kerajinan rotan dari Sulawesi yang dipasarkan disini. Dikta ini dia tinggal bersama familinya. Ia main ke hotel, karena dulu juga pernah tinggal di hotel ini seminggu dan akrab dengan koki wanita yang bekerja di cafe. dari tadi siang koki tersebut sedang keluar, berbelanja kebutuhan cafe.
Kulingkarkan tangan kiriku ke bahu kirinya. Ia sedikit menggerinjal namun tidak ada tanda-tanda penolakan. aku semakin berani dan mulai meremas bahunya dan perlahan-lahan tangan kiriku menuju kedadanya. Sebelum tangan kiriku sampai di dadanya, ia menatapku dan bertanya, “Mau apa kamu, Jokaw ?” Sebuah pertanyaan yang tidak perlu dijawab. Kupegang dagunya dengan tangan kananku dan kudekatkan mukanya ke mukaku. Perlahan kucium bibirnya. Ia diam saja. Kucium lagi namun ia belum juga membalas ciumanku.
“Ayolah Anis, 2 tahun tentulah waktu yang cukup panjang bagimu. Selama ini tentulah kamu merindukan kehangatan dekapan seorang laki-laki,” kataku mulai merayunya.
Kuhembuskan napasku ke dekat telinganya. Bibirku mulai menyapu leher dan belakang telinganya.
“Akhh, tidak.. Jangan..,” rintihnya.
“Ayolah Nis, mungkin punyaku tidak sebesar punya suami Arab-mu itu, namun aku bisa membantu menuntaskan gairahmu yang terpendam”.
Ia menyerah, pandangan matanya meredup. Kucium lagi bibirnya, kali ini mulai ada perlawanan balasan dari bibirnya. tanganku segera meremas dadanya yang besar, namun sudah sedikit turun. Ia mendesah dan membalas ciumanku dengan berapi-api. Tangannya meremas kejantananku yang masih terbungkus celana. Kududukan ia ditepi ranjang. Aku berdiri didepannya. tangannya mulai membuka ikatan pinggang dan ritsluiting celanaku, kemudian menyusup ke balik celana dalamku. Dikeluarkannya kejantananku yang mulai menegang. Dibukanya celanaku seluruhnya hingga bagian bawah tubuhku sudah dalam keadaan polos.
Mulutnya kemudian menciumi kejantananku, sementara tangannya memegang pinggangku dan mengusap kantung zakarku. Lama kelamaan ciumannya berubah menjadi jilatan dan isapan kuat pada kejantananku. Kini ia mengocok kejantananku dengan mengulum kejantananku dan menggerakan mulutnya maju mundur. Aliran kenikmatan segera saja menjalari seluruh tubuhku. Tangannya menyusup ke bajuku dan memainkan putingku. Kubuka kancing bajuku agar tangannya mudah beraksi di dadaku. Kuremas rambutnya dan pantatkupun bergerak maju mundur menyesuaikan dengan gerakan mulutnya.
Aku tak mau menumpahkan sperma dalam posisi ini. Kuangkat tubuhnya dan kini dia dalam posisi berdiri sementara aku duduk di tepi ranjang. Tanpa kesulitan segera saja kubuka celana panjang dan celana dalamnya. Rambut kemaluannya agak jarang dan berwarna kemerahan. Kemaluannya terlihat sangat menonjol di sela pahanya, seperti sampan yang dibalikkan. Ia membuka kausnya sehingga sekarang tinggal memakai bra berwarna biru. Kujilati tubuhnya mulai dari lutut, paha sampai ke lipatan pahanya. Sesekali kusapukan bibirku di bibir vaginanya. Lubang vaginanya terasa sempit ketika lidahku mulai masuk ke dalam vaginanya. Ia merintih, kepalanya mendongak, tangannya yang sebelah menekan kepalaku sementara tangan satunya meremas rambutnya sendiri. Kumasukan jari tengahku ke dalam lubang vaginanya, sementara lidahku menyerang klitorisnya. Ia memekik perlahan dan kedua tangannya meremas payudaranya sendiri. Tubuhnya melengkung ke belakang menahan kenikmatan yang kuberikan. Ia merapatkan selangkangannya ke kepakalu. Kulepaskan bajuku dan kulempar begitu saja ke lantai.
Akhirnya ia mendorongku sehingga aku terlentang di ranjang dengan kaki masih menjuntai di lantai. Ia berjongkok dan, “Sllruup..”. Kembali ia menjilat dan mencium penisku beberapa saat. Ia naik keatas ranjang dan duduk diatas dadaku menghadapkan vaginanya di mulutku. Tangannya menarik kepalaku meminta aku agar menjilat vaginanya dalam posisi demikian. Kuangkat kepalaku dan segera lidahku menyeruak masuk ke dalam liang vaginanya. Tanganku memegang erat pinggulnya untuk membantu menahan kepalaku. Ia menggerakan pantatnya memutar dan maju mundur untuk mengimbangi serangan lidahku. Gerakannya semakin liar ketika lidahku dengan intens menjilat dan menekan klitorisnya. Ia melengkungkan tubuhnya sehingga bagian kemaluannya semakin menonjol. tangannya kebelakang diletakan di pahaku untuk menahan berat tubuhnya.
Ia bergerak kesamping dan menarikku sehingga aku menindihnya. Kubuka bra-nya dan segera kuterkam gundukan gunung kembar di dadanya. Putingnya yang keras kukulum dan kujilati. Kadang kumisku kugesekan pada ujung putingnya. Mendapat serangan demikian ia merintih “Jokaw, ayo kita lakukan permainan ini, Masukan sekarang..”.
Tangannya menggenggam erat penisku dan mengarahkan ke lubang vaginanya. Beberapa kali kucoba untuk memasukannya tetapi sangat sulit. Sebenarnya sejak kujilati sedari tadi kurasakan vaginanya sudah basah oleh lendirnya dan ludahku, namun kini ketika aku mencoba untuk melakukan penetrasi kurasakan sulit sekali. Penisku sudah mulai mengendor lagi karena sudah beberapa kali belum juga menembus vaginanya. Aku ingat ada kondom di laci meja, masih tersisa 1 setelah 2 lagi aku pakai tadi malam, barangkali dengan memanfaatkan permukaan kondom yang licin lebih mudah melakukan penetrasi. namun aku ragu untuk mengambilnya, Anis kelihatan sudah di puncak nafsunya dan ia tidak memberikan sinyal untuk memakai kondom.
Kukocokkan penisku sebentar untuk mengencangkannya. Kubuka pahanya selebar-lebarnya. Kuarahkan penisku kembali ke liang vaginanya.
“Jokaw.. Kencangkan dan cepat masukkan,” rintihnya.
Kepala penisku sudah melewati bibir vaginanya. Kudorong sangat pelan. Vaginanya sangat sempit. Entah apa yang menyebabkannya, padahal ia sudah punya anak dan menurut ceritanya penis suaminya satu setengah kali lebih besar dari penisku. Aku berpikir bagaimana caranya agar penis suaminya bisa menembus vaginanya.
Penisku kumaju mundurkan dengan perlahan untuk membuka jalan nikmat ini. Beberapa kali kemudian penisku seluruhnya sudah menembus lorong vaginanya. Aku merasa dengan kondisi vaginanya yang sangat sempit maka dalam ronde pertama ini aku akan kalah kalau aku mengambil posisi di atas. Mungkin kalau ronde kedua aku dapat bertahan lebih lama. Akan kuambil cara lain agar aku tidak jebol duluan.
Kugulingkan badannya dan kubiarkan dia menindihku. Anis bergerak naik turun menimba kenikmatannya. Aku mengimbanginya tanpa mengencangkan ototku, hanya sesekali kuberikan kontraksi sekedar bertahan saja supaya penisku tidak mengecil. Anis merebahkan tubuhnya, merapat didadaku. Kukulum payudaranya dengan keras dan kumainkan putingnya dengan lidahku. Ia mendengus-dengus dan bergerak liar untuk merasakan kenikmatan. Gerakannya menjadi kombinasi naik turun, berputar dan maju mundur. Luar biasa vagina wanita Arab ini, dalam kondisi aku dibawahpun aku harus berjuang keras agar tidak kalah. Untuk mempertahankan diri kubuat agar pikiranku menjadi rileks dan tidak berfokus pada permainan ini. 15 menit sudah berlalu sejak penetrasi. Agaknya Anis sudah ingin mengakhiri babak pertama ini. Ia memandangku, kemudian mencium leher dan telingaku.
“Ouhh.. jokaw, kamu luar biasa. Dulu dalam ronde pertama biasanya suamiku akan kalah, namun kami masih bertahan. Yeesshh.. Tahan dulu, sebentar lagi.. Aku..”.
Ia tidak melanjutkan kalimatnya. Aku tahu kini saatnya beraksi. Kukencangkan otot penisku dan gerakan tubuh Anispun semakin liar. Akupun mengimbangi dengan genjotan penisku dari bawah. Ketika ia bergerak naik, pantatku kuturunkan dan ketika ia menekan pantatnya ke bawah akupun menyambutnya dengan mengangkat pantatku.
Kepalanya bergerak kesana kemari. Rambutnya yang hitam lebat acak-acakan. sprei sudah terlepas dan tergulung di sudut ranjang. bantal di atas ranjang semuanya sudah jatuh ke lantai. Keadaan diatas ranjang seperti kapal yang pecah dihempas badai. Ranjangpun ikut bergoyang mengikutu gerakan kami. Suaranya berderak-derak seakan hendak patah. Akupun semakin mempercepat genjotanku dari bawah agar iapun segera berlabuh di dermaga kenikmatan.
Semenit kemudian..
“Aaggkkhh.. Nikmat.. Ouhh.. Yeahh,” Anis memekik.
Punggungnya melengkung ke atas, mulutnya menggigit putingku. Kurasakan aliran kenikmatan mendesak lubang penisku. Aku tidak tahan lagi. Ketika pantatnya menekan ke bawah, kupeluk pinggangnya dan kuangkat pantatku.
“Ouhh.. An.. Nis. Aku tidak tahan lagi.. Aku sampaiihh!”
Ia memberontak dari pelukanku sampai peganganku pada pinggulnya terlepas. pantatnya naik dan segera diturunkan lagi dengan cepat.
“Jokaw.. Ouhh Jokaw.. Aku juga..”.
Kakinya mengunci kakiku dan badannya mengejang kuat. dengan kaki saling mengait aku menahan gerak tubuhnya yang mengejang. Giginya menggigit lenganku sampai terasa sakit. Denyutan dari dinding vaginanya saling berbalasan dengan denyutan dipenisku. Beberapa detik kemudian, kami masih merasakan sisa-sisa kenikmatan. ketika sisa-sisa denyutan masih terjadi badannya menggetar. Ia berbaring diatas dadaku sampai akhirnya penisku mulai mengecil dan terlepas dengan sendirinya dari vaginanya. Sebagian sperma mengalir keluar dari vaginanya di atas perutku. Anis berguling ke samping setelah menarik napas panjang.
“Luar biasa kamu Kaw. Suamiku tidak pernah menang dalam ronde pertama, memang dalam berhubungan ia sering mengambil posisi di atas. tapi kami sanggup membawaku terbang ke angkasa,” katanya sambil mengelus dadaku.
“Akupun rasanya hampir tidak sanggup menandingimu. Mungkin sebagian besar laki-laki akan menyerah di atas ranjang kalau harus bermain denganmu. Milikmu benar-benar sempit,” kataku balas memujinya.
Memang kalau tadi aku harus bermain diatas, rasanya tak sampai sepuluh menit aku pasti sudah KO. Makanya, jangan cuma penetrasi terus main genjot saja, teknik bro!
“Kamu orang Melayu pribumi, tapi kok bulunya banyak gini. Keturunan India atau mungkin Arab ya?”
“Nggak ah, asli Indonesia lho..”.
Ia masih terus memujiku beberapa kali lagi. Kuajak ia mandi bersama dan setelah itu kami duduk di teras sambil minum soft drink dan melihat laut. Aku hanya mengenakan celana pendek tanpa celana dalam dam kaus tanpa lengan. Ia mengenakan kemejaku, sementara bagian bawah tubuhnya hanya ditutup dengan selimut yang dililitkan tanpa mengenakan pakaian dalam. Ia duduk membelakangiku. Tubuhnya disandarkan di bahuku. Mulutku sesekali mencium rambut dan belakang telinganya. Kadang mulutnya mencari mulutku dan kusambut dengan ciuman ringan. Tangan kanannya melingkar di kepalaku.
“Kamu nggak takut hamil melakukan hal ini denganku?”tanyaku.
“Aku dulu pernah kerja di apotik, jadi aku tahu pasti cara mengatasinya. Aku selalu siap sedia, siapa tahu terjadi hal yang diinginkan seperti sore ini. Aku sudah makan obat waktu masuk ke kamar mandi tadi. Tenang saja, toh kalaupun hamil bukan kamu yang menanggung akibatnya.” katanya enteng. Jadi ia selalu membawa obat anti hamil. Untung saja aku tadi tidak berlaku konyol dengan memakai kondom. Mungkin saja sejak ditinggal suaminya ia sudah beberapa kali bercinta dengan laki-laki. Tapi apa urusanku, aku sendiri juga melakukannya. yang penting malam ini ia menjadi teman tidurku.
Matahari sudah jauh condong ke Barat, sehingga tidak terasa panas. hampir sejam kami duduk menikmati sunset. Gairahku mulai timbul lagi. Kubuka dua kancing teratas bajunya. Kurapatkan kejantananku yang sudah mulai ingin bermain lagi ke pinggangnya. Kususupkan tanganku kebalik bajunya dan kuremas dadanya.
“Hmmhh..,” ia bergumam.
“Masuk yuk, sudah mulai gelap. Anginnya juga mulai kencang dan dingin,” kataku.
Kamipun masuk ke dalam kamar sambil berpelukan. Sekilas kulihat tatapan iri dan kagum dari tamu hotel di kamar yang berseberangan dengan kamarku.
“I want more, honey!” kataku. Kami bersama-sama merapikan sprei dan bantal yang berhamburan akibat pertempuran babak pertama tadi. Kubuka bajunya dan kutarik selimut yang menutup bagian bawah tubuhnya. Kurebahkan Anis di ranjang. Kubuka kausku dan aku berdiri di sisi ranjang di dekat kepalanya.
Anis mengerti maksudku. Didekatkan kepalanya ke tubuhku dan ditariknya celana pendekku. Sebentar kemudian mulut dan lidahnya sudah beraksi dengan lincahnya di selangkanganku. Aku mengusap-usap tubuhnya mulai dari bahu, dada sampai ke pinggulnya. Peniskupun tak lama sudah menegang dan keras, siap untuk kembali mendayung sampan.
Lima menit ia beraksi. Setelah itu kutarik kepalanya dan kuposisikan kakinya menjuntai ke lantai. Kubuka mini bar dan kuambil beberapa potong es batu di dalam gelas. Kujepit es batu tadi dengan bibirku dan aku berjongkok di depan kakinya. Kurenggangkan kedua kakinya lalu dengan jariku bibir vaginanya kubuka. Bibirku segera menyorongkan es batu ke dalam vaginanya yang merah merekah. Ia terkejut merasakan perlakuanku. Kaki dan badannya sedikit meronta, namun kutahan dengan tanganku.
“Ouhh.. Jokaw.. Kamu.. Gila.. Gila.. Jangan.. Cukup Kaw!” ia berteriak.
Aku tidak menghiraukan teriakannya dan terus melanjutkan aksiku. Rupanya sensasi dingin dari es batu di dalam vaginanya membuatnya sangat terangsang. Kujilati air dari es batu yang mencair dan mulai bercampur dengan lendir vaginanya.
“Jokaw.. Maniak kamu..,” ia masih terus memekik setiap kali potongan es batu kutempelkan ke bagian dalam bibir vagina dan klitorisnya.
Kadang es batu kupegang dengan jariku menggantikan bibirku yang tetap menjilati seluruh bagian vaginanya. Kakinya masih meronta, namun ia sendiri mulai menikmati aksiku. Kulihat ke atas ia menggigit ujung bantal dengan kuat untuk menahan perasaannya. Akhirnya semua potongan es batu yang kuambil habis. Aku masih meneruskan stimulasi dengan cara cunilingus ini. Meskipun untuk ronde kedua aku yakin bisa bertahan lebih lama, namun untuk berjaga-jaga akan kuransang dia sampai mendekati puncaknya. yang pasti aku tak mau kalah ketika bermain dengannya. Kurang lebih sepuluh menit aku melakukannya.
Ia terhentak dan mengejang sesaat ketika klitorisnya kugaruk dan kemudian kujepit dengan jariku. Kulepas dan kujepit lagi. Ia merengek-rengek agar aku menghentikan aksiku dan segera melakukan penetrasi, namun aku masih ingin menikmati dan memberikan foreplay dalam waktu yang agak lama. Beberapa saat aku masih dalam posisi itu. tangan kanannya memegang kepalaku dan menekannya ke celah pahanya. Tangan kirinya meremas-remas payudaranya sendiri.
Aku duduk di dadanya. Kini ia yang membrikan kenikmatan pada penisku melalui lidah dan mulutnya. Dikulumnya penisku dalam-dalam dan diisapnya lembut. Giginya juga ikut memberikan tekanan pada batang penisku. Dilepaskannya penisku dan kini dijepitnya dengan kedua payudaranya sambil diremas-remas dengan gundukan kedua dagingnya itu. Kugerakkan pinggulku maju mundur sehingga peniskupun bergesekan dengan kulit kedua payudaranya.
Kuubah posisiku dengan menindihnya berhadapan, kemudian mulutku bermain disekitar payudaranya. Anis kelihatan tidak sabar lagi dan dengan sebuah gerakan tangannya sudah memegang dan mengocok penisku dengan menggesekannya pada bibir vaginanya. Tanganku mengusap gundukan payudaranya dan meremas dengan pelan dan hati-hati. Ia menggelinjang. Mulutku menyusuri leher dan bahunya kemudian bibirnya yang sudah setengah terbuka segera menyambut bibirku. kami segera berciuman dengan ganas sampai terengah-engah. Penisku yang sudah mengeras mulai mencari sasarannya. Kuremas pantatnya yang padat dan kuangkat pantatku.
“Jokaw.. Ayo.. Masukk.. Kan!”
Tangannya menggenggam penisku dan mengarahkan ke dalam guanya yang sudah basah. Aku mengikuti saja. Kali ini ia yang mengambil inisiatif untuk membuka lebar-lebar kedua kakinya. Dengan perlahan dan hati-hati kucoba memasukan penisku kedalam liang vaginanya. Masih sulit juga untuk menembus bibir vaginanya. tangannya kemudian membuka bibir vaginanya dan dengan bantuan tanganku maka kuarahkan penisku ke vaginanya. Begitu melewati bibir vaginanya, maka kurasakan lagi sebuah lorong yang sempit. Perlahan-lahan dengan gerakan maju mundur dan memutar maka beberapa saat kemudian penisku sudah menerobos kedalam liang vaginanya.
Aku bergerak naik turun dengan perlahan sambil menunggu agar pelumasan pada vaginanya lebih banyak. Ketika kurasakan vaginanya sudah lebih licin, maka kutingkatkan tempo gerakanku. Anis masih bergerak pelan, bahkan cenderung diam dan menungguku untuk melanjutkan serangan berikutnya. Kupercepat gerakanku dan Anis bergerak melawan arah gerakanku untuk menghasilkan sensasi kenikmatan. Aku menurunkan irama permainan. Kini ia yang bergerak liar. Tangannya memeluk leherku dan bibirnya melumat bibirku dengan ganas. Aku memeluk punggungnya kemudian mengencangkan penisku dan menggenjotnya lagi dengan cepat.
Kubisikkan untuk berganti posisi menjadi doggy style. Ia mendorong tubuhku agar dapat berbaring tengkurap. Pantatnya dinaikkan sedikit dan tangannya terjulur kebelakang menggenggam penisku dan segera menyusupkannya kedalam vaginanya. Kugenjot lagi vaginanya dengan menggerakkan pantatku maju mundur dan berputar. Kurebahkan badanku di atasnya. kami berciuman dengan posisi sama-sama tengkurap, sementara kemaluan kami masih terus bertaut dan melakukan aksi kegiatannya. Aku menusuk vaginanya dengan gerakan cepat berulang kali. Iapun mendesah sambil meremas sprei. Aku berdiri di atas lututku dan kutarik pinggangnya. Kini ia berada dalam posisi nungging dengan pantat yang disorongkan ke kemaluanku. Setelah hampir sepuluh menit permainan kami yang kedua ini, Anis semakin keras berteriak dan sebentar-bentar mengejang. Vaginanya terasa semakin lembab dan hangat. Kuhentikan genjotanku dan kucabut penisku.
Anis berbalik terlentang dan sebentar kemudian aku naik ke atas tubuhnya dan kembali menggenjot vaginanya. Kusedot putingnya dan kugigit bahunya. Kutarik rambutnya sampai mendongak dan segera kujelajahi daerah sekitar leher sampai telinganya. Ia semakin mendesah dan mengerang dengan keras. Ketika ia mengerang cukup keras, maka segera kututup bibirnya dengan bibirku. Ia menyambut bibirku dengan ciuman yang panas. Lidahnya menyusup ke mulutku dan menggelitik langit-langit mulutku. Aku menyedot lidahnya dengan satu sedotan kuat, melepaskannya dan kini lidahku yang masuk ke dalam rongga mulutnya. Kami berguling sampai Anis berada di atasku. Anis menekankan pantatnya dan peniskupun semakin dalam masuk ke lorong kenikmatannya.
“Ouhh.. Anis,” desahku setengah berteriak.
Anis bergerak naik turun dan memutar. Perlahan-lahan kugerakkan pinggulku. Karena gerakan memutar dari pinggulnya, maka penisku seperti disedot sebuah pusaran. Anis mulai mempercepat gerakannya, dan kusambut dengan irama yang sama. Kini ia yang menarik rambutku sampai kepalaku mendongak dan segera mencium dan menjilati leherku. Hidungnya yang mancung khas Timur Tengah kadang digesekkannya di leherku memberikan suatu sensasi tersendiri.
Anis bergerak sehingga kaki kami saling menjepit. kaki kirinya kujepit dengan kakiku dan demikian juga kaki kiriku dijepit dengan kedua kakinya. dalam posisi ini ditambah dengan gerakan pantatnya terasa nikmat sekali. Kepalanya direbahkan didadaku dan bibirnya mengecup putingku. Kuangkat kepalanya, kucium dan kuremas buah dadanya yang menggantung. Setelah kujilati dan kukecup lehernya kulepaskan tarikan pada rambutnya dan kepalanya turun kembali kemudian bibirnya mencari-cari bibirku. Kusambut mulutnya dengan satu ciuman yang dalam dan lama.
Anis kemudian mengatur gerakannya dengan irama lamban dan cepat berselang-seling. Pantatnya diturunkan sampai menekan pahaku sehingga penisku masuk terbenam dalam-dalam menyentuh rahimnya.
kakinya bergerak agar lepas dari jepitanku dan kini kedua kakiku dijepit dengan kedua kakinya. Anis menegakkan tubuhnya sehingga ia dalam posisi duduk setengah jongkok di atas selangkanganku. Ia kemudian menggerakan pantatnya maju mundur sambil menekan kebawah sehingga penisku tertelan dan bergerak ke arah perutku. Rasanya seperti diurut dan dijepit sebuah benda yang lembut namun kuat. Semakin lama semakin cepat ia menggerakkan pantatnya, namun tidak menghentak-hentak. darah yang mengalir ke penisku kurasakan semakin cepat dan mulai ada aliran yang merambat disekujur tubuhku.
“Ouhh.. Sshh.. Akhh!” Desisannyapun semakin sering. Aku tahu sekarang bahwa iapun akan segera mengakhiri pertarungan ini dan menggapai puncak kenikmatan.
“Tahan Nis, turunkan tempo.. Aku masih lama lagi ingin merasakan nikmatnya bercinta denganmu”.
Aku menggeserkan tubuhku ke atas sehingga kepalaku menggantung di bibir ranjang. Ia segera mengecup dan menciumi leherku. Tak ketinggalan hidungnya kembali ikut berperan menggesek kulit leherku. Aku sangat suka sekali ketika hidungnya bersentuhan dengan kulit leherku.
“Jokaw.. Ouhh.. Aku tidak tahan lagi!” ia mendesah. Kugelengkan kepalaku memberi isyarat untuk bertahan sebentar lagi.
Aku bangkit dan duduk memangku Anis. Penisku kukeraskan dengan menahan napas dan mengencangkan otot PC. Ia semakin cepat menggerakkan pantatnya maju mundur sementara bibirnya ganas melumat bibirku dan tangannya memeluk leherku. Tanganku memeluk pinggangnya dan membantu mempercepat gerakan maju mundurnya. Dilepaskan tangannya dari leherku dan tubuhnya direbahkan ke belakang. Kini aku yang harus bergerak aktif. Kulipat kedua lututku dan kutahan tubuhnya di bawah pinggangnya. Gerakanku kuatur dengan irama cepat namun penisku hanya setengahnya saja yang masuk sampai beberapa hitungan dan kemudian sesekali kutusukkan penisku sampai mentok. Ia merintih-rintih, namun karena posisi tubuhnya ia tidak dapat bergerak dengan bebas. Kini aku sepenuhnya yang mengendalikan permainan, ia hanya dapat pasrah dan menikmati.
Kutarik tubuhnya dan kembali kurebahkan tubuhnya ke atas tubuhku, matanya melotot dan bola matanya memutih. Giginya menggigit bahuku. Kugulingkan tubuhku, kini aku berada diatasnya kembali. Kuangkat kaki kanannya ke atas bahu kiriku. Kutarik badannya sehingga selangkangannya dalam posisi menggantung merapat ke tubuhku. Kaki kirinya kujepit di bawah ketiak kananku. Dengan posisi duduk melipat lutut aku menggenjotnya dengan perlahan beberapa kali dan kemudian kuhentakkan dengan keras. Iapun berteriak dengan keras setiap aku menggenjotnya dengan keras dan cepat. Kepalanya bergerak-gerak dan matanya seperti mau menangis. Kukembalikan kakinya pada posisi semula.
Aku masih ingin memperpanjang permainan untuk satu posisi lagi.
kakiku keluar dari jepitannya dan ganti kujepit kedua kakinya dengan kakiku. Vaginanya semakin terasa keras menjepit penisku. Aku bergerak naik turun dengan perlahan untuk mengulur waktu. Anis kelihatan sudah tidak sabar lagi. Matanya terpejam dengan mulut setengah terbuka yang terus merintih dan mengerang. Gerakan naik turunku kupercepat dan semakin lama semakin cepat. Kini kurasakan desakan kuat yang akan segera menjebol keluar lewat lubang penisku. Kukira sudah lebih dari setengah jam lamanya kami bergumul. Akupun sudah puas dengan berbagai posisi dan variasi. Keringatku sudah berbaur dengan keringatnya. Kurapatkan tubuhku di atas tubuhnya, kulepaskan jepitan kakiku. Betisnya kini menjepit pinggangku dengan kuat. Kubisikan,
“OK baby, kini saatnya..”.
Ia memekik kecil ketika pantatku menekan kuat ke bawah. Dinding vaginanya berdenyut kuat menghisap penisku. Ia menyambut gerakan pantatku dengan menaikan pinggulnya. Bibirnya menciumku dengan ciuman ganas dan kemudian sebuah gigitan hinggap pada bahuku. Satu aliran yang sangat kuat sudah sampai di ujung lubang penisku. Kutahan tekanan penisku ke dalam vaginanya. Gelombang-gelombang kenikmatan terwujud lewat denyutan dalam vaginanya bergantian dengan denyutan pada penisku seakan-akan saling meremas dan balas mendesak.
Denyut demi denyutan, teriakan demi teriakan dan akhirnya kami bersama-sama sampai ke puncak sesaat kemudian setelah mengeluarkan teriakan keras dan panjang.
“Anis.. Ouhh.. Yeaahh!!”
“Ahhkk.. Lakukan Jokaw.. Sekarang!!”
Akhirnya aliran yang tertahan sejak tadipun memancar dengan deras di dalam vaginanya. Kutekan penisku semakin dalam di vaginanya. Tubuhnya mengejang dan pantatnya naik. Ia mempererat jepitan kakinya dan pelukan tangannya. Kupeluk tubuhnya erat-erat dan tangannya menekan kepalaku di atas dadanya. Ketika dinding vaginanya berdenyut, maka kubalas dengan gerakan otot PC-ku. Iapun kembali mengejang dan bergetar setiap otot PC-ku kugerakkan. Napas dan kata-kata penuh kenikmatan terdengar putus-putus, dan dengan sebuah tarikan napas panjang aku terkulai lemas di atas tubuhnya. kami masih saling mengecup bibir dan keadaan kamarpun menjadi sunyi, tidak ada suara yang terdebgar. hanya ada napas yang panjang tersengal-sengal yang berangsur-angsur berubah menjadi teratur. Lima belas menit kemudian kami berdua sudah bermain dengan busa sabun di kamar mandi. Kami saling menyabuni dengan sesekali melakukan cumbuan ringan. Setelah mandi barulah kami merasa lapar setelah dua ronde kami lalui. Sambil makan Anis menelpon familinya, kalau malam ini ia tidak pulang dengan alasan menginap di rumah temannya. Tentu saja ia tidak bilang kalau temannya adalah seorang laki-laki bernama Jokaw.
Malam itu dan malam berikutnya tentu saja tidak kami lewatkan dengan sia-sia. Mandi keringat, mandi kucing, mandi basah dan tentunya mandi kenikmatan menjadi acara kami berdua.
Esoknya setelah mengecek ke agen Merpati ternyata aku masih mendapat seat penerbangan ke kota propinsi, seat terakhir lagi. Ketika chek out dari hotel kusisipkan selembar dua puluh ribuan ke tangan security temanku. Ia tersenyum.
“Terima kasih Pak,” katanya sambil menyambut tasku dan membawakan ke mobil.
“Kapan kesini lagi, Pak? kalau Anis nggak ada, nanti akan saya carikan Anis yang lainnya lagi,” bisiknya ketika sudah berangkat ke bandara.
Anis mengantarku sampai ke bandara dan sebelum turun dari mobil kuberikan kecupan mesra di bibirnya. Sopir mobil hotel hanya tersenyum melihat tingkah kami. Setahun kemudian aku kembali lagi ke kota itu dan ternya Anis tidak berada di kota itu lagi. Ketika kutelpon ke nomor yang diberikannya, penerima telepon menyatakan tidak tahu dimana sekarang Anis berada. Dengan bantuan security temanku maka aku mendapatkan perempuan lainnya, orang Jawa Tinur. Lumayan, meskipun kenikmatan yang diberikannya masih di bawah Anis
Hotel tempatku menginap adalah sebuah hotel yang tidak terlalu besar, namun bersih dan enak untuk tinggal. Letaknya agak sedikit di pinggiran kota, sepi, aman, dan transport untuk kemana-mana relatif mudah. Aku mendapat kamar dilantai 2 yang letaknya menghadap ke laut. Setiap sore sambil beristirahat setelah seharian berputar-putar dari satu instansi ke instansi lainnya aku duduk di teras sambil melihat laut.
Para karyawan hotel cukup akrab dengan penghuninya, mungkin karena jumlah kamarnya tidak terlalu banyak, sekitar 32 kamar. Aku cukup akrab dan sering duduk di lobby, ngobrol dengan tamu lain atau karyawan hotel. Kadang-kadang dengan setengah bercanda aku ditawari selimut hidup oleh karyawan hotel, mulai dari room boy sampai ke security. Mereka heran selama hampir 3 minggu aku tidak pernah bawa perempuan. Aku tersenyum saja, bukan tidak mau bro, tapi pikiranku masih tersita ke pekerjaan.
Tak terasa sudah 3 minggu aku menginap di hotel. Karena surat-surat yang diperlukan sudah selesai, aku bisa sedikit bernafas lega dan mulai mencari hiburan. Tadi malam aku kembali dapat merasakan kehangatan tubuh perempuan setelah bergumul selama 2 ronde dengan seorang gadis panggilan asal Manado. Aku mendapatkannya dari security hotel. Meskipun orangnya cantik dan putih, tetapi permainannya tidak terlalu istimewa karena barangnya terlalu becek dan sudak kendor, tapi lumayanlah buat mengurangi sperma yang sudah penuh.
Dua hari lagi aku akan pulang. Transportasi di daerah ini memang agak sulit. Untuk ke Jakarta aku harus ke ibukota propinsi dulu baru ganti pesawat ke Jakarta. Celakanya dari kota ini ke ibukota propinsi dalam 1 minggu hanya ada 4 penerbangan dengan twin otter yang kapasitasnya hanya 17 seat. Belum lagi cadangan khusus buat pejabat Pemda yang tiba-tiba harus berangkat. Aku yang sudah booking seat sejak seminggu yang lalu, ternyata masih masuk di cadangan nomor 5.
Alternatifnya adalah dengan menaiki kapal laut milik Pelni yang makan waktu seharian untuk sampai ibukota propinsi. Rencanaku kalau tidak dapat seat pesawat terpaksa naik kapal laut.
Sore itu aku ngobrol dengan security, yang membantu mencarikan perempuan, sambil duduk-duduk di cafe hotel. Kami membicarakan gadis Manado yang kutiduri tadi malam. Kubilang aku kurang puas dengan permainannya.
Tiba-tiba saja pandanganku tertuju pada wanita yang baru masuk ke cafe. Wanita itu kelihatan bertubuh tinggi, mungkin 168 cm, badannya sintal dan dadanya membusung. Wajahnya kelihatan bukan wajah Melayu, tapi lebih mirip ke wajah Timur Tengah.
Security itu mengedipkan matanya ke arahku.
” Bapak berminat ? Kalau ini dijamin oke, Arab punya,” katanya.
Wanita tadi merasa kalau sedang dibicarakan. Ia menatap ke arah kami dan mencibir ke arah security di sampingku.
“Anis, sini dulu. Kenalan sama Bapak ini,” kata security itu.
“Aku mau ke karaoke dulu,” balas wanita tadi. Ternyata namanya Anis. Anis berjalan kearah meja karaoke dan mulai memesan lagu. Ruangan karaoke tidak terpisah secara khusus, jadi kalau yang menyanyi suaranya bagus lumayan buat hiburan sambil makan. Tapi kalau pas suara penyanyinya berantakan, maka selera makan bisa berantakan. Untuk karaoke tidak dikenakan charge, hanya merupakan service cafe untuk tamu yang makan disana.
“Dekatin aja Pak, temani dia nyanyi sambil kenalan. Siapa tahu cocok dan jadi,” kata security tadi kepadaku.
Aku berjalan dan duduk didekat Anis. Kuulurkan tanganku, “Boleh berkenalan ? Namaku Jokaw”.
“Anis,” jawabnya singkat dan kembali meneruskan lagunya. Suaranya tidak bagus cuma lumayan saja. Cukup memenuhi standard kalau ada pertunjukan di kampung.
Beberapa lagu telah dinyanyikan. dari lagu dan logat yang dinyanyikan wanita ini agaknya tinggal di Manado atau Sulawesi Utara. Dia mengambil gelas minumannya dan menyerahkan mike ke tamu cafe di dekatnya.
“Sendirian saja nona atau …,” kataku mengawali pembicaraan.
“Panggil saja namaku, A…N…I…S, Anis,” katanya.
kami mulai terlibat pembicaraan yang cukup akrab. Anis berasal dari Gorontalo. Ia memang berdarah Arab. Menurutnya banyak keturunan Arab di Gorontalo. Kuamati lebih teliti wanita di sampingku ini. Hidungnya mancung khas Timur Tengah, kulitnya putih, rambutnya hitam tebal, bentuk badannya sintal dan kencang dengan payudaranya terlihat dari samping membusung padat.
Kutawarkan untuk mengobrol di kamarku saja. Lebih dingin, karena ber-AC, dan lebih rileks serta privacy terjaga. Ia menurut saja. kami masuk ke dalam kamar. Security tadi kulihat mengangkat kedua jempolnya kearahku. Di dalam kamar, kami duduk berdampingan di karpet dengan menyandar ke ranjang sambil nonton TV. Anis masuk ke kamar mandi dan sebentar kemudian sudah keluar lagi.
Kami melanjutkan obrolan. Ternyata Anis seorang janda gantung, suaminya yang seorang pengusaha, keturunan Arab juga, sudah 2 tahun meninggalkannya namun Anis tidak diceraikan. ia sedang mencoba membuka usaha kerajinan rotan dari Sulawesi yang dipasarkan disini. Dikta ini dia tinggal bersama familinya. Ia main ke hotel, karena dulu juga pernah tinggal di hotel ini seminggu dan akrab dengan koki wanita yang bekerja di cafe. dari tadi siang koki tersebut sedang keluar, berbelanja kebutuhan cafe.
Kulingkarkan tangan kiriku ke bahu kirinya. Ia sedikit menggerinjal namun tidak ada tanda-tanda penolakan. aku semakin berani dan mulai meremas bahunya dan perlahan-lahan tangan kiriku menuju kedadanya. Sebelum tangan kiriku sampai di dadanya, ia menatapku dan bertanya, “Mau apa kamu, Jokaw ?” Sebuah pertanyaan yang tidak perlu dijawab. Kupegang dagunya dengan tangan kananku dan kudekatkan mukanya ke mukaku. Perlahan kucium bibirnya. Ia diam saja. Kucium lagi namun ia belum juga membalas ciumanku.
“Ayolah Anis, 2 tahun tentulah waktu yang cukup panjang bagimu. Selama ini tentulah kamu merindukan kehangatan dekapan seorang laki-laki,” kataku mulai merayunya.
Kuhembuskan napasku ke dekat telinganya. Bibirku mulai menyapu leher dan belakang telinganya.
“Akhh, tidak.. Jangan..,” rintihnya.
“Ayolah Nis, mungkin punyaku tidak sebesar punya suami Arab-mu itu, namun aku bisa membantu menuntaskan gairahmu yang terpendam”.
Ia menyerah, pandangan matanya meredup. Kucium lagi bibirnya, kali ini mulai ada perlawanan balasan dari bibirnya. tanganku segera meremas dadanya yang besar, namun sudah sedikit turun. Ia mendesah dan membalas ciumanku dengan berapi-api. Tangannya meremas kejantananku yang masih terbungkus celana. Kududukan ia ditepi ranjang. Aku berdiri didepannya. tangannya mulai membuka ikatan pinggang dan ritsluiting celanaku, kemudian menyusup ke balik celana dalamku. Dikeluarkannya kejantananku yang mulai menegang. Dibukanya celanaku seluruhnya hingga bagian bawah tubuhku sudah dalam keadaan polos.
Mulutnya kemudian menciumi kejantananku, sementara tangannya memegang pinggangku dan mengusap kantung zakarku. Lama kelamaan ciumannya berubah menjadi jilatan dan isapan kuat pada kejantananku. Kini ia mengocok kejantananku dengan mengulum kejantananku dan menggerakan mulutnya maju mundur. Aliran kenikmatan segera saja menjalari seluruh tubuhku. Tangannya menyusup ke bajuku dan memainkan putingku. Kubuka kancing bajuku agar tangannya mudah beraksi di dadaku. Kuremas rambutnya dan pantatkupun bergerak maju mundur menyesuaikan dengan gerakan mulutnya.
Aku tak mau menumpahkan sperma dalam posisi ini. Kuangkat tubuhnya dan kini dia dalam posisi berdiri sementara aku duduk di tepi ranjang. Tanpa kesulitan segera saja kubuka celana panjang dan celana dalamnya. Rambut kemaluannya agak jarang dan berwarna kemerahan. Kemaluannya terlihat sangat menonjol di sela pahanya, seperti sampan yang dibalikkan. Ia membuka kausnya sehingga sekarang tinggal memakai bra berwarna biru. Kujilati tubuhnya mulai dari lutut, paha sampai ke lipatan pahanya. Sesekali kusapukan bibirku di bibir vaginanya. Lubang vaginanya terasa sempit ketika lidahku mulai masuk ke dalam vaginanya. Ia merintih, kepalanya mendongak, tangannya yang sebelah menekan kepalaku sementara tangan satunya meremas rambutnya sendiri. Kumasukan jari tengahku ke dalam lubang vaginanya, sementara lidahku menyerang klitorisnya. Ia memekik perlahan dan kedua tangannya meremas payudaranya sendiri. Tubuhnya melengkung ke belakang menahan kenikmatan yang kuberikan. Ia merapatkan selangkangannya ke kepakalu. Kulepaskan bajuku dan kulempar begitu saja ke lantai.
Akhirnya ia mendorongku sehingga aku terlentang di ranjang dengan kaki masih menjuntai di lantai. Ia berjongkok dan, “Sllruup..”. Kembali ia menjilat dan mencium penisku beberapa saat. Ia naik keatas ranjang dan duduk diatas dadaku menghadapkan vaginanya di mulutku. Tangannya menarik kepalaku meminta aku agar menjilat vaginanya dalam posisi demikian. Kuangkat kepalaku dan segera lidahku menyeruak masuk ke dalam liang vaginanya. Tanganku memegang erat pinggulnya untuk membantu menahan kepalaku. Ia menggerakan pantatnya memutar dan maju mundur untuk mengimbangi serangan lidahku. Gerakannya semakin liar ketika lidahku dengan intens menjilat dan menekan klitorisnya. Ia melengkungkan tubuhnya sehingga bagian kemaluannya semakin menonjol. tangannya kebelakang diletakan di pahaku untuk menahan berat tubuhnya.
Ia bergerak kesamping dan menarikku sehingga aku menindihnya. Kubuka bra-nya dan segera kuterkam gundukan gunung kembar di dadanya. Putingnya yang keras kukulum dan kujilati. Kadang kumisku kugesekan pada ujung putingnya. Mendapat serangan demikian ia merintih “Jokaw, ayo kita lakukan permainan ini, Masukan sekarang..”.
Tangannya menggenggam erat penisku dan mengarahkan ke lubang vaginanya. Beberapa kali kucoba untuk memasukannya tetapi sangat sulit. Sebenarnya sejak kujilati sedari tadi kurasakan vaginanya sudah basah oleh lendirnya dan ludahku, namun kini ketika aku mencoba untuk melakukan penetrasi kurasakan sulit sekali. Penisku sudah mulai mengendor lagi karena sudah beberapa kali belum juga menembus vaginanya. Aku ingat ada kondom di laci meja, masih tersisa 1 setelah 2 lagi aku pakai tadi malam, barangkali dengan memanfaatkan permukaan kondom yang licin lebih mudah melakukan penetrasi. namun aku ragu untuk mengambilnya, Anis kelihatan sudah di puncak nafsunya dan ia tidak memberikan sinyal untuk memakai kondom.
Kukocokkan penisku sebentar untuk mengencangkannya. Kubuka pahanya selebar-lebarnya. Kuarahkan penisku kembali ke liang vaginanya.
“Jokaw.. Kencangkan dan cepat masukkan,” rintihnya.
Kepala penisku sudah melewati bibir vaginanya. Kudorong sangat pelan. Vaginanya sangat sempit. Entah apa yang menyebabkannya, padahal ia sudah punya anak dan menurut ceritanya penis suaminya satu setengah kali lebih besar dari penisku. Aku berpikir bagaimana caranya agar penis suaminya bisa menembus vaginanya.
Penisku kumaju mundurkan dengan perlahan untuk membuka jalan nikmat ini. Beberapa kali kemudian penisku seluruhnya sudah menembus lorong vaginanya. Aku merasa dengan kondisi vaginanya yang sangat sempit maka dalam ronde pertama ini aku akan kalah kalau aku mengambil posisi di atas. Mungkin kalau ronde kedua aku dapat bertahan lebih lama. Akan kuambil cara lain agar aku tidak jebol duluan.
Kugulingkan badannya dan kubiarkan dia menindihku. Anis bergerak naik turun menimba kenikmatannya. Aku mengimbanginya tanpa mengencangkan ototku, hanya sesekali kuberikan kontraksi sekedar bertahan saja supaya penisku tidak mengecil. Anis merebahkan tubuhnya, merapat didadaku. Kukulum payudaranya dengan keras dan kumainkan putingnya dengan lidahku. Ia mendengus-dengus dan bergerak liar untuk merasakan kenikmatan. Gerakannya menjadi kombinasi naik turun, berputar dan maju mundur. Luar biasa vagina wanita Arab ini, dalam kondisi aku dibawahpun aku harus berjuang keras agar tidak kalah. Untuk mempertahankan diri kubuat agar pikiranku menjadi rileks dan tidak berfokus pada permainan ini. 15 menit sudah berlalu sejak penetrasi. Agaknya Anis sudah ingin mengakhiri babak pertama ini. Ia memandangku, kemudian mencium leher dan telingaku.
“Ouhh.. jokaw, kamu luar biasa. Dulu dalam ronde pertama biasanya suamiku akan kalah, namun kami masih bertahan. Yeesshh.. Tahan dulu, sebentar lagi.. Aku..”.
Ia tidak melanjutkan kalimatnya. Aku tahu kini saatnya beraksi. Kukencangkan otot penisku dan gerakan tubuh Anispun semakin liar. Akupun mengimbangi dengan genjotan penisku dari bawah. Ketika ia bergerak naik, pantatku kuturunkan dan ketika ia menekan pantatnya ke bawah akupun menyambutnya dengan mengangkat pantatku.
Kepalanya bergerak kesana kemari. Rambutnya yang hitam lebat acak-acakan. sprei sudah terlepas dan tergulung di sudut ranjang. bantal di atas ranjang semuanya sudah jatuh ke lantai. Keadaan diatas ranjang seperti kapal yang pecah dihempas badai. Ranjangpun ikut bergoyang mengikutu gerakan kami. Suaranya berderak-derak seakan hendak patah. Akupun semakin mempercepat genjotanku dari bawah agar iapun segera berlabuh di dermaga kenikmatan.
Semenit kemudian..
“Aaggkkhh.. Nikmat.. Ouhh.. Yeahh,” Anis memekik.
Punggungnya melengkung ke atas, mulutnya menggigit putingku. Kurasakan aliran kenikmatan mendesak lubang penisku. Aku tidak tahan lagi. Ketika pantatnya menekan ke bawah, kupeluk pinggangnya dan kuangkat pantatku.
“Ouhh.. An.. Nis. Aku tidak tahan lagi.. Aku sampaiihh!”
Ia memberontak dari pelukanku sampai peganganku pada pinggulnya terlepas. pantatnya naik dan segera diturunkan lagi dengan cepat.
“Jokaw.. Ouhh Jokaw.. Aku juga..”.
Kakinya mengunci kakiku dan badannya mengejang kuat. dengan kaki saling mengait aku menahan gerak tubuhnya yang mengejang. Giginya menggigit lenganku sampai terasa sakit. Denyutan dari dinding vaginanya saling berbalasan dengan denyutan dipenisku. Beberapa detik kemudian, kami masih merasakan sisa-sisa kenikmatan. ketika sisa-sisa denyutan masih terjadi badannya menggetar. Ia berbaring diatas dadaku sampai akhirnya penisku mulai mengecil dan terlepas dengan sendirinya dari vaginanya. Sebagian sperma mengalir keluar dari vaginanya di atas perutku. Anis berguling ke samping setelah menarik napas panjang.
“Luar biasa kamu Kaw. Suamiku tidak pernah menang dalam ronde pertama, memang dalam berhubungan ia sering mengambil posisi di atas. tapi kami sanggup membawaku terbang ke angkasa,” katanya sambil mengelus dadaku.
“Akupun rasanya hampir tidak sanggup menandingimu. Mungkin sebagian besar laki-laki akan menyerah di atas ranjang kalau harus bermain denganmu. Milikmu benar-benar sempit,” kataku balas memujinya.
Memang kalau tadi aku harus bermain diatas, rasanya tak sampai sepuluh menit aku pasti sudah KO. Makanya, jangan cuma penetrasi terus main genjot saja, teknik bro!
“Kamu orang Melayu pribumi, tapi kok bulunya banyak gini. Keturunan India atau mungkin Arab ya?”
“Nggak ah, asli Indonesia lho..”.
Ia masih terus memujiku beberapa kali lagi. Kuajak ia mandi bersama dan setelah itu kami duduk di teras sambil minum soft drink dan melihat laut. Aku hanya mengenakan celana pendek tanpa celana dalam dam kaus tanpa lengan. Ia mengenakan kemejaku, sementara bagian bawah tubuhnya hanya ditutup dengan selimut yang dililitkan tanpa mengenakan pakaian dalam. Ia duduk membelakangiku. Tubuhnya disandarkan di bahuku. Mulutku sesekali mencium rambut dan belakang telinganya. Kadang mulutnya mencari mulutku dan kusambut dengan ciuman ringan. Tangan kanannya melingkar di kepalaku.
“Kamu nggak takut hamil melakukan hal ini denganku?”tanyaku.
“Aku dulu pernah kerja di apotik, jadi aku tahu pasti cara mengatasinya. Aku selalu siap sedia, siapa tahu terjadi hal yang diinginkan seperti sore ini. Aku sudah makan obat waktu masuk ke kamar mandi tadi. Tenang saja, toh kalaupun hamil bukan kamu yang menanggung akibatnya.” katanya enteng. Jadi ia selalu membawa obat anti hamil. Untung saja aku tadi tidak berlaku konyol dengan memakai kondom. Mungkin saja sejak ditinggal suaminya ia sudah beberapa kali bercinta dengan laki-laki. Tapi apa urusanku, aku sendiri juga melakukannya. yang penting malam ini ia menjadi teman tidurku.
Matahari sudah jauh condong ke Barat, sehingga tidak terasa panas. hampir sejam kami duduk menikmati sunset. Gairahku mulai timbul lagi. Kubuka dua kancing teratas bajunya. Kurapatkan kejantananku yang sudah mulai ingin bermain lagi ke pinggangnya. Kususupkan tanganku kebalik bajunya dan kuremas dadanya.
“Hmmhh..,” ia bergumam.
“Masuk yuk, sudah mulai gelap. Anginnya juga mulai kencang dan dingin,” kataku.
Kamipun masuk ke dalam kamar sambil berpelukan. Sekilas kulihat tatapan iri dan kagum dari tamu hotel di kamar yang berseberangan dengan kamarku.
“I want more, honey!” kataku. Kami bersama-sama merapikan sprei dan bantal yang berhamburan akibat pertempuran babak pertama tadi. Kubuka bajunya dan kutarik selimut yang menutup bagian bawah tubuhnya. Kurebahkan Anis di ranjang. Kubuka kausku dan aku berdiri di sisi ranjang di dekat kepalanya.
Anis mengerti maksudku. Didekatkan kepalanya ke tubuhku dan ditariknya celana pendekku. Sebentar kemudian mulut dan lidahnya sudah beraksi dengan lincahnya di selangkanganku. Aku mengusap-usap tubuhnya mulai dari bahu, dada sampai ke pinggulnya. Peniskupun tak lama sudah menegang dan keras, siap untuk kembali mendayung sampan.
Lima menit ia beraksi. Setelah itu kutarik kepalanya dan kuposisikan kakinya menjuntai ke lantai. Kubuka mini bar dan kuambil beberapa potong es batu di dalam gelas. Kujepit es batu tadi dengan bibirku dan aku berjongkok di depan kakinya. Kurenggangkan kedua kakinya lalu dengan jariku bibir vaginanya kubuka. Bibirku segera menyorongkan es batu ke dalam vaginanya yang merah merekah. Ia terkejut merasakan perlakuanku. Kaki dan badannya sedikit meronta, namun kutahan dengan tanganku.
“Ouhh.. Jokaw.. Kamu.. Gila.. Gila.. Jangan.. Cukup Kaw!” ia berteriak.
Aku tidak menghiraukan teriakannya dan terus melanjutkan aksiku. Rupanya sensasi dingin dari es batu di dalam vaginanya membuatnya sangat terangsang. Kujilati air dari es batu yang mencair dan mulai bercampur dengan lendir vaginanya.
“Jokaw.. Maniak kamu..,” ia masih terus memekik setiap kali potongan es batu kutempelkan ke bagian dalam bibir vagina dan klitorisnya.
Kadang es batu kupegang dengan jariku menggantikan bibirku yang tetap menjilati seluruh bagian vaginanya. Kakinya masih meronta, namun ia sendiri mulai menikmati aksiku. Kulihat ke atas ia menggigit ujung bantal dengan kuat untuk menahan perasaannya. Akhirnya semua potongan es batu yang kuambil habis. Aku masih meneruskan stimulasi dengan cara cunilingus ini. Meskipun untuk ronde kedua aku yakin bisa bertahan lebih lama, namun untuk berjaga-jaga akan kuransang dia sampai mendekati puncaknya. yang pasti aku tak mau kalah ketika bermain dengannya. Kurang lebih sepuluh menit aku melakukannya.
Ia terhentak dan mengejang sesaat ketika klitorisnya kugaruk dan kemudian kujepit dengan jariku. Kulepas dan kujepit lagi. Ia merengek-rengek agar aku menghentikan aksiku dan segera melakukan penetrasi, namun aku masih ingin menikmati dan memberikan foreplay dalam waktu yang agak lama. Beberapa saat aku masih dalam posisi itu. tangan kanannya memegang kepalaku dan menekannya ke celah pahanya. Tangan kirinya meremas-remas payudaranya sendiri.
Aku duduk di dadanya. Kini ia yang membrikan kenikmatan pada penisku melalui lidah dan mulutnya. Dikulumnya penisku dalam-dalam dan diisapnya lembut. Giginya juga ikut memberikan tekanan pada batang penisku. Dilepaskannya penisku dan kini dijepitnya dengan kedua payudaranya sambil diremas-remas dengan gundukan kedua dagingnya itu. Kugerakkan pinggulku maju mundur sehingga peniskupun bergesekan dengan kulit kedua payudaranya.
Kuubah posisiku dengan menindihnya berhadapan, kemudian mulutku bermain disekitar payudaranya. Anis kelihatan tidak sabar lagi dan dengan sebuah gerakan tangannya sudah memegang dan mengocok penisku dengan menggesekannya pada bibir vaginanya. Tanganku mengusap gundukan payudaranya dan meremas dengan pelan dan hati-hati. Ia menggelinjang. Mulutku menyusuri leher dan bahunya kemudian bibirnya yang sudah setengah terbuka segera menyambut bibirku. kami segera berciuman dengan ganas sampai terengah-engah. Penisku yang sudah mengeras mulai mencari sasarannya. Kuremas pantatnya yang padat dan kuangkat pantatku.
“Jokaw.. Ayo.. Masukk.. Kan!”
Tangannya menggenggam penisku dan mengarahkan ke dalam guanya yang sudah basah. Aku mengikuti saja. Kali ini ia yang mengambil inisiatif untuk membuka lebar-lebar kedua kakinya. Dengan perlahan dan hati-hati kucoba memasukan penisku kedalam liang vaginanya. Masih sulit juga untuk menembus bibir vaginanya. tangannya kemudian membuka bibir vaginanya dan dengan bantuan tanganku maka kuarahkan penisku ke vaginanya. Begitu melewati bibir vaginanya, maka kurasakan lagi sebuah lorong yang sempit. Perlahan-lahan dengan gerakan maju mundur dan memutar maka beberapa saat kemudian penisku sudah menerobos kedalam liang vaginanya.
Aku bergerak naik turun dengan perlahan sambil menunggu agar pelumasan pada vaginanya lebih banyak. Ketika kurasakan vaginanya sudah lebih licin, maka kutingkatkan tempo gerakanku. Anis masih bergerak pelan, bahkan cenderung diam dan menungguku untuk melanjutkan serangan berikutnya. Kupercepat gerakanku dan Anis bergerak melawan arah gerakanku untuk menghasilkan sensasi kenikmatan. Aku menurunkan irama permainan. Kini ia yang bergerak liar. Tangannya memeluk leherku dan bibirnya melumat bibirku dengan ganas. Aku memeluk punggungnya kemudian mengencangkan penisku dan menggenjotnya lagi dengan cepat.
Kubisikkan untuk berganti posisi menjadi doggy style. Ia mendorong tubuhku agar dapat berbaring tengkurap. Pantatnya dinaikkan sedikit dan tangannya terjulur kebelakang menggenggam penisku dan segera menyusupkannya kedalam vaginanya. Kugenjot lagi vaginanya dengan menggerakkan pantatku maju mundur dan berputar. Kurebahkan badanku di atasnya. kami berciuman dengan posisi sama-sama tengkurap, sementara kemaluan kami masih terus bertaut dan melakukan aksi kegiatannya. Aku menusuk vaginanya dengan gerakan cepat berulang kali. Iapun mendesah sambil meremas sprei. Aku berdiri di atas lututku dan kutarik pinggangnya. Kini ia berada dalam posisi nungging dengan pantat yang disorongkan ke kemaluanku. Setelah hampir sepuluh menit permainan kami yang kedua ini, Anis semakin keras berteriak dan sebentar-bentar mengejang. Vaginanya terasa semakin lembab dan hangat. Kuhentikan genjotanku dan kucabut penisku.
Anis berbalik terlentang dan sebentar kemudian aku naik ke atas tubuhnya dan kembali menggenjot vaginanya. Kusedot putingnya dan kugigit bahunya. Kutarik rambutnya sampai mendongak dan segera kujelajahi daerah sekitar leher sampai telinganya. Ia semakin mendesah dan mengerang dengan keras. Ketika ia mengerang cukup keras, maka segera kututup bibirnya dengan bibirku. Ia menyambut bibirku dengan ciuman yang panas. Lidahnya menyusup ke mulutku dan menggelitik langit-langit mulutku. Aku menyedot lidahnya dengan satu sedotan kuat, melepaskannya dan kini lidahku yang masuk ke dalam rongga mulutnya. Kami berguling sampai Anis berada di atasku. Anis menekankan pantatnya dan peniskupun semakin dalam masuk ke lorong kenikmatannya.
“Ouhh.. Anis,” desahku setengah berteriak.
Anis bergerak naik turun dan memutar. Perlahan-lahan kugerakkan pinggulku. Karena gerakan memutar dari pinggulnya, maka penisku seperti disedot sebuah pusaran. Anis mulai mempercepat gerakannya, dan kusambut dengan irama yang sama. Kini ia yang menarik rambutku sampai kepalaku mendongak dan segera mencium dan menjilati leherku. Hidungnya yang mancung khas Timur Tengah kadang digesekkannya di leherku memberikan suatu sensasi tersendiri.
Anis bergerak sehingga kaki kami saling menjepit. kaki kirinya kujepit dengan kakiku dan demikian juga kaki kiriku dijepit dengan kedua kakinya. dalam posisi ini ditambah dengan gerakan pantatnya terasa nikmat sekali. Kepalanya direbahkan didadaku dan bibirnya mengecup putingku. Kuangkat kepalanya, kucium dan kuremas buah dadanya yang menggantung. Setelah kujilati dan kukecup lehernya kulepaskan tarikan pada rambutnya dan kepalanya turun kembali kemudian bibirnya mencari-cari bibirku. Kusambut mulutnya dengan satu ciuman yang dalam dan lama.
Anis kemudian mengatur gerakannya dengan irama lamban dan cepat berselang-seling. Pantatnya diturunkan sampai menekan pahaku sehingga penisku masuk terbenam dalam-dalam menyentuh rahimnya.
kakinya bergerak agar lepas dari jepitanku dan kini kedua kakiku dijepit dengan kedua kakinya. Anis menegakkan tubuhnya sehingga ia dalam posisi duduk setengah jongkok di atas selangkanganku. Ia kemudian menggerakan pantatnya maju mundur sambil menekan kebawah sehingga penisku tertelan dan bergerak ke arah perutku. Rasanya seperti diurut dan dijepit sebuah benda yang lembut namun kuat. Semakin lama semakin cepat ia menggerakkan pantatnya, namun tidak menghentak-hentak. darah yang mengalir ke penisku kurasakan semakin cepat dan mulai ada aliran yang merambat disekujur tubuhku.
“Ouhh.. Sshh.. Akhh!” Desisannyapun semakin sering. Aku tahu sekarang bahwa iapun akan segera mengakhiri pertarungan ini dan menggapai puncak kenikmatan.
“Tahan Nis, turunkan tempo.. Aku masih lama lagi ingin merasakan nikmatnya bercinta denganmu”.
Aku menggeserkan tubuhku ke atas sehingga kepalaku menggantung di bibir ranjang. Ia segera mengecup dan menciumi leherku. Tak ketinggalan hidungnya kembali ikut berperan menggesek kulit leherku. Aku sangat suka sekali ketika hidungnya bersentuhan dengan kulit leherku.
“Jokaw.. Ouhh.. Aku tidak tahan lagi!” ia mendesah. Kugelengkan kepalaku memberi isyarat untuk bertahan sebentar lagi.
Aku bangkit dan duduk memangku Anis. Penisku kukeraskan dengan menahan napas dan mengencangkan otot PC. Ia semakin cepat menggerakkan pantatnya maju mundur sementara bibirnya ganas melumat bibirku dan tangannya memeluk leherku. Tanganku memeluk pinggangnya dan membantu mempercepat gerakan maju mundurnya. Dilepaskan tangannya dari leherku dan tubuhnya direbahkan ke belakang. Kini aku yang harus bergerak aktif. Kulipat kedua lututku dan kutahan tubuhnya di bawah pinggangnya. Gerakanku kuatur dengan irama cepat namun penisku hanya setengahnya saja yang masuk sampai beberapa hitungan dan kemudian sesekali kutusukkan penisku sampai mentok. Ia merintih-rintih, namun karena posisi tubuhnya ia tidak dapat bergerak dengan bebas. Kini aku sepenuhnya yang mengendalikan permainan, ia hanya dapat pasrah dan menikmati.
Kutarik tubuhnya dan kembali kurebahkan tubuhnya ke atas tubuhku, matanya melotot dan bola matanya memutih. Giginya menggigit bahuku. Kugulingkan tubuhku, kini aku berada diatasnya kembali. Kuangkat kaki kanannya ke atas bahu kiriku. Kutarik badannya sehingga selangkangannya dalam posisi menggantung merapat ke tubuhku. Kaki kirinya kujepit di bawah ketiak kananku. Dengan posisi duduk melipat lutut aku menggenjotnya dengan perlahan beberapa kali dan kemudian kuhentakkan dengan keras. Iapun berteriak dengan keras setiap aku menggenjotnya dengan keras dan cepat. Kepalanya bergerak-gerak dan matanya seperti mau menangis. Kukembalikan kakinya pada posisi semula.
Aku masih ingin memperpanjang permainan untuk satu posisi lagi.
kakiku keluar dari jepitannya dan ganti kujepit kedua kakinya dengan kakiku. Vaginanya semakin terasa keras menjepit penisku. Aku bergerak naik turun dengan perlahan untuk mengulur waktu. Anis kelihatan sudah tidak sabar lagi. Matanya terpejam dengan mulut setengah terbuka yang terus merintih dan mengerang. Gerakan naik turunku kupercepat dan semakin lama semakin cepat. Kini kurasakan desakan kuat yang akan segera menjebol keluar lewat lubang penisku. Kukira sudah lebih dari setengah jam lamanya kami bergumul. Akupun sudah puas dengan berbagai posisi dan variasi. Keringatku sudah berbaur dengan keringatnya. Kurapatkan tubuhku di atas tubuhnya, kulepaskan jepitan kakiku. Betisnya kini menjepit pinggangku dengan kuat. Kubisikan,
“OK baby, kini saatnya..”.
Ia memekik kecil ketika pantatku menekan kuat ke bawah. Dinding vaginanya berdenyut kuat menghisap penisku. Ia menyambut gerakan pantatku dengan menaikan pinggulnya. Bibirnya menciumku dengan ciuman ganas dan kemudian sebuah gigitan hinggap pada bahuku. Satu aliran yang sangat kuat sudah sampai di ujung lubang penisku. Kutahan tekanan penisku ke dalam vaginanya. Gelombang-gelombang kenikmatan terwujud lewat denyutan dalam vaginanya bergantian dengan denyutan pada penisku seakan-akan saling meremas dan balas mendesak.
Denyut demi denyutan, teriakan demi teriakan dan akhirnya kami bersama-sama sampai ke puncak sesaat kemudian setelah mengeluarkan teriakan keras dan panjang.
“Anis.. Ouhh.. Yeaahh!!”
“Ahhkk.. Lakukan Jokaw.. Sekarang!!”
Akhirnya aliran yang tertahan sejak tadipun memancar dengan deras di dalam vaginanya. Kutekan penisku semakin dalam di vaginanya. Tubuhnya mengejang dan pantatnya naik. Ia mempererat jepitan kakinya dan pelukan tangannya. Kupeluk tubuhnya erat-erat dan tangannya menekan kepalaku di atas dadanya. Ketika dinding vaginanya berdenyut, maka kubalas dengan gerakan otot PC-ku. Iapun kembali mengejang dan bergetar setiap otot PC-ku kugerakkan. Napas dan kata-kata penuh kenikmatan terdengar putus-putus, dan dengan sebuah tarikan napas panjang aku terkulai lemas di atas tubuhnya. kami masih saling mengecup bibir dan keadaan kamarpun menjadi sunyi, tidak ada suara yang terdebgar. hanya ada napas yang panjang tersengal-sengal yang berangsur-angsur berubah menjadi teratur. Lima belas menit kemudian kami berdua sudah bermain dengan busa sabun di kamar mandi. Kami saling menyabuni dengan sesekali melakukan cumbuan ringan. Setelah mandi barulah kami merasa lapar setelah dua ronde kami lalui. Sambil makan Anis menelpon familinya, kalau malam ini ia tidak pulang dengan alasan menginap di rumah temannya. Tentu saja ia tidak bilang kalau temannya adalah seorang laki-laki bernama Jokaw.
Malam itu dan malam berikutnya tentu saja tidak kami lewatkan dengan sia-sia. Mandi keringat, mandi kucing, mandi basah dan tentunya mandi kenikmatan menjadi acara kami berdua.
Esoknya setelah mengecek ke agen Merpati ternyata aku masih mendapat seat penerbangan ke kota propinsi, seat terakhir lagi. Ketika chek out dari hotel kusisipkan selembar dua puluh ribuan ke tangan security temanku. Ia tersenyum.
“Terima kasih Pak,” katanya sambil menyambut tasku dan membawakan ke mobil.
“Kapan kesini lagi, Pak? kalau Anis nggak ada, nanti akan saya carikan Anis yang lainnya lagi,” bisiknya ketika sudah berangkat ke bandara.
Anis mengantarku sampai ke bandara dan sebelum turun dari mobil kuberikan kecupan mesra di bibirnya. Sopir mobil hotel hanya tersenyum melihat tingkah kami. Setahun kemudian aku kembali lagi ke kota itu dan ternya Anis tidak berada di kota itu lagi. Ketika kutelpon ke nomor yang diberikannya, penerima telepon menyatakan tidak tahu dimana sekarang Anis berada. Dengan bantuan security temanku maka aku mendapatkan perempuan lainnya, orang Jawa Tinur. Lumayan, meskipun kenikmatan yang diberikannya masih di bawah Anis
nikmatinya vagina si betina
Sekitar 20 tahun silam, aku “Anis” sudah mengenal yang namanya nafsu sex, meskipun aku belum banyak kenalan dengan wanita. Aku termasuk pria yang tidak suka, bahkan tak pernah melakukan onani seperti kebanyakan pria. Namun aku sangat mudah terangsang ketika melihat kemaluan lawan jenis, apalagi jika menyaksikan melakukan hubungan intim, sekalipun itu adalah hewan atau binatang.
Ceritanya bermula ketika aku masih duduk kelas 2 di bangku SMTP di kecamatanku. Saat itu usiaku sekitar 15 tahun. Maklum sebagai orang yang tinggal dan dibesarkan di suatu desa yang agak terpencil dari keramaian kota, aku sehari-hari bekerja sebagai penggembala kerbau sebagaimana umumnya laki-laki seusiaku di desaku itu. Sebelum dan sepulang dari sekolah, aku mempunyai tanggung jawab untuk mengurus hewan-hewan piaraan keluargaku, sebab biaya pendidikan dan keperluan pokok sehari-hari kami, umumnya diperoleh dari harga kerbau. Kurang lebih 15 ekor kerbau yang harus saya urus setiap harinya yakni mengembalakan di padang rumput, memandikan di sungai, memasukkan ke kandang dan sebagainya.
Walaupun sejak kecilku aku sudah seringkali menyaksikan bagaimana hewan-hewan itu melakukan hubungan sex (kuda, ayam, sapi, kambing, anjing, burung misalnya), namun entah saat itu pengaruh setan dari mana sehingga aku tiba-tiba mulai terangsang memperhatikan sepasang kerbauku melakukan hubungan sex. Mungkin karena keduanya merupakan tungganganku sehari-hari yang paling jinak, bersih dan sedikit gemuk, apalagi masih mudah (belum pernah melahirkan), atau memang karena aku sudah terkena puber pertama, atau karena aku kesepian dari teman-teman penggembala lainnya. Yang jelas aku sangat terangsang melihat dengan asyiknya penis kerbau jantanku menyentuk dan menembus vagina kerbau betinaku dari belakang. Aku semakin mendekatkan wajahku ke dekat vagina yang tertusuk dengan penis yang panjang itu dan melihat bagaimana keduanya melakukan aksinya. Si jantan dengan keras dan cepat sekali menggocok-gocok vagina si betina, sehingga terdengar bunyi yang agak khas.
Ketika keduanya mencapai klimaks yang ditandai dengan amblasnya seluruh penis si jantan ke dalam vagina si betina dan sedikit terdiam lalu meneteskan cairan putih dari dalam kemaluannya, aku mencoba mencium dan meraba kedua bibir vagina si betina yang sedikit basah dan montok itu. Bahkan aku dengan mudah membuka kedua bibir vaginanya dan melihat dengan jelas dinding-dinding vaginanya yang agak keputihan setelah penis si jantang keluar, lalu memasukkan dua jari tanganku ke dalamnya, sehingga terasa agak panas dan halus. Keduanya masih terdiam di tempatnya, karena aku mengelus-elus kepalanya agar tidak bergerak dulu.
Kebetulan saat peristiwa itu, aku berada di atas kerbau jantanku dan menungganginya, sehingga punggungku bergerak-gerak mengikuti irama gerakan pinggul si jantan ketika ia menggocok vagina si betina. Hal itulah barangkali yang membuatku sangat terangsang.
Konsentrasiku saat peristiwa itu mulai terganggu. Aku semakin penasaran ingin juga menikmati vagina si betina itu, tapi aku masih takut jika ada orang lain yang melihatku karena aku berada di padang rumput yang luas dan terbuka. Belum aku turun dari atas kerbau jantanku itu, tiba-tiba datang lagi kerbau jantanku yang lainnya menaiki tubuh kerbau betinaku tadi dan langsung memasukkan penisnya hingg amblas seluruhnya. Aku cepat-cepat lompat dan memisahkannya agar tidak sembarang yang menggaulinya, apalagi si jantan yang satu itu sedikit kurus dan kotor. Akal kotorku mulai jalan. Menjelang tengah hari nanti, aku dapat salurkan nafsu bejatku lewat kerbau betinaku di sungai, sebab kebetulan setiap tengah hari aku bawa mereka berendam dan mandi di sungai bersama dengan teman-teman gembala lainnya. Hal itu sudah rutin kami lakukan, selain membersihkan tubuhnya juga untuk mengistirahatkannya sambil minum-minum.
Berbeda dengan hari-hari sebelumnya, di mana kami berangkat sama-sama dengan teman gembala lainnya ke sungai, tapi hari itu aku sengaja cepat-cepat membawa kerbauku ke sungai karena didorong oleh maksud lain sehingga menjelang tengah hari aku sudah ada di sungai itu berendam bersama dengan kerbauku. Suasana di sungai itu masih sangat sepi. Sejak dari padang rumput hingga tiba di sungai yang jaraknya kurang lebih 1 km dari rumah penduduk, aku memang sudah menunggangi kerbau betinaku yang cantik dan mudah itu. Mungkin karena ia dalam keadaan suburnya (musim kawinnya) sehingga ia tenang sekali jika disentuh, apalagi ditunggangi. Aku banyak main-main di atasnya, kadang mengelus, meraba-raba kepala, dada dan pantatnya, bahkan berbaring di atasnya.
Sesampainya di sungai, aku langsung buka baju dan celanaku sekalian mumpun belum ada orang lain di sungai itu, apalagi hal itu sudah menjadi kebiasaan kami jika mandi di sungai. Aku sudah tidak peduli lagi kerbau lainnya. Aku hanya konsentrasi dan mengurusi kerbau betinaku yang sedang mengalami masa subur itu. Mula-mula kubersihkan seluruh tubuhnya dari ujung kepala hingga ujung kaki dan terakhir aku bersihkan bagian belakangnya, terutama di bawah ekornya itu. Aku coba mainkan tanganku dengan mengelus vaginanya, menusuk-nusuknya dengan telunjuk, membuka kedua bibir vaginanya dengan kedua tanganku. Terasa panas dan halus. Si betina itu hanya sedikit bergerak merendam tubuhnya sambil menikmati kehangatan air sungai yang masih jernih itu.
Pantatku dan pantat si betina itu tidak kelihatan karena terendam air. Hanya kepala kami yang nampak di permukaan air, sehingga sekalipun ada orang lain yang melihatku, tidak mungkin langsung curiga, karena ia tidak akan bisa melihat penisku bersentuhan dengan vagina kerbauku. Aku terus menggosok-gosok tubuh si betina dengan kedua tanganku, namun penisku mulai menyentuh bibir vagina si betina dan mulai terasa agak hangat. Entah apa si betina itu juga terangsang atau tidak, tapi yang jelas ia hanya diam dan kemaluannya terasa hangat. Aku semakin sulit menahan nafsuku ketika pantat si betina itu sedikit bergerak ke kiri dan ke kanan sebagaimana layaknya manusia yang sedang terangsang. Penisku yang berdiri sejak pagi hari akibat rangsang oleh persetubuhan antara kerbau jantan dengan kerbau betinaku, nampaknya sulit lagi kukendalikan. Akhirnya kuputuskan untuk mencoba saja menyalurkannya melalui vagina si betina mumpun belum ada orang lain yang melihatku.
Karena memang bukan fitrah untuk berpasangan dengan manusia, maka wajar saja jika aku tidak kesulitan menembus vagina si betina. Penisku amblas seluruhnya tanpa hambatan sedikitpun. Nikmat sekali kurasakan saat itu, sebab baru kali itu penisku merasakan yang namanya vagina, meskipun vagina hewan, tapi kurasa tidak jauh beda rasanya dengan vagina manusia apalagi bagi orang yang dirundung nafsu birahi. Cukup lama juga aku keluar masukkan penisku di kemaluan si betina itu, meskipun dalam air. Si betina nampaknya juga menikmatinya. Ia tidak banyak bergerak dan seolah memberi kesempatan padaku untuk memperlakukannya hingga aku bisa mencapai kepuasan. Bahkan sedikit aneh, sebab punggungnya sesekali bergoyang ke kiri dan ke kanan namun agak lambat. Getaran dinding vaginanyapun terasa sekali menambah gairahku sehingga terasa lebih nikmat. Meskipun saat itu aku belum bisa bandingkan dengan vagina manusia karena aku sama sekali belum pernah merasakan sebelumnya, tapi belakangan kuketahui ternyata bagi orang yang bernafsu tinggi seperti diriku sulit membedakan kenikmatan dan kehangatan dari keduanya.
Dalam tempo hampir satu jam, aku sempat memuncratkan spermaku ke dalam vagina si betina sebanyak 3x hingga teman-teman gembalaku berdatangan. Mereka hanya bertanya padaku tentang sebabnya aku tidak menunggu mereka namun dengan alasan kerbaku haus dan kepanasan, akhirnya mereka bisa mengerti juga tanpa sedikitpun rasa curiga pada diriku. Kami tetap kembali ke padang rumput secara bersama-sama dan pulang ke rumah bersama pula, tapi telah mengalami sesuatu peristiwa luar biasa selama hidupku, sementara mereka tidak. Itulah kegembiraan dan kebanggaan yang dapat kami raih saat itu, bahkan menjadi kenangan hidupku sepanjang masa. Hampir setiap hari aku peraktekkan pengalamanku itu lewat kerbau betinaku. Kadang aku lakukan di padang rumput dikala sepi dari temanku, kadang di kandangnya dan kebanyakan kulakukan di sungai. Sesekali pula aku mencobanya pada kerbau betinaku yang lain, namun kebanyakan pada kerbau betinaku yang pertama kali memuaskan nafsuku itu. Pernah sekali kuperaktekkan lewat anak kerbauku yang berusia 5 bulan dengan harapan vaginanya lebih sempit, namun malah aku ditendang lalu ia lari.
*****
Teman-teman penggemar cerita porn, mungkin tidak menarik dan merangsang bagi anda jika membaca ceritaku ini, namun bagi orang tertentu, terutama yang bernafsu tinggi seperti aku, tidak bisa membedakan mana vagina kerbau dan mana vagina manusia jika sudah sama-sama bersentuhan. Aku tidak mampu menghitung lagi berapa kali kuperaktekkan pada kerbau dan mungkin di atas ratusan kali sebab sejak kurasakan kenikmatan itu, aku hampir tiap hari melakukannya hingga aku berhenti menggembala karena melanjutkan pendidikan di kota Kabupatenku. Sungguh banyak sekali spermaku yang bakal jadi janin manusia terbuang sia-sia di kemaluan kerbau, namun belum sempat kusesali karena hingga usiaku di atas 30 tahun, nafsu syahwatku belum juga reda, bahkan semakin meningkat rasanya. Anehnya lagi, hampir tidak ada wanita yang kuanggap jelek dan membosankan selama mereka masih normal dan menyukai hubungan sex. Inilah kelebihannya bagi pria yang memulai petualangan sexnya lewat binatang atau hewan, apalagi bila nyata-nyata manusia. Sebab selalu dianggap lebih baik yang dirasakan belakangan dari yang pertama.
Entah diriku ini tergolong pria normal atau tidak, tapi yang jelas aku tidak memilih-milih wanita asal ia punya vagina yang bisa disetubuhi. Tua atau muda, berbulu atau tidak, harum atau tidak, basah atau tidak, montok atau tidak, sempit atau tidak, rasanya semuanya nikmat dan dapat merangsangku untuk mencapai tujuan pokok yang sebenarnya. Sejak peristiwaku bersama kerbau betinaku, aku senang sekali terhadap vagina wanita, sehingga muka, payudara, kelentit, rambut, bau, dan penampilan tubuhnya seolah hanya soal yang kedua bagiku. Aku belum mau dikatakan menyerah dan menolak jika ditawarkan vagina wanita. Aku belum pernah menolak tawaran sex dari wanita hanya karena kurang menarik.
Sebelum aku melanjutkan pendidikan ke Kota, aku memang sempat merasakan nikmatnya vagina wanita selama dua kali. Pertama kali di sawah sewaktu menjelang musim panen dan yang kedua sewaktu menjelang pendaftaran/penerimaan siswa baru. Kedua perstiwa itu sama-sama sulit terlupakan karena mempunyai kesan tersendiri yang luar biasa. Keduanya pun sama-sama masih perawan desa dan masih tergolong di bawah usia. Namun kisahnya belum sempat kuutarakan melalui ceritaku ini, sebab terlalu panjang sehingga bisa membosankan pembaca.
Ceritanya bermula ketika aku masih duduk kelas 2 di bangku SMTP di kecamatanku. Saat itu usiaku sekitar 15 tahun. Maklum sebagai orang yang tinggal dan dibesarkan di suatu desa yang agak terpencil dari keramaian kota, aku sehari-hari bekerja sebagai penggembala kerbau sebagaimana umumnya laki-laki seusiaku di desaku itu. Sebelum dan sepulang dari sekolah, aku mempunyai tanggung jawab untuk mengurus hewan-hewan piaraan keluargaku, sebab biaya pendidikan dan keperluan pokok sehari-hari kami, umumnya diperoleh dari harga kerbau. Kurang lebih 15 ekor kerbau yang harus saya urus setiap harinya yakni mengembalakan di padang rumput, memandikan di sungai, memasukkan ke kandang dan sebagainya.
Walaupun sejak kecilku aku sudah seringkali menyaksikan bagaimana hewan-hewan itu melakukan hubungan sex (kuda, ayam, sapi, kambing, anjing, burung misalnya), namun entah saat itu pengaruh setan dari mana sehingga aku tiba-tiba mulai terangsang memperhatikan sepasang kerbauku melakukan hubungan sex. Mungkin karena keduanya merupakan tungganganku sehari-hari yang paling jinak, bersih dan sedikit gemuk, apalagi masih mudah (belum pernah melahirkan), atau memang karena aku sudah terkena puber pertama, atau karena aku kesepian dari teman-teman penggembala lainnya. Yang jelas aku sangat terangsang melihat dengan asyiknya penis kerbau jantanku menyentuk dan menembus vagina kerbau betinaku dari belakang. Aku semakin mendekatkan wajahku ke dekat vagina yang tertusuk dengan penis yang panjang itu dan melihat bagaimana keduanya melakukan aksinya. Si jantan dengan keras dan cepat sekali menggocok-gocok vagina si betina, sehingga terdengar bunyi yang agak khas.
Ketika keduanya mencapai klimaks yang ditandai dengan amblasnya seluruh penis si jantan ke dalam vagina si betina dan sedikit terdiam lalu meneteskan cairan putih dari dalam kemaluannya, aku mencoba mencium dan meraba kedua bibir vagina si betina yang sedikit basah dan montok itu. Bahkan aku dengan mudah membuka kedua bibir vaginanya dan melihat dengan jelas dinding-dinding vaginanya yang agak keputihan setelah penis si jantang keluar, lalu memasukkan dua jari tanganku ke dalamnya, sehingga terasa agak panas dan halus. Keduanya masih terdiam di tempatnya, karena aku mengelus-elus kepalanya agar tidak bergerak dulu.
Kebetulan saat peristiwa itu, aku berada di atas kerbau jantanku dan menungganginya, sehingga punggungku bergerak-gerak mengikuti irama gerakan pinggul si jantan ketika ia menggocok vagina si betina. Hal itulah barangkali yang membuatku sangat terangsang.
Konsentrasiku saat peristiwa itu mulai terganggu. Aku semakin penasaran ingin juga menikmati vagina si betina itu, tapi aku masih takut jika ada orang lain yang melihatku karena aku berada di padang rumput yang luas dan terbuka. Belum aku turun dari atas kerbau jantanku itu, tiba-tiba datang lagi kerbau jantanku yang lainnya menaiki tubuh kerbau betinaku tadi dan langsung memasukkan penisnya hingg amblas seluruhnya. Aku cepat-cepat lompat dan memisahkannya agar tidak sembarang yang menggaulinya, apalagi si jantan yang satu itu sedikit kurus dan kotor. Akal kotorku mulai jalan. Menjelang tengah hari nanti, aku dapat salurkan nafsu bejatku lewat kerbau betinaku di sungai, sebab kebetulan setiap tengah hari aku bawa mereka berendam dan mandi di sungai bersama dengan teman-teman gembala lainnya. Hal itu sudah rutin kami lakukan, selain membersihkan tubuhnya juga untuk mengistirahatkannya sambil minum-minum.
Berbeda dengan hari-hari sebelumnya, di mana kami berangkat sama-sama dengan teman gembala lainnya ke sungai, tapi hari itu aku sengaja cepat-cepat membawa kerbauku ke sungai karena didorong oleh maksud lain sehingga menjelang tengah hari aku sudah ada di sungai itu berendam bersama dengan kerbauku. Suasana di sungai itu masih sangat sepi. Sejak dari padang rumput hingga tiba di sungai yang jaraknya kurang lebih 1 km dari rumah penduduk, aku memang sudah menunggangi kerbau betinaku yang cantik dan mudah itu. Mungkin karena ia dalam keadaan suburnya (musim kawinnya) sehingga ia tenang sekali jika disentuh, apalagi ditunggangi. Aku banyak main-main di atasnya, kadang mengelus, meraba-raba kepala, dada dan pantatnya, bahkan berbaring di atasnya.
Sesampainya di sungai, aku langsung buka baju dan celanaku sekalian mumpun belum ada orang lain di sungai itu, apalagi hal itu sudah menjadi kebiasaan kami jika mandi di sungai. Aku sudah tidak peduli lagi kerbau lainnya. Aku hanya konsentrasi dan mengurusi kerbau betinaku yang sedang mengalami masa subur itu. Mula-mula kubersihkan seluruh tubuhnya dari ujung kepala hingga ujung kaki dan terakhir aku bersihkan bagian belakangnya, terutama di bawah ekornya itu. Aku coba mainkan tanganku dengan mengelus vaginanya, menusuk-nusuknya dengan telunjuk, membuka kedua bibir vaginanya dengan kedua tanganku. Terasa panas dan halus. Si betina itu hanya sedikit bergerak merendam tubuhnya sambil menikmati kehangatan air sungai yang masih jernih itu.
Pantatku dan pantat si betina itu tidak kelihatan karena terendam air. Hanya kepala kami yang nampak di permukaan air, sehingga sekalipun ada orang lain yang melihatku, tidak mungkin langsung curiga, karena ia tidak akan bisa melihat penisku bersentuhan dengan vagina kerbauku. Aku terus menggosok-gosok tubuh si betina dengan kedua tanganku, namun penisku mulai menyentuh bibir vagina si betina dan mulai terasa agak hangat. Entah apa si betina itu juga terangsang atau tidak, tapi yang jelas ia hanya diam dan kemaluannya terasa hangat. Aku semakin sulit menahan nafsuku ketika pantat si betina itu sedikit bergerak ke kiri dan ke kanan sebagaimana layaknya manusia yang sedang terangsang. Penisku yang berdiri sejak pagi hari akibat rangsang oleh persetubuhan antara kerbau jantan dengan kerbau betinaku, nampaknya sulit lagi kukendalikan. Akhirnya kuputuskan untuk mencoba saja menyalurkannya melalui vagina si betina mumpun belum ada orang lain yang melihatku.
Karena memang bukan fitrah untuk berpasangan dengan manusia, maka wajar saja jika aku tidak kesulitan menembus vagina si betina. Penisku amblas seluruhnya tanpa hambatan sedikitpun. Nikmat sekali kurasakan saat itu, sebab baru kali itu penisku merasakan yang namanya vagina, meskipun vagina hewan, tapi kurasa tidak jauh beda rasanya dengan vagina manusia apalagi bagi orang yang dirundung nafsu birahi. Cukup lama juga aku keluar masukkan penisku di kemaluan si betina itu, meskipun dalam air. Si betina nampaknya juga menikmatinya. Ia tidak banyak bergerak dan seolah memberi kesempatan padaku untuk memperlakukannya hingga aku bisa mencapai kepuasan. Bahkan sedikit aneh, sebab punggungnya sesekali bergoyang ke kiri dan ke kanan namun agak lambat. Getaran dinding vaginanyapun terasa sekali menambah gairahku sehingga terasa lebih nikmat. Meskipun saat itu aku belum bisa bandingkan dengan vagina manusia karena aku sama sekali belum pernah merasakan sebelumnya, tapi belakangan kuketahui ternyata bagi orang yang bernafsu tinggi seperti diriku sulit membedakan kenikmatan dan kehangatan dari keduanya.
Dalam tempo hampir satu jam, aku sempat memuncratkan spermaku ke dalam vagina si betina sebanyak 3x hingga teman-teman gembalaku berdatangan. Mereka hanya bertanya padaku tentang sebabnya aku tidak menunggu mereka namun dengan alasan kerbaku haus dan kepanasan, akhirnya mereka bisa mengerti juga tanpa sedikitpun rasa curiga pada diriku. Kami tetap kembali ke padang rumput secara bersama-sama dan pulang ke rumah bersama pula, tapi telah mengalami sesuatu peristiwa luar biasa selama hidupku, sementara mereka tidak. Itulah kegembiraan dan kebanggaan yang dapat kami raih saat itu, bahkan menjadi kenangan hidupku sepanjang masa. Hampir setiap hari aku peraktekkan pengalamanku itu lewat kerbau betinaku. Kadang aku lakukan di padang rumput dikala sepi dari temanku, kadang di kandangnya dan kebanyakan kulakukan di sungai. Sesekali pula aku mencobanya pada kerbau betinaku yang lain, namun kebanyakan pada kerbau betinaku yang pertama kali memuaskan nafsuku itu. Pernah sekali kuperaktekkan lewat anak kerbauku yang berusia 5 bulan dengan harapan vaginanya lebih sempit, namun malah aku ditendang lalu ia lari.
*****
Teman-teman penggemar cerita porn, mungkin tidak menarik dan merangsang bagi anda jika membaca ceritaku ini, namun bagi orang tertentu, terutama yang bernafsu tinggi seperti aku, tidak bisa membedakan mana vagina kerbau dan mana vagina manusia jika sudah sama-sama bersentuhan. Aku tidak mampu menghitung lagi berapa kali kuperaktekkan pada kerbau dan mungkin di atas ratusan kali sebab sejak kurasakan kenikmatan itu, aku hampir tiap hari melakukannya hingga aku berhenti menggembala karena melanjutkan pendidikan di kota Kabupatenku. Sungguh banyak sekali spermaku yang bakal jadi janin manusia terbuang sia-sia di kemaluan kerbau, namun belum sempat kusesali karena hingga usiaku di atas 30 tahun, nafsu syahwatku belum juga reda, bahkan semakin meningkat rasanya. Anehnya lagi, hampir tidak ada wanita yang kuanggap jelek dan membosankan selama mereka masih normal dan menyukai hubungan sex. Inilah kelebihannya bagi pria yang memulai petualangan sexnya lewat binatang atau hewan, apalagi bila nyata-nyata manusia. Sebab selalu dianggap lebih baik yang dirasakan belakangan dari yang pertama.
Entah diriku ini tergolong pria normal atau tidak, tapi yang jelas aku tidak memilih-milih wanita asal ia punya vagina yang bisa disetubuhi. Tua atau muda, berbulu atau tidak, harum atau tidak, basah atau tidak, montok atau tidak, sempit atau tidak, rasanya semuanya nikmat dan dapat merangsangku untuk mencapai tujuan pokok yang sebenarnya. Sejak peristiwaku bersama kerbau betinaku, aku senang sekali terhadap vagina wanita, sehingga muka, payudara, kelentit, rambut, bau, dan penampilan tubuhnya seolah hanya soal yang kedua bagiku. Aku belum mau dikatakan menyerah dan menolak jika ditawarkan vagina wanita. Aku belum pernah menolak tawaran sex dari wanita hanya karena kurang menarik.
Sebelum aku melanjutkan pendidikan ke Kota, aku memang sempat merasakan nikmatnya vagina wanita selama dua kali. Pertama kali di sawah sewaktu menjelang musim panen dan yang kedua sewaktu menjelang pendaftaran/penerimaan siswa baru. Kedua perstiwa itu sama-sama sulit terlupakan karena mempunyai kesan tersendiri yang luar biasa. Keduanya pun sama-sama masih perawan desa dan masih tergolong di bawah usia. Namun kisahnya belum sempat kuutarakan melalui ceritaku ini, sebab terlalu panjang sehingga bisa membosankan pembaca.
hangatnya tubuhmu bu misye
Bu Misye dalam perjalanan pulang dari tempat ia bekerja terpaksa berteduh karena dia tidak membawa jas hujan. Bu Misye berteduh di sebuah bangunan yang belum jadi namun sudah beratap. Setelah menyandarkan motornya Bu Misye mencari tepat duduk dan ternyata ada sebuah kursi panjang. Pakaian yang dikenakan suadah basah semua, Bu Misye sebelumnya berniat untuk tidak berteduh namun karena hujannya semakin lebat dan disertai angin dan petir maka ia memutuskan untuk berteduh, walaupun dalam hatinya cemas karena hari sudah menjelang gelap namun tanda-tanda hujan akan reda belum muncul.
Belum lama duduk datang seorang pemuda tanggung yang juga akan berteduh. Setelah menyandarkan Tiger yang dipakainya, pemuda itu cepat-cepat masuk ke bangunan yang belum jadi tersebut. Bu Misye pertama agak khawatir dengan pemuda tersebut namun akhirnya kekhawatirannya akhirnya hilang karena melihat penampilannya juga keramahannya. Bu Misye melempar senyum dibalas dengan senyum oleh pemuda tersebut.
Pemuda tanggung tersebut berkulit putih bersih dan wajah yang diakui oleh Bu Misye memang tampan. Pemuda tersebut duduk di kursi panjang agak berjauhan letaknya dengan Bu Misye.
“Cuma sendirian Bu?” pemuda tersebut memulai pembicaraan.
“Iya Dik” Bu Misye menjawab.
“Adik dari mana?” lanjutnya.
“Dari rumah teman, sedang Ibu sendiri dari mana?” pemuda itu menyambung.
“Dari tempat kerja Dik” Bu Misye menjawab.
“Koq sampai sore Ibu, memang tidak dijemput oleh suami atau putra Ibu?” pemuda tersebut kembali bertanya.
“Ndak Dik.. walau udah tua Ibu berusaha sendiri lagian anak-anak Ibu udah berkeluarga semua” Bu Misye menyahut.
“Eh Adik masih kuliah kelihatannya, nama Adik siapa biar enak kalau manggilnya” lanjut Bu Misye, walau dalam hatinya dia agak bingung kenapa harus bertanya namanya.
“Iwan Ibu, masih kuliah semester pertama, nama Ibu?” jawab pemuda tersebut.
“Misye” jawab Bu Misye.
“Ibu umurnya berapa koq ngakunya sudah tua?” Iwan bertanya.
“Udah hampir limapuluh Dik Iwan” jawab Bu Misye.
“Koq masih keliatan lebih muda dari usia Bu Misye lho?” lanjut Iwan.
Pembicaraan terhenti sebentar. Baju yang dipakai oleh Bu Misye yang basah secara jelas mencetak buah dadanya yang sekal terbungkus oleh BH hitam yang keliatan sangat menantang di usianya. Rambutnya yang teruarai lurus sebahu tampak basah juga. Kulitnya yang putih tampak titik air yang masih membasahinya. Iwan terus memandangi tubuh yang Bu Misye.
“Tubuh Ibu masih bagus lho, Bu Misye tentu sangat bisa merawat tubuh” tiba-tiba Iwan memecah kesunyian.
Bu Misye agak kaget dengan pertanyaan Iwan. Dia agak tersinggung dengan pertannyan itu apalagi mata Iwan yang tidak lepas dari dadanya. Anak ini ternyata agak kurang ajar.
Belum lagi keterkejutannya hilang, Iwan berkata lagi, “Tentu suami Ibu sendiri sangat sengan dengan istri yang secantik dan semolek Bu Misye” Iwan berkata sambil meremas-remas kemaluannya yang masih dibungkus celananya.
Melihat situasi yang kurang baik itu, Bu Misye tidak menjawab, dia langsung berdiri menuju ke motornya walaupun hujan tampaknya semakin menjadi-jadi. Namun tangan Iwan lebih dulu menyahut tangan Bu Misye. Bu Misye semakin marah.
“Kau mau apa haa?” hardiknya.
“Hujan masih lebat, sedang kita cuma berdua.. saya menginginkan Ibu” sahut Iwan dengan santainya sambil merangkul Bu Misye dari belakang.
“Menginginkan apa?” Bu Misye agak berteriak sambil berusaha melepaskan pelukan Iwan.
“Menginginkan tubuh Ibu..” Iwan berkata sambil tangannya beraksi menggerayangi tubuh Bu Misye dari belakang.
“Jangan Dik Iwan.. apa kamu nggak merasa umurku.. sebaya dengan ibumu” Bu Misye berusaha untuk mengingatkan.
“Justru itu saya suka” Iwan menyahut.
Tangan kirinya merangkul Bu Misye dari belakang, tangan kananya berusaha menyingkap rok yang dipakai Bu Misye setelah tersingkap ke atas Iwan mengeluarkan penisnya yang sudah keras berdiri. Tak ketinggalan CD yang dipakai oleh Bu Misye dipelorotkan ke bawah.
Tangan Iwan meraba-raba memek Bu Misye yang ditumbuhi oleh jembut yang rimbun. Jarinya berusaha masuk ke lubang kenikmatan Bu Misye.
“Dik Iwan.. To.. long.. hentika.. ka.. ka.. ka.. mu nggak se.. harusnya mela.. kuka.. ini.. Dik Iwan Iwan..” Bu Misye berusaha mengingatkan lagi dengan terbata-bata.
“Ah.. Jangan.. Dik Iwan.. Ibu.. sudah tua.. ingat..” tambahnya lagi.
Iwan tidak menggubris kata-kata Bu Misye jarinya sudah masuk ke vagina Bu Misye dan bermain-main di dalamnya. Kemudian Iwan berusaha membalikkan tubuh Bu Misye, setelah itu dengan kasar Iwan mendorong tubuh molek itu sehingga jatuh terjerebab ke tanah. Dengan posisi duduk mengkangkang Bu Misye berusaha bangkit lagi dari duduknya. Pahanya yang mulus tersingkap sampai ke pangkalnya. Pakaian bagian atas acak-acakkan tampak sebagian kutang warna hitam yang seolah tak mampu menahan volume buah dada indah Bu Misye.
Belum sempat berdiri Iwan berkata sambil melepaskan celana dan bajunya, “Bu Misye, anda berteriakpun tak akan ada orang yang mendengar.. tempat ini agak jauh dari rumah penduduk sebaiknya Bu Misye tidak usah macam-macam”
“Aku tak kan sudi melayani kamu.. anak muda” Bu Misye setengah berteriak.
“Sudah jangan banyak bicara lepaskan pakaianmu.. cepat.. daripada aku menyakiti Ibu” sahut Iwan sambil melepaskan celana dalamnya, tampak batang kontolnya yang sudah mengacung keras.
Airmata Bu Misye mulai berlinang. Dia merasa sangat ketakutan dan galau hatinya. Dia merasa tak berharga dihadapan anak muda yang pantas menjadi anaknya. Dia juga merasa menyesal berteduh di tempat itu, dia merasa juga menyesali pakaian kerja yang sering ia kenakan. Rok yang terlalu tinggi dan baju yang transparan yang memperlihatkan BHnya yang seakan tidak muat menahan buah dadanya, sehingga membuat para lelaki yang menatapnya seolah menelanjanginya. Namun dalam hatinya berkata juga bahwa baru sekarang dia melihat kemaluan lelaki yang besar, ****** suaminya tidak sebesar itu. Darahnya berdesir kencang.
Belum hilang keterpanaannya sudah dikejutkan oleh suara Iwan lagi, “Cepatt! Sudah nggak tahan nih..”
Karena dilanda ketakutan, dengan perlahan tangan Bu Misye melepas satu persatu kancing bajunya. Tampaklah payudaranya yang dibungkus oleh BH hitam.
“Cepat lepas kutangmu!” bentak Iwan.
Dalam hati Bu Misye berkata anak muda memang nggak sabaran. Setelah melepas BHnya, tumpahlah payudara Bu Misye yang masih tampak sekal dan menggairahkan, puting susunya yang coklat kehitam-hitaman tampak menantang sekali.
Iwan jongkok di dekat Bu Misye tangannya mulai menggerayangi payudara Bu Misye.
“Uh.. ah.. ah..” rintih Bu Misye ketika tangan Iwan memilin milin putingnya.
Tidak puas memilin-milin mulut Iwan mulai mendarat di pucuk anggur itu. Lidahnya menari-nari dan ketika dihisap keras-keras Bu Misye hanya bisa menggigit bibir bagian bawah dan memejamkan matanya. Setelah puas dengan buah dada Bu Misye Iwan bangkit kemudian mendekatkan kontolnya yang besar tersebut ke mulut wanita paruh baya yang lemah itu.
“Hisap.. Bu Misye” perintahnya.
“Cepatt!” bentak Iwan ketika Bu Misye belum juga melakukan apa yang ia kehendaki.
Akhirnya Bu Misye mengulum batang zakar. Pertama dia melakukan hampir saja dia muntah karena selama hidupnya dia baru melakukan beberapa kali dengan suaminya. Bu Misye seakan tidak percaya apa yang dia lakukan sekarang, dia di tempatnya bekerja adalah orang yang dihormati sedang di kampungnya dia juga orang yang disegani Ibu-Ibu. Namun pada saat ini dia sedang melakukan hal yang jorok hingga tentu kehormatannya sebagai wanita hilang sama sekali.
Iwan dengan kasar memaju mundurkan kontolnya sehingga terdengar suara nyaring menggairahkan. Setelah puas Iwan bangkit lagi kemudian di mengambil posisi ditengah-tengah di antara kaki mulus Bu Misye.
Sambil mengelus-elus kontolnya yang sudah sangat keras, Iwan berkata, “Bu Misye lebarkan lagi agar lebih mudah”
Hal yang sangat mendebarkan bagi Bu Misye akan terjadi dengan perlahan Bu Misye membuka lebar kakinya sehingga tampaklah memeknya yang tampak merekah dengan bibirnya yang agak menggelambir. Perlahan dan pasti Iwan menuntun kontolnya memasuki lobang kenikmatan Bu Misye. Iwan merasakan kehangatan memek Bu Misye dan kekencangannya seakan meremas rudal Iwan. Sebaliknya Bu Misye yang sedari tadi dengan berdebar menantikan hal tersebut seakan terhenti detak jantungnya ketika ia mulai ditusuk oleh anak muda ini. Seakan merobek barang paling berharga yang dimilikinya.
Ketika Iwan mulai mempercepat genjotannya tampaknya Bu Misye juga sudah mulai melambung ke awan. Sementara diluar hujan seakan belum mau berhenti. Iwan semakin mempercepat genjotannya. Buah dada Bu Misye tergoncang-goncang kesana-kemari. Bu Misye yang semula pasif sedikit memberi perlawanan dengan menggoyangkan pantatnya. Tangannya mengepal memukul lantai, kepalanya bergoyang menahan hawa birahi yang semakin meninggi.
Akhirnya Bu Misye tidak kuat menahan cairan yang semula ia bendung-bendung, lobang memek Bu Misye mengerut kencang ketika dia mencapai puncak. Bu Misye malu kenapa dia bisa orgame padahal ia tidak menginginkan itu. Yang lebih membuat dia bertambah malu adalah Iwan seakan mengetahui hal tersebut. Iwan tersenyum sambil terus mempercepat genjotannya. Dalam hatinya dia berkata ternyata kau juga merasakan kenikmatan juga. Dan tampaknya Iwan juga akan sampai ke puncak. Dan terdengar lenguhan panjang Iwan ketika batang kontolnya ia tancapkan dalam-dalam sambil merangkul erat Bu Misye keluarlah cairan sperma membanjiri lobang memek Bu Misye.
Iwan terkulai lemas diatas tubuh telanjang Bu Misye jiwa mereka seolah melayang sejenak.
Setelah itu Iwan bangkit dan mengambil pakaiannya sambil berkata, “Bu Misye berpakaianlah, tampaknya hujan sudah mulai reda, memek Ibu ueenak sekali, terima kasih ya Bu Misye”.
Bu Misye menatap Iwan dalam hatinya bercampur antara marah, gundah, galau. Namun satu hal yang dia tidak pungkiri bahwa dia juga menikmati perkosaan yang dilakukan Iwan.
Akhirnya Bu Misye memunguti pakaian kemudian mengenakannya kembali. Mereka berjalan ke arah motor mereka tanpa bersuara.
Tampaknya hujan sudah reda. Bu Misye menghidupkan mesin motornya, namun ia dihentikan lagi oleh Iwan.
Iwan berkata, “Bu Misye saya minta maaf akan kelancangan saya, saya tidak bisa menahan gejolak nafsu saya..”
Bu Misye tak menjawab. Ia hanya menatap wajah Iwan dengan mata yang berkaca-kaca. Iwan diam kemudian Iwan mendekatkan wajahnya dan ciuman hangat ia daratkan ke bibir Bu Misye. Pertama Bu Misye diam namun akhirnya Bu Misye membalas ciuman tersebut. Lidah mereka saling bertautan. Sejenak kemudian Bu Misye tersadar dan melepaskan ciuman tersebut kemudian melajukan kendaraannya.
Iwan hanya terdiam terpaku kemudian menaiki kendaraannya ke arah yang berlawanan. Bu Misye menerobos hujan rintik-rintik dengan perasaan yang sebenarnya terpuaskan.
Belum lama duduk datang seorang pemuda tanggung yang juga akan berteduh. Setelah menyandarkan Tiger yang dipakainya, pemuda itu cepat-cepat masuk ke bangunan yang belum jadi tersebut. Bu Misye pertama agak khawatir dengan pemuda tersebut namun akhirnya kekhawatirannya akhirnya hilang karena melihat penampilannya juga keramahannya. Bu Misye melempar senyum dibalas dengan senyum oleh pemuda tersebut.
Pemuda tanggung tersebut berkulit putih bersih dan wajah yang diakui oleh Bu Misye memang tampan. Pemuda tersebut duduk di kursi panjang agak berjauhan letaknya dengan Bu Misye.
“Cuma sendirian Bu?” pemuda tersebut memulai pembicaraan.
“Iya Dik” Bu Misye menjawab.
“Adik dari mana?” lanjutnya.
“Dari rumah teman, sedang Ibu sendiri dari mana?” pemuda itu menyambung.
“Dari tempat kerja Dik” Bu Misye menjawab.
“Koq sampai sore Ibu, memang tidak dijemput oleh suami atau putra Ibu?” pemuda tersebut kembali bertanya.
“Ndak Dik.. walau udah tua Ibu berusaha sendiri lagian anak-anak Ibu udah berkeluarga semua” Bu Misye menyahut.
“Eh Adik masih kuliah kelihatannya, nama Adik siapa biar enak kalau manggilnya” lanjut Bu Misye, walau dalam hatinya dia agak bingung kenapa harus bertanya namanya.
“Iwan Ibu, masih kuliah semester pertama, nama Ibu?” jawab pemuda tersebut.
“Misye” jawab Bu Misye.
“Ibu umurnya berapa koq ngakunya sudah tua?” Iwan bertanya.
“Udah hampir limapuluh Dik Iwan” jawab Bu Misye.
“Koq masih keliatan lebih muda dari usia Bu Misye lho?” lanjut Iwan.
Pembicaraan terhenti sebentar. Baju yang dipakai oleh Bu Misye yang basah secara jelas mencetak buah dadanya yang sekal terbungkus oleh BH hitam yang keliatan sangat menantang di usianya. Rambutnya yang teruarai lurus sebahu tampak basah juga. Kulitnya yang putih tampak titik air yang masih membasahinya. Iwan terus memandangi tubuh yang Bu Misye.
“Tubuh Ibu masih bagus lho, Bu Misye tentu sangat bisa merawat tubuh” tiba-tiba Iwan memecah kesunyian.
Bu Misye agak kaget dengan pertanyaan Iwan. Dia agak tersinggung dengan pertannyan itu apalagi mata Iwan yang tidak lepas dari dadanya. Anak ini ternyata agak kurang ajar.
Belum lagi keterkejutannya hilang, Iwan berkata lagi, “Tentu suami Ibu sendiri sangat sengan dengan istri yang secantik dan semolek Bu Misye” Iwan berkata sambil meremas-remas kemaluannya yang masih dibungkus celananya.
Melihat situasi yang kurang baik itu, Bu Misye tidak menjawab, dia langsung berdiri menuju ke motornya walaupun hujan tampaknya semakin menjadi-jadi. Namun tangan Iwan lebih dulu menyahut tangan Bu Misye. Bu Misye semakin marah.
“Kau mau apa haa?” hardiknya.
“Hujan masih lebat, sedang kita cuma berdua.. saya menginginkan Ibu” sahut Iwan dengan santainya sambil merangkul Bu Misye dari belakang.
“Menginginkan apa?” Bu Misye agak berteriak sambil berusaha melepaskan pelukan Iwan.
“Menginginkan tubuh Ibu..” Iwan berkata sambil tangannya beraksi menggerayangi tubuh Bu Misye dari belakang.
“Jangan Dik Iwan.. apa kamu nggak merasa umurku.. sebaya dengan ibumu” Bu Misye berusaha untuk mengingatkan.
“Justru itu saya suka” Iwan menyahut.
Tangan kirinya merangkul Bu Misye dari belakang, tangan kananya berusaha menyingkap rok yang dipakai Bu Misye setelah tersingkap ke atas Iwan mengeluarkan penisnya yang sudah keras berdiri. Tak ketinggalan CD yang dipakai oleh Bu Misye dipelorotkan ke bawah.
Tangan Iwan meraba-raba memek Bu Misye yang ditumbuhi oleh jembut yang rimbun. Jarinya berusaha masuk ke lubang kenikmatan Bu Misye.
“Dik Iwan.. To.. long.. hentika.. ka.. ka.. ka.. mu nggak se.. harusnya mela.. kuka.. ini.. Dik Iwan Iwan..” Bu Misye berusaha mengingatkan lagi dengan terbata-bata.
“Ah.. Jangan.. Dik Iwan.. Ibu.. sudah tua.. ingat..” tambahnya lagi.
Iwan tidak menggubris kata-kata Bu Misye jarinya sudah masuk ke vagina Bu Misye dan bermain-main di dalamnya. Kemudian Iwan berusaha membalikkan tubuh Bu Misye, setelah itu dengan kasar Iwan mendorong tubuh molek itu sehingga jatuh terjerebab ke tanah. Dengan posisi duduk mengkangkang Bu Misye berusaha bangkit lagi dari duduknya. Pahanya yang mulus tersingkap sampai ke pangkalnya. Pakaian bagian atas acak-acakkan tampak sebagian kutang warna hitam yang seolah tak mampu menahan volume buah dada indah Bu Misye.
Belum sempat berdiri Iwan berkata sambil melepaskan celana dan bajunya, “Bu Misye, anda berteriakpun tak akan ada orang yang mendengar.. tempat ini agak jauh dari rumah penduduk sebaiknya Bu Misye tidak usah macam-macam”
“Aku tak kan sudi melayani kamu.. anak muda” Bu Misye setengah berteriak.
“Sudah jangan banyak bicara lepaskan pakaianmu.. cepat.. daripada aku menyakiti Ibu” sahut Iwan sambil melepaskan celana dalamnya, tampak batang kontolnya yang sudah mengacung keras.
Airmata Bu Misye mulai berlinang. Dia merasa sangat ketakutan dan galau hatinya. Dia merasa tak berharga dihadapan anak muda yang pantas menjadi anaknya. Dia juga merasa menyesal berteduh di tempat itu, dia merasa juga menyesali pakaian kerja yang sering ia kenakan. Rok yang terlalu tinggi dan baju yang transparan yang memperlihatkan BHnya yang seakan tidak muat menahan buah dadanya, sehingga membuat para lelaki yang menatapnya seolah menelanjanginya. Namun dalam hatinya berkata juga bahwa baru sekarang dia melihat kemaluan lelaki yang besar, ****** suaminya tidak sebesar itu. Darahnya berdesir kencang.
Belum hilang keterpanaannya sudah dikejutkan oleh suara Iwan lagi, “Cepatt! Sudah nggak tahan nih..”
Karena dilanda ketakutan, dengan perlahan tangan Bu Misye melepas satu persatu kancing bajunya. Tampaklah payudaranya yang dibungkus oleh BH hitam.
“Cepat lepas kutangmu!” bentak Iwan.
Dalam hati Bu Misye berkata anak muda memang nggak sabaran. Setelah melepas BHnya, tumpahlah payudara Bu Misye yang masih tampak sekal dan menggairahkan, puting susunya yang coklat kehitam-hitaman tampak menantang sekali.
Iwan jongkok di dekat Bu Misye tangannya mulai menggerayangi payudara Bu Misye.
“Uh.. ah.. ah..” rintih Bu Misye ketika tangan Iwan memilin milin putingnya.
Tidak puas memilin-milin mulut Iwan mulai mendarat di pucuk anggur itu. Lidahnya menari-nari dan ketika dihisap keras-keras Bu Misye hanya bisa menggigit bibir bagian bawah dan memejamkan matanya. Setelah puas dengan buah dada Bu Misye Iwan bangkit kemudian mendekatkan kontolnya yang besar tersebut ke mulut wanita paruh baya yang lemah itu.
“Hisap.. Bu Misye” perintahnya.
“Cepatt!” bentak Iwan ketika Bu Misye belum juga melakukan apa yang ia kehendaki.
Akhirnya Bu Misye mengulum batang zakar. Pertama dia melakukan hampir saja dia muntah karena selama hidupnya dia baru melakukan beberapa kali dengan suaminya. Bu Misye seakan tidak percaya apa yang dia lakukan sekarang, dia di tempatnya bekerja adalah orang yang dihormati sedang di kampungnya dia juga orang yang disegani Ibu-Ibu. Namun pada saat ini dia sedang melakukan hal yang jorok hingga tentu kehormatannya sebagai wanita hilang sama sekali.
Iwan dengan kasar memaju mundurkan kontolnya sehingga terdengar suara nyaring menggairahkan. Setelah puas Iwan bangkit lagi kemudian di mengambil posisi ditengah-tengah di antara kaki mulus Bu Misye.
Sambil mengelus-elus kontolnya yang sudah sangat keras, Iwan berkata, “Bu Misye lebarkan lagi agar lebih mudah”
Hal yang sangat mendebarkan bagi Bu Misye akan terjadi dengan perlahan Bu Misye membuka lebar kakinya sehingga tampaklah memeknya yang tampak merekah dengan bibirnya yang agak menggelambir. Perlahan dan pasti Iwan menuntun kontolnya memasuki lobang kenikmatan Bu Misye. Iwan merasakan kehangatan memek Bu Misye dan kekencangannya seakan meremas rudal Iwan. Sebaliknya Bu Misye yang sedari tadi dengan berdebar menantikan hal tersebut seakan terhenti detak jantungnya ketika ia mulai ditusuk oleh anak muda ini. Seakan merobek barang paling berharga yang dimilikinya.
Ketika Iwan mulai mempercepat genjotannya tampaknya Bu Misye juga sudah mulai melambung ke awan. Sementara diluar hujan seakan belum mau berhenti. Iwan semakin mempercepat genjotannya. Buah dada Bu Misye tergoncang-goncang kesana-kemari. Bu Misye yang semula pasif sedikit memberi perlawanan dengan menggoyangkan pantatnya. Tangannya mengepal memukul lantai, kepalanya bergoyang menahan hawa birahi yang semakin meninggi.
Akhirnya Bu Misye tidak kuat menahan cairan yang semula ia bendung-bendung, lobang memek Bu Misye mengerut kencang ketika dia mencapai puncak. Bu Misye malu kenapa dia bisa orgame padahal ia tidak menginginkan itu. Yang lebih membuat dia bertambah malu adalah Iwan seakan mengetahui hal tersebut. Iwan tersenyum sambil terus mempercepat genjotannya. Dalam hatinya dia berkata ternyata kau juga merasakan kenikmatan juga. Dan tampaknya Iwan juga akan sampai ke puncak. Dan terdengar lenguhan panjang Iwan ketika batang kontolnya ia tancapkan dalam-dalam sambil merangkul erat Bu Misye keluarlah cairan sperma membanjiri lobang memek Bu Misye.
Iwan terkulai lemas diatas tubuh telanjang Bu Misye jiwa mereka seolah melayang sejenak.
Setelah itu Iwan bangkit dan mengambil pakaiannya sambil berkata, “Bu Misye berpakaianlah, tampaknya hujan sudah mulai reda, memek Ibu ueenak sekali, terima kasih ya Bu Misye”.
Bu Misye menatap Iwan dalam hatinya bercampur antara marah, gundah, galau. Namun satu hal yang dia tidak pungkiri bahwa dia juga menikmati perkosaan yang dilakukan Iwan.
Akhirnya Bu Misye memunguti pakaian kemudian mengenakannya kembali. Mereka berjalan ke arah motor mereka tanpa bersuara.
Tampaknya hujan sudah reda. Bu Misye menghidupkan mesin motornya, namun ia dihentikan lagi oleh Iwan.
Iwan berkata, “Bu Misye saya minta maaf akan kelancangan saya, saya tidak bisa menahan gejolak nafsu saya..”
Bu Misye tak menjawab. Ia hanya menatap wajah Iwan dengan mata yang berkaca-kaca. Iwan diam kemudian Iwan mendekatkan wajahnya dan ciuman hangat ia daratkan ke bibir Bu Misye. Pertama Bu Misye diam namun akhirnya Bu Misye membalas ciuman tersebut. Lidah mereka saling bertautan. Sejenak kemudian Bu Misye tersadar dan melepaskan ciuman tersebut kemudian melajukan kendaraannya.
Iwan hanya terdiam terpaku kemudian menaiki kendaraannya ke arah yang berlawanan. Bu Misye menerobos hujan rintik-rintik dengan perasaan yang sebenarnya terpuaskan.
ibu dan anak
Sabtu sore itu aku tiba di rumah mereka sekitar jam 17.00, dan ketika masuk ke rumah hanya ada Cindy, keponakanku yang baru berumur tiga belas tahun dan duduk di kelas dua SLTP. Ibunya, Vivi, sedang pergi arisan di rumah temannya sejak jam 12.00 siang tadi dan menurut Cindy baru akan kembali sekitar jam delapan malam, seperti biasanya. Ayah Cindy adalah seorang teman karibku yang telah meninggal dunia tiga tahun yang lalu dalam sebuah kecelakaan lalu lintas di luar kota, dan sejak itu aku sering mengunjungi keluarga ini untuk menghibur agar mereka tidak terlalu merasa kesepian.
Kehidupan mereka ditopang oleh ibu Cindy, yang bekerja di sebuah perusahaan asing sebagai sekretaris dan kelihatannya mereka dapat hidup berkecukupan. Vivi, ibu Cindy telah lama kenal denganku dan kami sering pergi bertiga kemana-mana bila ada waktu luang, dan tanpa terasa aku seolah telah menjadi pengganti kepala keluarga mereka. Keduanya sangat manja kepadaku sehingga seringkali aku merasa seolah berada di tengah keluarga sendiri bila sedang bersama mereka, dan terutama Cindy yang kukenal sejak lahir, walaupun telah berumur tiga belas tahun tapi ia tidak segan untuk duduk di pangkuanku bila menginginkan sesuatu dariku.
Setibanya di rumah mereka, aku segera menuju ke kamarku yang memang selalu mereka sediakan untukku dan kemudian aku mandi untuk menghilangkan rasa lelah. Selesai mandi aku berpakaian santai, baju kaos dan celana pendek, lalu menonton TV di ruang tengah dimana Cindy berada dari tadi. Aku duduk di sofa dan Cindy duduk di sampingku dengan kedua kaki dilipat disofa, ia hanya memakai daster rumah saja karena hari itu adalah akhir minggu, sehingga ia tidak mempunyai tugas sekolah.
Kami menonton acara mengenai kehidupan sebuah keluarga yang tidak memiliki ayah lagi, sehingga si ibu harus bekerja keras untuk menghidupi dirinya dan kedua anaknya yang masih bersekolah, dan di tengah keasyikan kami menonton Cindy berkata.
“Oom, kasihan ya keluarga itu, Ibunya mesti kerja keras untuk sekolah anak-anaknya!”
“Ya Cindy, begitulah orang tua, selalu mendahulukan kepentingan anak, kamu untung memiliki Mama yang bekerja dengan penghasilan cukup, sehingga kalian tidak kekurangan.” jawabku.
“Iya Oom, Cindy juga merasa beruntung masih ada Oom yang mau memperhatikan kami, kalau enggak entah bagaimana nasib kami.” ujar Cindy lagi.
“Oom ‘kan sudah kenal kamu sejak lahir, masa Oom mau lupa sama kalian, apalagi Mama juga baik sama Oom!” jawabku menimpali.
“Iya Oom, tapi Cindy sekarang ‘kan sudah besar Oom, sudah tiga belas tahun, maunya Oom jangan menganggap Cindy seperti anak kecil lagi dong!” ujarnya manja.
“Lho.., maksudmu bagaimana..? Kan Oom juga memperlakukan Cindy sebagai seorang anak gadis sekarang?” aku menjawab.
“Betul Oom? Cindy sudah Oom anggap seperti seorang gadis?” ia menyela dengan nada riang.
“Iya, betul dong, masa Oom akan menganggap kamu seperti anak kecil terus! ‘Kan kamu sekarang sudah besar, tubuhmu juga sudah tumbuh menjadi seorang gadis!” aku menjawab.
Cindy rupanya merasa senang sekali dengan jawabanku, lalu sambil mendekatkan tubuhnya padaku ia mengatakan sesuatu yang membuatku terkejut.
“Kalau begitu Oom mesti anggap Cindy sebagai seorang gadis ya, enggak boleh anggap Cindy sebagai keponakan lagi. Benar ya Oom!”
Walaupun tidak mengerti maksudnya, aku hanya mengangguk saja sambil terus menonton TV, dan Cindy menyandarkan tubuhnya kepadaku. Kepalanya disandarkan di dadaku lalu ia berkata.
“Oom, sebenarnya Cindy dan Mama sering membicarakan Oom, kami ingin Oom turut dalam kegiatan pribadi Cindy dan Mama supaya lengkap!”
Aku tambah tidak mengerti dan bertanya, “Apa maksudmu dengan kegiatan pribadimu dengan Mama?”
“Begini Oom, tapi janji ya Oom tidak akan marah?” aku mengangguk berjanji.
“Sebetulnya Mama dan Cindy ‘kan sering bermain seks karena tidak ada hiburan kalau sudah malam, apalagi kalau sudah sepi!”
Aku terkejut bukan main mendengar penjelasannya yang tidak disangka-sangka itu, dan di tengah keingin tahuanku, aku bertanya lagi padanya.
“Maksudmu apa sih Cindy? Masa kamu main seks dengan Mama? ‘Kan sama-sama wanita?”
“Iya Oom, Mama yang ngajarin Cindy sejak setengah tahun yang lalu, waktu Cindy baru naik kekelas dua, terus Mama kasih hadiah itu. Cara-cara main seks dengan Mama! Tapi Mama bilang permainan itu akan lebih seru lagi kalau ada pasangan pria, jadi permainannya bisa lebih lengkap! Oom enggak marah ‘kan Cindy ceritain begitu?”
Aku sungguh tidak menduga bahwa Vivi telah menggunakan anaknya sendiri untuk mengatasi keinginan seksnya setelah ditinggalkan suami selama tiga tahun, aku dapat mengerti bahwa Vivi membutuhkan penyaluran untuk kebutuhan biologisnya, tetapi bahwa ia mempergunakan anaknya sungguh-sungguh di luar dugaanku. Dan tanpa kusadari Cindy kini telah duduk di pangkuanku sambil memelukkan kedua tangannya ke leherku dan berkata lembut.
“Oom enggak percaya ya..? Mari Cindy tunjukin sama Oom bahwa Cindy juga sudah bisa bermain seks sama lelaki.. ‘kan Mama suka ceritain caranya sama Cindy kalau kami lagi asyik berdua di kamar Mama..!”
Lalu ia mulai mencium mulutku dengan lembut dan terasa lidahnya menjulur keluar dan menyelip masuk ke mulutku, lalu menjilati seluruh bagian dalam mulutku. Aku memang mulai terangsang oleh ulah keponakanku ini, apalagi aroma tubuhnya yang harum itu membuatku terhanyut dalam keadaan ini, namun aku berusaha melepaskan ciumannya dan bertanya dalam keterengahan nafasku yang memburu.
“Lalu kalau kamu sedang main sama Mama, bagaimana caranya supaya kalian berdua bisa mencapai klimaks..?”
Sementara itu Cindy mulai melepaskan kancing atas dasternya, sehingga kedua buah dadanya yang mungil dapat kulihat dengan putingnya yang berwarna merah jambu.
“Biasanya sih Cindy dan Mama suka cara enam sembilan Oom, tapi kadang-kadang kami pakai dildo juga Oom supaya lebih seru, karena bisa klimaks terus selama dildonya masih jalan..!”
“Jadi kalau begitu kamu sudah tidak perawan lagi..?” aku bertanya dengan bodohnya.
“Ya enggak lagi dong Oom.. bagaimana sih Oom ini..!” Cindy menjawab sambil melepas kancing dasternya yang terakhir, lalu ia berdiri dari pangkuanku dan mulai melepaskan t-shirtku.
Kemudian ia merebahkan diriku di sofa dan melepaskan celana pendek serta celana dalamku. Kini kami berdua sudah telanjang bulat, aku terbaring di sofa dan Cindy menelungkupkan tubuhnya di atasku dan mulai lagi menciumi mulutku. Kali ini dengan bernafsu sekali! Nafsuku mulai memuncak, penisku mulai mengeras diantara gesekan kedua pahanya yang putih dan lembut itu serta tekanan kedua buah dadanya yang mungil membuat nafsuku semakin memuncak, walaupun aku masih membayangkan bahwa gadis yang sekarang berada di atas tubuhku adalah keponakanku yang kukenal sejak ia lahir ke dunia ini. Sungguh tidak masuk akal tetapi sekarang sedang terjadi sebuah peristiwa yang tidak pernah terbayang sebelumnya..!
Cindy mengulum mulutku dengan ahli dan penuh nafsu. Aku tak dapat menguasai diriku lagi dan mulai membalas kumulannya dengan penuh nafsu pula. Aku mulai menghisap mulutnya dan lidahku pun masuk ke mulutnya dan menjilati seluruh bagian dalam mulutnya. Punggungnya kuusap lembut dengan kedua tanganku, lalu usapan tanganku semakin turun ke arah pinggulnya dan akhirnya sampai ke pangkal pahanya yang lembut sekali dan terasa olehku Cindy membuka kedua pahanya, sehingga tanganku leluasa bermain mengelus-elus diantara kedua pahanya. Dan akhirnya tanganku tiba pada vaginanya yang sudah basah.. masih belum berbulu.
Aku memasukkan jariku sedikit ke dalam vaginanya dan terasa bagaimana vagina yang mungil itu berdenyut lembut pada jariku. Ini membuatku semakin bernafsu dan akhirnya aku sudah tak memikirkan apa-apa lagi, tubuhnya kuangkat dari tubuhku dan Cindy kugendong menuju kamarnya.
Setibanya di kamar aku segera membaringkan tubuhnya di atas tempat tidurnya, lalu aku berbaring di sampingnya sambil memandang kedua buah dadanya yang kecil mungil. Dan dengan perlahan mulutku mulai mengisap puting dadanya yang sebelah kiri, lembut dan harum. Aku menghisapnya lebih kuat dan terdengar Cindy merintih lirih.
“Aduuhh Oom.. terus Oom.. isap yang kuat Ooomm.. aduuhh.. teruuss Ooomm.. aduuhh..!”
Aku semakin tak kuasa menahan nafsuku ketika terasa tangan Cindy menggenggam penisku yang sudah tegang dan keras dan mulai mengocoknya dengan lembut.
Aku sendiri masih terus menghisap buah dadanya, sementara tangan kiriku terus mengelus dan mengusap vaginanya yang sudah sangat basah. Kedua pahanya sudah terbuka lebar. Lalu mulutku pindah ke buah dadanya yang kanan dan menghisap dengan kuat sampai seluruh dagingnya masuk ke dalam mulutku. Nafas Cindy terengah-engah dan rintihannya terus terdengar lemah.
“Aduuhh Ooom.. teruuss Ooomm.. adduuhh.. aadduuhh.. teruuss Ooomm..!” tubuhnya yang mungil menggelinjang tidak karuan menahan kenikmatan yang dirasakannya.
Remasan tangannya pada penisku bertambah kuat dan cepat.
Aku merasa bahwa Cindy sudah hampir mencapai klimaksnya. Tangannya yang meremas-remas penisku terasa menarik penisku ke arah vaginanya. Aku sendiri sudah tidak dapat menguasai diri lagi. Tubuhku mengikuti tarikan tangan Cindy, dan akhirnya aku sudah berada di antara kedua pahanya yang terbuka lebar dan ujung penisku terasa menyentuh vaginanya, hangat dan basah serta berdenyut.
Cindy kembali merintih, “Ayoo Ooomm.. masukin sekarang Ooomm.. Cindy enggak tahan lagi Ooomm.. ayoo Ooomm.. aadduuhh..!”
Aku menekan sedikit dan terasa kepala penisku masuk ke dalam vaginanya yang agak sempit. Denyutan vaginanya terasa lembut meremas kepala penisku. Aku menekan lagi dan terus menekan sampai akhirnya seluruh penisku telah masuk dan terasa remasan vaginanya yang begitu lembut bagai sutera membuatku tidak dapat menahan nafsuku lagi dan aku mulai mengeluar-masukkan penisku dengan gerakan lambat diikuti oleh gerakan pinggul Cindy yang memutar. Dan kami berdua segera asyik dalam sanggama yang pertama bagi aku dan Cindy, gadis berusia tiga belas tahun ini.
Aku terus memompa Cindy dengan gerakan lambat dan panjang, sedangkan gerakan pinggulnya yang memutar-mutar mulai terasa tidak beraturan lagi. Cindy sudah semakin dekat pada klimaksnya, kedua tangannya memeluk tubuhku dengan eratnya. Nafasnya terengah-engah, tubuh kami bercucuran keringat. Kami semakin asyik dalam sanggama yang nikmat ini. Denyutan vaginanya yang sempit terasa semakin cepat dan kuat, rintihannya juga semakin kuat.
“Aadduuhh Ooomm.. Cindy enggak tahan lagi.. aadduuhh.. Ooomm.. lebih cepat Ooomm.. lagii Ooomm.. aadduuhh.. ayoo Ooomm.. aadduuhh.. aadduuhh..!”
Aku sendiri semakin bernafsu dan mulai tak dapat menguasai gerakanku lagi. Aku memompa Cindy semakin cepat dan kuat. Cindy sendiri sudah begitu asyik dengan kenikmatan yang dirasakannya. Pinggulnya memutar dengan tidak beraturan lagi. Nafasnya mendengus dan rintihannya semakin kuat pula.
“Ayoo Ooomm.. lebih cepat Ooomm.. Cindy sudah mau keluaar.. aadduuhh.. mau keluaarr.. aadduuhh.. Cindy keluar Ooomm.. keluaarr.. aadduuhh..!”
Tubuh Cindy menggelinjang hebat. Kedua tangannya memelukku erat sekali dan tiba-tiba tubuhnya menyentak kuat, lalu menggelinjang hebat saat Cindy tiba dan meledak dalam orgasme yang begitu dahsyat pada puncak klimaksnya yang nikmat luar biasa. Yang terdengar hanya rintihannya.
“Cindy keluar.. keluaarr.. hah.. hah.. aadduuhh.. keluaarr.. aadduuhh..!”
Dan tubuhnya terus menggelinjang sementara aku terus memompanya dengan cepat. Aku juga merasa semakin dekat dengan klimaksku.
Rintihan klimaks Cindy membuat nafsuku semakin memuncak dan aku terus memompa dengan cepat. Aku sudah merasa hampir tiba pada klimaksku. Aku semakin dekat dan penisku terasa semakin besar dan besar dan akhirnya aku tak kuasa menahannya lagi. Dan penisku meledak bergumpal-gumpal di tengah kenikmatan remasan vagina Cindy yang lembut luar biasa. Tubuhku menegang sebentar, kemudian aku tersentak-sentak tak dapat menahan kenikmatan luar biasa yang diberikan oleh vagina Cindy yang meremas lembut penisku. Tubuh kami saling menyentak dan menggelinjang dalam kenikmatan luar biasa yang kami rasakan sebelum akhirnya kami berdua terkulai lemas dengan nafas terengah-engah dan keringat membasahi tubuh kami dan aku masih tetap berada di atas tubuh Cindy dengan penisku di dalam vaginanya yang masih berdenyut lemah.
Setelah beberapa saat, Cindy mulai menciumi wajahku sambil berkata, “Aduuhh Oom.. Oom hebat sekali ya.. baru ini Cindy merasakan orgasme yang begitu hebat.. hebat Oom..!”
Aku hanya diam saja dan kemudian mencabut penisku dari vaginanya, dan berbaring di sampingnya. Tubuh kami berkeringat dan terasa lemah setelah klimaks yang luar biasa tadi. Untuk beberapa saat kami beristirahat, lalu aku bangun dan masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Cindy kemudian menyusulku di kamar mandi dan akhirnya kami mandi bersama-sama di bawah siraman shower yang hangat.
Kami saling menyabuni tubuh kami, dan ketika aku menyabuni Cindy, tanganku tiba pada daerah dadanya dan dengan lembut aku menyabuni kedua buah dadanya. Aku merasa terangsang oleh kelembutan kedua buah dadanya yang mungil itu. Tanganku terus mengusap dan meremas kedua buah dadanya dengan sabun, dan tiba-tiba kurasakan tangan Cindy menyabuni penisku dengan amat lembutnya. Rupanya kami sama-sama terangsang dengan permainan sabun ini. Penisku mulai mengeras lagi dalam genggaman tangan Cindy yang terus menyabuninya dengan sedikit remasan-remasan lembut.
Aku semakin terangsang, dan penisku semakin keras dan panjang, sementara Cindy masih terus meremasnya dengan tangannya yang lembut bersabun. Dan tanpa sadar tiba-tiba aku sudah terduduk di lantai kamar mandi dan bersandar ke dinding. Cindy berlutut di hadapanku dengan tangan terus mengocok penisku yang sudah tegang sekali. Siraman air hangat dari shower telah menghanyutkan semua sabun di tubuh kami. Tubuh Cindy kuraih dan kupeluk, lalu buah dadanya kuhisap dengan kuat sampai tubuh Cindy tersentak. Kedua putingnya kuhisap bergantian dan tanganku kembali mengelus di antara kedua pahanya, dan ternyata vaginanya sudah basah lagi. Jariku terus mengelus lembut vaginanya yang basah.
Cindy kembali membuka kedua pahanya lebih lebar sambil terus mengocok penisku dengan tangannya yang lembut. Aku tak dapat menahan gejolak nafsuku lagi, lalu aku berdiri dan mematikan shower, kemudian tubuh Cindy kukeringkan dengan handuk, dan setelah itu Cindy mengeringkan tubuhku. Lalu kami menuju ke kamarnya dan berbaring lagi di tempat tidurnya.
Kini tubuh Cindy yang berada di atas tubuhku dengan kedua paha terbuka lebar. Tanganku terus mengelus vaginanya yang basah sekali, sementara Cindy menghisap mulutku dengan bernafsu. Lalu tubuhnya kuangkat, aku duduk di tempat tidur dan Cindy kududukkan di pangkuanku dengan kedua pahanya di samping tubuhku dan mulai menghisap kedua buah dadanya dengan kuat sampai tubuh Cindy tersentak-sentak, sementara tanganku yang lain terus mengelus vaginanya. Tangan Cindy terus meremas-remas penisku yang sudah tegang dan besar sekali. Rintihan Cindy mulai terdengar.
“Aduuhh Ooom.. aadduuhh.. isap teruuss Oom.. isap yang kuat Ooomm.. lagii.. lagii.. aadduuhh..!”
Tubuh kami kembali berkeringat dalam pergumulan ini. Aku terus menghisap kedua buah dadanya bergantian, dan tanganku juga terus mengelus vaginanya yang sudah basah sekali. Rupanya Cindy tak dapat menguasai dirinya lagi, tubuhnya tak henti-hentinya menyentak dan menggeliat, sementara mulutku tak lepas dari kedua buah dadanya yang mungil lembut itu. Ia mengangkat tubuhnya sedikit, lalu menurunkan vaginanya tepat pada penisku dan dengan sekejap penisku telah masuk seluruhnya ke vaginanya yang berdenyut basah disertai rintihan lirihnya.
“Ayoo Ooomm.. Cindy enggak tahan lagi.. aadduuhh Ooomm.. ayoo Ooomm.. aduuhh..!”
Dan Cindy mulai menggerakkan tubuhnya naik turun dengan liar, sementara aku terus saja menghisap kedua buah dadanya bergantian yang membuat Cindy semakin bernafsu. Rintihan Cindy terdengar semakin kuat.
“Aadduuhh Ooomm.. aadduuhh.. Cindy enggak tahan lagi Ooomm.. aadduuhh.. aadduuhh.. Ooomm..!”
Gerakan Cindy semakin kuat dan denyutan vaginanya semakin kuat pula. Aku mulai terbawa oleh irama nafsu Cindy yang sudah memuncak. Aku menghisap kedua buah dadanya lebih kuat. Penisku terasa semakin panjang dan besar di tengah remasan vaginanya yang begitu lembut. Kami begitu asyik dalam pergumulan seks ini dan sudah tak dapat menguasai diri kami lagi.
Nafas kami terengah-engah dengan keringat membasahi sekujur tubuh. Gerakan Cindy semakin cepat dan cepat, sementara denyutan vaginanya juga terasa semakin kuat. Kami sudah tidak perduli dengan keadaan di sekitar kami.
“Aadduuhh Ooomm.. Cindy mau keluaarr.. aadduuhh.. mau keluar Ooomm.. aadduuh Ooomm.. Cindy mau keluaarr.. aadduuhh..!”
Aku juga merasa semakin dekat dengan klimaksku. Rasanya aku pun tak dapat menahannya lagi, dan pada saat itu aku merebahkan tubuhku dengan Cindy tetap berada di atasku. Kedua pahanya yang lembut halus terbuka lebar dan aku mulai memompa Cindy dengan cepat.
Tiba-tiba tubuh Cindy menyentak kuat lalu menggelinjang hebat, dan terdengar rintihan nikmatnya.
“Aadduuhh Ooomm.. Cindy keluaarr.. aadduuhh.. keluaarr.. Ooomm.. aadduuhh..!”
Cindy meledak dalam puncak orgasmenya yang nikmat luar biasa disertai gelinjang tubuh yang menyentak-nyentak dan gigitan kuat pada bahuku. Aku juga sudah dekat sekali dengan klimaksku. Penisku rasanya membesar dan membengkak di antara remasan kuat vaginanya yang begitu lembut. Aku tak dapat menahannya lagi. Dan akhirnya.. tak dapat kutahan lagi.
Penisku meledak bergumpal-gumpal dalam orgasme yang nikmat luar biasa yang membuat tubuhku menyentak dan menggelepar-gelepar di tengah kenikmatan luar biasa remasan vagina Cindy yang begitu lembut. Aku masih terus memompa Cindy dengan cepat dan kuat, sementara tubuh kami berdua menggelepar-gelepar tidak karuan tak dapat menahan kenikmatan luar biasa yang kami alami saat itu. Sampai akhirnya kami terkulai lemah dengan Cindy tetap berada di atas tubuhku dan penisku masih berada di dalam vaginanya yang masih terus berdenyut-denyut lemah. Dan akhirnya kami tertidur lelap dalam kelelahan setelah mengalami klimaks yang nikmat luar biasa tadi.
Kehidupan mereka ditopang oleh ibu Cindy, yang bekerja di sebuah perusahaan asing sebagai sekretaris dan kelihatannya mereka dapat hidup berkecukupan. Vivi, ibu Cindy telah lama kenal denganku dan kami sering pergi bertiga kemana-mana bila ada waktu luang, dan tanpa terasa aku seolah telah menjadi pengganti kepala keluarga mereka. Keduanya sangat manja kepadaku sehingga seringkali aku merasa seolah berada di tengah keluarga sendiri bila sedang bersama mereka, dan terutama Cindy yang kukenal sejak lahir, walaupun telah berumur tiga belas tahun tapi ia tidak segan untuk duduk di pangkuanku bila menginginkan sesuatu dariku.
Setibanya di rumah mereka, aku segera menuju ke kamarku yang memang selalu mereka sediakan untukku dan kemudian aku mandi untuk menghilangkan rasa lelah. Selesai mandi aku berpakaian santai, baju kaos dan celana pendek, lalu menonton TV di ruang tengah dimana Cindy berada dari tadi. Aku duduk di sofa dan Cindy duduk di sampingku dengan kedua kaki dilipat disofa, ia hanya memakai daster rumah saja karena hari itu adalah akhir minggu, sehingga ia tidak mempunyai tugas sekolah.
Kami menonton acara mengenai kehidupan sebuah keluarga yang tidak memiliki ayah lagi, sehingga si ibu harus bekerja keras untuk menghidupi dirinya dan kedua anaknya yang masih bersekolah, dan di tengah keasyikan kami menonton Cindy berkata.
“Oom, kasihan ya keluarga itu, Ibunya mesti kerja keras untuk sekolah anak-anaknya!”
“Ya Cindy, begitulah orang tua, selalu mendahulukan kepentingan anak, kamu untung memiliki Mama yang bekerja dengan penghasilan cukup, sehingga kalian tidak kekurangan.” jawabku.
“Iya Oom, Cindy juga merasa beruntung masih ada Oom yang mau memperhatikan kami, kalau enggak entah bagaimana nasib kami.” ujar Cindy lagi.
“Oom ‘kan sudah kenal kamu sejak lahir, masa Oom mau lupa sama kalian, apalagi Mama juga baik sama Oom!” jawabku menimpali.
“Iya Oom, tapi Cindy sekarang ‘kan sudah besar Oom, sudah tiga belas tahun, maunya Oom jangan menganggap Cindy seperti anak kecil lagi dong!” ujarnya manja.
“Lho.., maksudmu bagaimana..? Kan Oom juga memperlakukan Cindy sebagai seorang anak gadis sekarang?” aku menjawab.
“Betul Oom? Cindy sudah Oom anggap seperti seorang gadis?” ia menyela dengan nada riang.
“Iya, betul dong, masa Oom akan menganggap kamu seperti anak kecil terus! ‘Kan kamu sekarang sudah besar, tubuhmu juga sudah tumbuh menjadi seorang gadis!” aku menjawab.
Cindy rupanya merasa senang sekali dengan jawabanku, lalu sambil mendekatkan tubuhnya padaku ia mengatakan sesuatu yang membuatku terkejut.
“Kalau begitu Oom mesti anggap Cindy sebagai seorang gadis ya, enggak boleh anggap Cindy sebagai keponakan lagi. Benar ya Oom!”
Walaupun tidak mengerti maksudnya, aku hanya mengangguk saja sambil terus menonton TV, dan Cindy menyandarkan tubuhnya kepadaku. Kepalanya disandarkan di dadaku lalu ia berkata.
“Oom, sebenarnya Cindy dan Mama sering membicarakan Oom, kami ingin Oom turut dalam kegiatan pribadi Cindy dan Mama supaya lengkap!”
Aku tambah tidak mengerti dan bertanya, “Apa maksudmu dengan kegiatan pribadimu dengan Mama?”
“Begini Oom, tapi janji ya Oom tidak akan marah?” aku mengangguk berjanji.
“Sebetulnya Mama dan Cindy ‘kan sering bermain seks karena tidak ada hiburan kalau sudah malam, apalagi kalau sudah sepi!”
Aku terkejut bukan main mendengar penjelasannya yang tidak disangka-sangka itu, dan di tengah keingin tahuanku, aku bertanya lagi padanya.
“Maksudmu apa sih Cindy? Masa kamu main seks dengan Mama? ‘Kan sama-sama wanita?”
“Iya Oom, Mama yang ngajarin Cindy sejak setengah tahun yang lalu, waktu Cindy baru naik kekelas dua, terus Mama kasih hadiah itu. Cara-cara main seks dengan Mama! Tapi Mama bilang permainan itu akan lebih seru lagi kalau ada pasangan pria, jadi permainannya bisa lebih lengkap! Oom enggak marah ‘kan Cindy ceritain begitu?”
Aku sungguh tidak menduga bahwa Vivi telah menggunakan anaknya sendiri untuk mengatasi keinginan seksnya setelah ditinggalkan suami selama tiga tahun, aku dapat mengerti bahwa Vivi membutuhkan penyaluran untuk kebutuhan biologisnya, tetapi bahwa ia mempergunakan anaknya sungguh-sungguh di luar dugaanku. Dan tanpa kusadari Cindy kini telah duduk di pangkuanku sambil memelukkan kedua tangannya ke leherku dan berkata lembut.
“Oom enggak percaya ya..? Mari Cindy tunjukin sama Oom bahwa Cindy juga sudah bisa bermain seks sama lelaki.. ‘kan Mama suka ceritain caranya sama Cindy kalau kami lagi asyik berdua di kamar Mama..!”
Lalu ia mulai mencium mulutku dengan lembut dan terasa lidahnya menjulur keluar dan menyelip masuk ke mulutku, lalu menjilati seluruh bagian dalam mulutku. Aku memang mulai terangsang oleh ulah keponakanku ini, apalagi aroma tubuhnya yang harum itu membuatku terhanyut dalam keadaan ini, namun aku berusaha melepaskan ciumannya dan bertanya dalam keterengahan nafasku yang memburu.
“Lalu kalau kamu sedang main sama Mama, bagaimana caranya supaya kalian berdua bisa mencapai klimaks..?”
Sementara itu Cindy mulai melepaskan kancing atas dasternya, sehingga kedua buah dadanya yang mungil dapat kulihat dengan putingnya yang berwarna merah jambu.
“Biasanya sih Cindy dan Mama suka cara enam sembilan Oom, tapi kadang-kadang kami pakai dildo juga Oom supaya lebih seru, karena bisa klimaks terus selama dildonya masih jalan..!”
“Jadi kalau begitu kamu sudah tidak perawan lagi..?” aku bertanya dengan bodohnya.
“Ya enggak lagi dong Oom.. bagaimana sih Oom ini..!” Cindy menjawab sambil melepas kancing dasternya yang terakhir, lalu ia berdiri dari pangkuanku dan mulai melepaskan t-shirtku.
Kemudian ia merebahkan diriku di sofa dan melepaskan celana pendek serta celana dalamku. Kini kami berdua sudah telanjang bulat, aku terbaring di sofa dan Cindy menelungkupkan tubuhnya di atasku dan mulai lagi menciumi mulutku. Kali ini dengan bernafsu sekali! Nafsuku mulai memuncak, penisku mulai mengeras diantara gesekan kedua pahanya yang putih dan lembut itu serta tekanan kedua buah dadanya yang mungil membuat nafsuku semakin memuncak, walaupun aku masih membayangkan bahwa gadis yang sekarang berada di atas tubuhku adalah keponakanku yang kukenal sejak ia lahir ke dunia ini. Sungguh tidak masuk akal tetapi sekarang sedang terjadi sebuah peristiwa yang tidak pernah terbayang sebelumnya..!
Cindy mengulum mulutku dengan ahli dan penuh nafsu. Aku tak dapat menguasai diriku lagi dan mulai membalas kumulannya dengan penuh nafsu pula. Aku mulai menghisap mulutnya dan lidahku pun masuk ke mulutnya dan menjilati seluruh bagian dalam mulutnya. Punggungnya kuusap lembut dengan kedua tanganku, lalu usapan tanganku semakin turun ke arah pinggulnya dan akhirnya sampai ke pangkal pahanya yang lembut sekali dan terasa olehku Cindy membuka kedua pahanya, sehingga tanganku leluasa bermain mengelus-elus diantara kedua pahanya. Dan akhirnya tanganku tiba pada vaginanya yang sudah basah.. masih belum berbulu.
Aku memasukkan jariku sedikit ke dalam vaginanya dan terasa bagaimana vagina yang mungil itu berdenyut lembut pada jariku. Ini membuatku semakin bernafsu dan akhirnya aku sudah tak memikirkan apa-apa lagi, tubuhnya kuangkat dari tubuhku dan Cindy kugendong menuju kamarnya.
Setibanya di kamar aku segera membaringkan tubuhnya di atas tempat tidurnya, lalu aku berbaring di sampingnya sambil memandang kedua buah dadanya yang kecil mungil. Dan dengan perlahan mulutku mulai mengisap puting dadanya yang sebelah kiri, lembut dan harum. Aku menghisapnya lebih kuat dan terdengar Cindy merintih lirih.
“Aduuhh Oom.. terus Oom.. isap yang kuat Ooomm.. aduuhh.. teruuss Ooomm.. aduuhh..!”
Aku semakin tak kuasa menahan nafsuku ketika terasa tangan Cindy menggenggam penisku yang sudah tegang dan keras dan mulai mengocoknya dengan lembut.
Aku sendiri masih terus menghisap buah dadanya, sementara tangan kiriku terus mengelus dan mengusap vaginanya yang sudah sangat basah. Kedua pahanya sudah terbuka lebar. Lalu mulutku pindah ke buah dadanya yang kanan dan menghisap dengan kuat sampai seluruh dagingnya masuk ke dalam mulutku. Nafas Cindy terengah-engah dan rintihannya terus terdengar lemah.
“Aduuhh Ooom.. teruuss Ooomm.. adduuhh.. aadduuhh.. teruuss Ooomm..!” tubuhnya yang mungil menggelinjang tidak karuan menahan kenikmatan yang dirasakannya.
Remasan tangannya pada penisku bertambah kuat dan cepat.
Aku merasa bahwa Cindy sudah hampir mencapai klimaksnya. Tangannya yang meremas-remas penisku terasa menarik penisku ke arah vaginanya. Aku sendiri sudah tidak dapat menguasai diri lagi. Tubuhku mengikuti tarikan tangan Cindy, dan akhirnya aku sudah berada di antara kedua pahanya yang terbuka lebar dan ujung penisku terasa menyentuh vaginanya, hangat dan basah serta berdenyut.
Cindy kembali merintih, “Ayoo Ooomm.. masukin sekarang Ooomm.. Cindy enggak tahan lagi Ooomm.. ayoo Ooomm.. aadduuhh..!”
Aku menekan sedikit dan terasa kepala penisku masuk ke dalam vaginanya yang agak sempit. Denyutan vaginanya terasa lembut meremas kepala penisku. Aku menekan lagi dan terus menekan sampai akhirnya seluruh penisku telah masuk dan terasa remasan vaginanya yang begitu lembut bagai sutera membuatku tidak dapat menahan nafsuku lagi dan aku mulai mengeluar-masukkan penisku dengan gerakan lambat diikuti oleh gerakan pinggul Cindy yang memutar. Dan kami berdua segera asyik dalam sanggama yang pertama bagi aku dan Cindy, gadis berusia tiga belas tahun ini.
Aku terus memompa Cindy dengan gerakan lambat dan panjang, sedangkan gerakan pinggulnya yang memutar-mutar mulai terasa tidak beraturan lagi. Cindy sudah semakin dekat pada klimaksnya, kedua tangannya memeluk tubuhku dengan eratnya. Nafasnya terengah-engah, tubuh kami bercucuran keringat. Kami semakin asyik dalam sanggama yang nikmat ini. Denyutan vaginanya yang sempit terasa semakin cepat dan kuat, rintihannya juga semakin kuat.
“Aadduuhh Ooomm.. Cindy enggak tahan lagi.. aadduuhh.. Ooomm.. lebih cepat Ooomm.. lagii Ooomm.. aadduuhh.. ayoo Ooomm.. aadduuhh.. aadduuhh..!”
Aku sendiri semakin bernafsu dan mulai tak dapat menguasai gerakanku lagi. Aku memompa Cindy semakin cepat dan kuat. Cindy sendiri sudah begitu asyik dengan kenikmatan yang dirasakannya. Pinggulnya memutar dengan tidak beraturan lagi. Nafasnya mendengus dan rintihannya semakin kuat pula.
“Ayoo Ooomm.. lebih cepat Ooomm.. Cindy sudah mau keluaar.. aadduuhh.. mau keluaarr.. aadduuhh.. Cindy keluar Ooomm.. keluaarr.. aadduuhh..!”
Tubuh Cindy menggelinjang hebat. Kedua tangannya memelukku erat sekali dan tiba-tiba tubuhnya menyentak kuat, lalu menggelinjang hebat saat Cindy tiba dan meledak dalam orgasme yang begitu dahsyat pada puncak klimaksnya yang nikmat luar biasa. Yang terdengar hanya rintihannya.
“Cindy keluar.. keluaarr.. hah.. hah.. aadduuhh.. keluaarr.. aadduuhh..!”
Dan tubuhnya terus menggelinjang sementara aku terus memompanya dengan cepat. Aku juga merasa semakin dekat dengan klimaksku.
Rintihan klimaks Cindy membuat nafsuku semakin memuncak dan aku terus memompa dengan cepat. Aku sudah merasa hampir tiba pada klimaksku. Aku semakin dekat dan penisku terasa semakin besar dan besar dan akhirnya aku tak kuasa menahannya lagi. Dan penisku meledak bergumpal-gumpal di tengah kenikmatan remasan vagina Cindy yang lembut luar biasa. Tubuhku menegang sebentar, kemudian aku tersentak-sentak tak dapat menahan kenikmatan luar biasa yang diberikan oleh vagina Cindy yang meremas lembut penisku. Tubuh kami saling menyentak dan menggelinjang dalam kenikmatan luar biasa yang kami rasakan sebelum akhirnya kami berdua terkulai lemas dengan nafas terengah-engah dan keringat membasahi tubuh kami dan aku masih tetap berada di atas tubuh Cindy dengan penisku di dalam vaginanya yang masih berdenyut lemah.
Setelah beberapa saat, Cindy mulai menciumi wajahku sambil berkata, “Aduuhh Oom.. Oom hebat sekali ya.. baru ini Cindy merasakan orgasme yang begitu hebat.. hebat Oom..!”
Aku hanya diam saja dan kemudian mencabut penisku dari vaginanya, dan berbaring di sampingnya. Tubuh kami berkeringat dan terasa lemah setelah klimaks yang luar biasa tadi. Untuk beberapa saat kami beristirahat, lalu aku bangun dan masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Cindy kemudian menyusulku di kamar mandi dan akhirnya kami mandi bersama-sama di bawah siraman shower yang hangat.
Kami saling menyabuni tubuh kami, dan ketika aku menyabuni Cindy, tanganku tiba pada daerah dadanya dan dengan lembut aku menyabuni kedua buah dadanya. Aku merasa terangsang oleh kelembutan kedua buah dadanya yang mungil itu. Tanganku terus mengusap dan meremas kedua buah dadanya dengan sabun, dan tiba-tiba kurasakan tangan Cindy menyabuni penisku dengan amat lembutnya. Rupanya kami sama-sama terangsang dengan permainan sabun ini. Penisku mulai mengeras lagi dalam genggaman tangan Cindy yang terus menyabuninya dengan sedikit remasan-remasan lembut.
Aku semakin terangsang, dan penisku semakin keras dan panjang, sementara Cindy masih terus meremasnya dengan tangannya yang lembut bersabun. Dan tanpa sadar tiba-tiba aku sudah terduduk di lantai kamar mandi dan bersandar ke dinding. Cindy berlutut di hadapanku dengan tangan terus mengocok penisku yang sudah tegang sekali. Siraman air hangat dari shower telah menghanyutkan semua sabun di tubuh kami. Tubuh Cindy kuraih dan kupeluk, lalu buah dadanya kuhisap dengan kuat sampai tubuh Cindy tersentak. Kedua putingnya kuhisap bergantian dan tanganku kembali mengelus di antara kedua pahanya, dan ternyata vaginanya sudah basah lagi. Jariku terus mengelus lembut vaginanya yang basah.
Cindy kembali membuka kedua pahanya lebih lebar sambil terus mengocok penisku dengan tangannya yang lembut. Aku tak dapat menahan gejolak nafsuku lagi, lalu aku berdiri dan mematikan shower, kemudian tubuh Cindy kukeringkan dengan handuk, dan setelah itu Cindy mengeringkan tubuhku. Lalu kami menuju ke kamarnya dan berbaring lagi di tempat tidurnya.
Kini tubuh Cindy yang berada di atas tubuhku dengan kedua paha terbuka lebar. Tanganku terus mengelus vaginanya yang basah sekali, sementara Cindy menghisap mulutku dengan bernafsu. Lalu tubuhnya kuangkat, aku duduk di tempat tidur dan Cindy kududukkan di pangkuanku dengan kedua pahanya di samping tubuhku dan mulai menghisap kedua buah dadanya dengan kuat sampai tubuh Cindy tersentak-sentak, sementara tanganku yang lain terus mengelus vaginanya. Tangan Cindy terus meremas-remas penisku yang sudah tegang dan besar sekali. Rintihan Cindy mulai terdengar.
“Aduuhh Ooom.. aadduuhh.. isap teruuss Oom.. isap yang kuat Ooomm.. lagii.. lagii.. aadduuhh..!”
Tubuh kami kembali berkeringat dalam pergumulan ini. Aku terus menghisap kedua buah dadanya bergantian, dan tanganku juga terus mengelus vaginanya yang sudah basah sekali. Rupanya Cindy tak dapat menguasai dirinya lagi, tubuhnya tak henti-hentinya menyentak dan menggeliat, sementara mulutku tak lepas dari kedua buah dadanya yang mungil lembut itu. Ia mengangkat tubuhnya sedikit, lalu menurunkan vaginanya tepat pada penisku dan dengan sekejap penisku telah masuk seluruhnya ke vaginanya yang berdenyut basah disertai rintihan lirihnya.
“Ayoo Ooomm.. Cindy enggak tahan lagi.. aadduuhh Ooomm.. ayoo Ooomm.. aduuhh..!”
Dan Cindy mulai menggerakkan tubuhnya naik turun dengan liar, sementara aku terus saja menghisap kedua buah dadanya bergantian yang membuat Cindy semakin bernafsu. Rintihan Cindy terdengar semakin kuat.
“Aadduuhh Ooomm.. aadduuhh.. Cindy enggak tahan lagi Ooomm.. aadduuhh.. aadduuhh.. Ooomm..!”
Gerakan Cindy semakin kuat dan denyutan vaginanya semakin kuat pula. Aku mulai terbawa oleh irama nafsu Cindy yang sudah memuncak. Aku menghisap kedua buah dadanya lebih kuat. Penisku terasa semakin panjang dan besar di tengah remasan vaginanya yang begitu lembut. Kami begitu asyik dalam pergumulan seks ini dan sudah tak dapat menguasai diri kami lagi.
Nafas kami terengah-engah dengan keringat membasahi sekujur tubuh. Gerakan Cindy semakin cepat dan cepat, sementara denyutan vaginanya juga terasa semakin kuat. Kami sudah tidak perduli dengan keadaan di sekitar kami.
“Aadduuhh Ooomm.. Cindy mau keluaarr.. aadduuhh.. mau keluar Ooomm.. aadduuh Ooomm.. Cindy mau keluaarr.. aadduuhh..!”
Aku juga merasa semakin dekat dengan klimaksku. Rasanya aku pun tak dapat menahannya lagi, dan pada saat itu aku merebahkan tubuhku dengan Cindy tetap berada di atasku. Kedua pahanya yang lembut halus terbuka lebar dan aku mulai memompa Cindy dengan cepat.
Tiba-tiba tubuh Cindy menyentak kuat lalu menggelinjang hebat, dan terdengar rintihan nikmatnya.
“Aadduuhh Ooomm.. Cindy keluaarr.. aadduuhh.. keluaarr.. Ooomm.. aadduuhh..!”
Cindy meledak dalam puncak orgasmenya yang nikmat luar biasa disertai gelinjang tubuh yang menyentak-nyentak dan gigitan kuat pada bahuku. Aku juga sudah dekat sekali dengan klimaksku. Penisku rasanya membesar dan membengkak di antara remasan kuat vaginanya yang begitu lembut. Aku tak dapat menahannya lagi. Dan akhirnya.. tak dapat kutahan lagi.
Penisku meledak bergumpal-gumpal dalam orgasme yang nikmat luar biasa yang membuat tubuhku menyentak dan menggelepar-gelepar di tengah kenikmatan luar biasa remasan vagina Cindy yang begitu lembut. Aku masih terus memompa Cindy dengan cepat dan kuat, sementara tubuh kami berdua menggelepar-gelepar tidak karuan tak dapat menahan kenikmatan luar biasa yang kami alami saat itu. Sampai akhirnya kami terkulai lemah dengan Cindy tetap berada di atas tubuhku dan penisku masih berada di dalam vaginanya yang masih terus berdenyut-denyut lemah. Dan akhirnya kami tertidur lelap dalam kelelahan setelah mengalami klimaks yang nikmat luar biasa tadi.
ranting patah
Berkali kali kucoba menghubungi HP Febi, keponakanku yang kuliah di Semarang, tapi selalu dijawab si Veronica, sekretaris nasional dari Telkomsel. Akhirnya aku spekulasi untuk langsung saja ke tempat kost-nya, aku masih punya waktu 2 jam sebelum schedule pesawat ke Jakarta, rasanya kurang pantas kalau aku di Semarang tanpa menengok keponakanku yang sejak SMP ikut denganku.
Kuketuk pintu rumah bercat biru, rumah itu kelihatan sunyi seakan tak berpenghuni, memang jam 12 siang begini adalah jam bagi anak kuliah berada kampus. Lima menit kemudian pintu dibuka, ternyata Desi, teman sekamar Febi, sudah tingkat akhir dan sedang mengambil skripsi.
“Febi ada?” tanyaku begitu pintu terbuka.
“Eh.. Om Hendra.., anu Om.. anu.. Febi-nya sedang ke kampus, emang dia nggak tahu kalo Om mau kesini?” sapanya dengan nada kaget.
Aku dan istriku sudah beberapa kali menengok keponakanku ini sehingga sudah mengenal teman sekamarnya dan sebagian penghuni rumah kost tersebut.
“Om emang ndadak aja, pesawat Om masih 2 jam lagi, jadi kupikir tak ada salahnya kalo mampir sebentar daripada bengong di airport” jawabku sambil mengangsurkan lumpia yang kubeli di pandanaran.
“Aku ingin nemenin Om ngobrol tapi maaf Om aku harus segera bersiap ke kantor, maklum aja namanya juga lagi magang, apalagi sekretaris di kantor sedang cuti jadi aku harus ganti jam 1 nanti” jawabnya lagi tanpa ada usaha untuk mempersilahkan aku masuk.
“Sorry aku nggak mau merepotkanmu, tapi boleh nggak aku pinjam kamar mandi, perut Om sakit nih” pintaku karena tiba tiba terasa mulas.
Desi berdiam sejenak.
“Please, sebentar aja” desakku, aku tahu memang nggak enak kalau masuk tempat kost putri apalagi Cuma ada Desi sendirian di rumah itu.
“Oke tapi jangan lama lama ya, nggak enak kalau dilihat orang, apalagi aku sendirian di sini” jawabnya mempersilahkanku masuk.
“Oke, cuman sebentar kok, cuma buang hajat aja” kataku
Aku tahu kamar mandi ada di belakang jadi aku harus melewati kamar Desi yang juga kamar Febi yang letaknya di ujung paling belakang dari 9 kamar yang ada dirumah itu sehingga tidak terlihat dari ruang tamu. Desi tak mengantarku, dia duduk di ruang tamu sambil makan lumpia oleh olehku tadi, kususuri deretan kamar kamar yang tertutup rapat, rupanya semua sedang ke kampus. Kulihat kamar Febi sedikit terbuka, mungkin karena ada Desi di rumah sehingga tak perlu ditutup, ketika kudekat di depannya kudengar suara agak berisik, mungkin radio pikirku, tapi terdengar agak aneh, semacam suara desahan, mungkin dia sedang memutar film porno dari komputernya, pikirku lagi. Ketika kulewat di depan kamar, suara itu terdengar makin jelas berupa desahan dari seorang laki dan perempuan, dasar anak muda, pikirku.
Tiba tiba pikiran iseng keluar, aku berbalik mendekati kamar itu, ingin melihat selera anak kuliah dalam hal film porno, dari pintu yang sedikit terbuka, kuintip ke dalam untuk mengetahui film apa yang sedang diputar. Pemandangan ada di kamar itu jauh mengagetkan dari apa yang kubayangkan, ternyata bukan adegan film porno tapi kenyataan, kulihat dua sosok tubuh telanjang sedang bergumulan di atas ranjang, aku tak bisa mengenali dengan jelas siapa mereka, karena sudut pandang yang terbatas. Sakit perutku tiba tiba hilang, ketika si wanita berjongkok diantara kaki laki laki dan mengulum kemaluannya dengan gerakan seorang yang sudah mahir, dari pantulan cermin meja rias sungguh mengagetkanku, ternyata wanita itu tak lain dan tak bukan adalah Febi, keponakanku yang aku sayang dan jaga selama ini, rambutnya dipotong pendek seleher membuatku agak asing pada mulanya. Sementara si laki lakinya aku tak kenal, yang jelas bukan pacarnya yang dikenalkan padaku bulan lalu. Aku tak tahu harus berbuat apa, ingin marah atau malahan ingin kugampar mereka berdua, lututku terasa lemas, shock melihat apa yang terjadi dimukaku. Aku ingin menerobos masuk ke dalam, tapi segera kuurungkan ketika kudengar ucapan Febi pada laki laki itu.
“Ayo Mas Doni, jangan kalah sama Mas Andi apalagi si tua Freddy” katanya lepas tanpa mengetahui keberadaanku.
Aku masih shock mematung ketika Febi menaiki tubuh laki laki yang ternyata namanya Doni, dan masih tidak dapat kupercaya ketika tubuh Febi turun menelan penis Doni ke vaginanya, kembali aku sulit mempercayai pemandangan di depanku ketika Febi mulai mengocok Doni dengan liar seperti orang yang sudah terbiasa melakukannya, desahan nikmat keluar dari mulut Febi dan Doni, tak ada kecanggungan dalam gerakan mereka. Tangan Doni menggerayangi di sekitar dada dan bukit keponakanku, meremas dan memainkannya. Aku masih mematung ketika mereka berganti posisi, tubuh Febi ditindih Doni yang mengocoknya dari atas sambil berciuman, tubuh mereka menyatu saling berpelukan, kaki Febi menjepit pinggang di atasnya, desahan demi desahan saling bersahutan seakan berlomba melepas birahi.
Tiba tiba kudengar suara sandal yang diseret dan langkah mendekat, aku tersadar, dengan agak gugup aku menuju kamar mandi, bukannya menghentikan mereka. Kubasuh mukaku dengan air dingin, menenangkan diri seakan ingin terbangun dan mendapati bahwa itu adalah mimpi, tapi ini bukan mimpi tapi kenyataan. Cukup lama aku di kamar mandi menenangkan diri sambil memikirkan langkah selanjutnya, tapi pikiranku sungguh buntu, tidak seperti biasanya ide selalu lancar mengalir dari kepalaku, kali ini benar benar mampet. Ketika aku kembali melewati kamar itu menuju ruang tamu, kudengar tawa cekikikan dari dalam.
“Nggak apa Mas, ntar kan bisa lagi dengan variasi yang lain” sayup sayup kudengar suara manja keponakanku dari kamar, tapi tak kuhiraukan, aku sudah tak mampu lagi berpikir jernih dalam hal ini.
“Kok lama Om, mulas ya” Tanya Desi begitu melihatku dengan wajah lusuh, sambil menikmati lumpia entah yang keberapa.
Aku diam saja, duduk di sofa ruang tamu.
“Kamu bohong bilang Febi nggak ada, ternyata dia di kamar dengan pacarnya” kataku pelan datar tanpa ekspresi.
Dia menghentikan kunyahan lumpianya, diam tak menjawab, kupandangi wajahnya yang hitam manis, dia menunduk menghindari pandanganku, diletakkannya lumpia yang belum habis di meja tamu.
“Jadi Om memergoki mereka?” katanya pelan
“Ya, dan Om bahkan melihat apa yang mereka perbuat di kamar itu”
“Lalu Om marahi mereka? kok nggak dengar ada ribut?” Desi mulai penuh selidik
“Entahlah, Om biarkan saja mereka melakukannya” aku seperti seorang linglung yang dicecar pertanyaan sulit
“Ha?, Om biarkan mereka menyelesaikannya? Om menontonnya?” cecarnya
Aku makin diam, seperti seorang terdakwa yang terpojok, Desi pindah duduk di sebelahku.
“Om menikmatinya ya” bisiknya, tatapan matanya tajam menembus batinku.
“Entahlah”
“Tapi Om suka melihatnya kan?” desaknya pelan ditelingaku, kurasakan hembusan napasnya mengenai telingaku.
Aku mengangguk pelan tanpa jawab.
“Om”
Aku menoleh, wajah kami berhadapan, hanya beberapa millimeter hidung kami terpisah, kurasakan napasnya menerpa wajahku. Entah siapa yang mulai atau mungkin aku telah terpengaruh kejadian barusan, akhirnya kami berciuman. Kejantananku kembali menegang merasakan sentuhan bibir Desi, kulumat dengan penuh gairah dan dibalasnya tak kalah gairah pula.
Desi meraih tanganku dan meletakkannya di dadanya, kurasakan bukitnya yang lembut tertutup bra, tidak terlalu besar tapi kenyal dan padat. Kubalas meletakkan tangannya di selangkanganku yang sudah mengeras. Desi menghentikan ciumannya ketika tangannya merasakan kekakuan di selangkanganku, sejenak memandangku lalu tersenyum dan kembali kami berciuman di ruang tamu.
Tiba tiba aku tersadar, ini ruangan terbuka dan anak lain bisa muncul setiap saat, tentu ini tak baik bagi semua.
“Kita tak bisa melakukan disini” bisikku
“Tapi juga tak mungkin melakukan di kamarku” jawabnya berbisik
“Kita keluar saja kalau kamu nggak keberatan” usulku
“Oke aku panggil taxi dulu” jawab Desi seraya menghubungi taxi via telepon
Sambil menunggu taxi datang kami bersikap sewajarnya, Febi masih juga belum nongol, mungkin dia melanjutkan dengan pacarnya untuk babak berikutnya. Ternyata Desi membohongiku dengan mengatakan ke kantor supaya aku segera pergi, tapi kini dia bersedia menemaniku selama menghabiskan waktu. Dengan beberapa pertimbangan maka kubatalkan penerbanganku dan kutunda besok, aku ingin bersama Desi dulu. Kutawari Desi untuk memilih hotel yang dia mau, ternyata dia mau di hotel berbintang di daerah Simpang Lima. Akhirnya Taxi yang kami tunggu datang juga, Desi kembali ke kamar berganti pakaian dan membawa beberapa barang keperluan menginap, sekaligus pesan sama Febi kalau dia tidak pulang malam ini. Dia makin cantik dan sexy mengenakan kaos ketat dengan celana jeans selutut.
Kami mendapatkan kamar yang menghadap ke arah simpang lima, Desi langsung melepas kaos dan celananya hingga tinggal bikini putih, tampak body-nya yang sexy dan menggairahkan. Kupeluk tubuh sintal Desi, dia membalas memelukku sambil melucuti pakaianku, tinggal celana dalam menutupi tubuhku, kurebahkan tubuhnya di ranjang, kutindih tubuhnya dan kuciumi bibir dan lehernya, aku masih terbayang tubuh mulus Febi yang sedang dicumbui pacarnya, kalau dibandingkan antara Desi dan Febi memang keponakanku lebih unggul baik dari kecantikan maupun body-nya. Tanpa sadar sambil mencium dan mencumbunya aku membayangkan tubuh Febi, hal yang tak pernah terlintas sebelumnya.
Kami sama sama telanjang tak lama kemudian, aku mengagumi keindahan buah dada Desi yang padat menantang dengan putting kemerahan, kujilati dan kukulum sambil mempermainkan dengan gigitan lembut, dia menggeliat dan mendesis. Jilatanku turun menyusuri perut dan berhenti di selangkangannya, rambut tipis menghiasi celah kedua kakinya, meski berumur 23 tahun tapi rambut kemaluannya sangat jarang, bahkan seakan Cuma membayang. Desi berusaha menutup rapat kakinya, dengan kesabaran kubimbing posisi kakinya membuka, seakan aku sedang memberikan pelajaran pada muridku. Aku sangat yakin kalau ini bukan pertama kali baginya, vaginanya yang masih segar kemerahan seolah memceritakan kalau tidak banyak merasakan hubungan sexual, tapi aku tak tahu kebenarannya. Mata Desi melotot ke arahku ketika bibirku menyusuri pahanya dan dia menjerit tertahan ketika kusentuh klitorisnya dengan lidahku.
“aahh.. sshh.. ennaak Om, terus Om” desahnya meremas rambutku.
Lidahku menari nari di bagian kewanitaannya, desahnya makin menjadi meski masih tertahan malu, kupermainkan jari jemariku di putingnya, dia makin menggeliat dalam nikmat. Desi memberiku isyarat untuk posisi 69, kuturuti kemauannya.
“Tadi Febi dengan posisi ini ketika Om datang” katanya sebelum mulutnya tertutup penisku.
Dia menyebut Febi membuatku teringat kembali akan keponakanku, masih terbayang bagaimana dia mengulum penis pacarnya dengan penuh gairah, aku membayangkan seolah sedang bercinta dengan Febi, masih jelas dalam benakku akan kemulusan tubuh telanjang Febi yang selama ini tak pernah aku lihat, masih jelas tergambar betapa montoknya buah dada nan indah lagi padat, mungkin lebih montok dari istriku sendiri. Kurasakan Desi kesulitan mengulum penisku, aku turun dari tubuhnya, kini kepala Desi berada di selangkanganku, dijilatinya kepala penisku.
“Punya Om gede banget sih, nggak muat mulutku, lagian aku nggak pernah melakukannya sama pacarku, aku Cuma melihat tadi Febi melakukannya, jadi aku ingin coba” komentarnya lalu kembali berusaha memasukkan penisku ke mulutnya, kasihan juga aku melihatnya memaksakan diri untuk mengulumku.
Kurebahkan tubuh telanjang Desi lalu kuusapkan penisku di bibir vaginanya, tapi sebelum penisku menerobos masuk dia mendorongku menjauh.
“Pake kondom dulu ya Om” katanya sambil bangun mengambil kondom dari tas tangannya.
Aku hampir lupa kalau yang kuhadapi ini seorang mahasiswa, bukan wanita panggilan yang tak peduli pada kondom karena mereka sudah pasti mempersiapkan dengan pil anti hamil. Aku jadi teringat Febi, apakah dia juga menggunakan kondom tadi, tak sempat kuperhatikan. Desi memasangkan kondom di penisku, kondom itu seperti bergerigi dan bentuknya agak aneh.
“Oleh oleh pacarku dari Singapura, ih susah amat mesti punya Om ukurannya XL kali” katanya lalu dia kembali telentang di depanku.
“Pelan pelan aja ya Om, baru kali ini aku lakukan selain sama pacarku, lagian punya Om jauh lebih besar dari punya dia” bisiknya
Kembali kusapukan penisku ke vaginanya yang sudah basah, perlahan memasuki liang kenikmatan Desi, tubuhnya menegang saat penisku menerobosnya, terasa begitu rapat, sempit dan kencang, penisku serasa dicengkeram, mungkin karena Desi terlalu tegang atau mungkin memang masih pemula. Desi memejamkan mata lalu melotot ke arahku, seakan tak percaya kalau penisku sedang mengisi vaginanya. Dia menggigit bibir bawahnya, tangannya mencengkeram lenganku, tubuhnya menggeliat ketika penisku melesak semua ke vaginanya. Kudiamkan sejenak sambil menikmati cantiknya wajah Desi dalam kenikmatan, dia menahanku ketika aku mulai mengocoknya.
“Jangan dulu Om, penuh banget, seperti menembus perutku” katanya
“Sakit?” tanyaku
“Ya dan enak, seperti perawan dulu” jawabnya sambil mulai menggoyangkan tubuhnya, aku menganggap pertanda sudah boleh bergerak.
Perlahan aku mulai mengocok vagina Desi, pada mulanya tubuhnya kembali menegang, penisku seperti terjepit di vagina, dia mulai menggeliat dan mendesah nikmat ketika beberapa kocokan berlalu, mungkin bentuk kondom sangat berpengaruh juga pada rangsangan di vaginanya. Penisku bergerak keluar masuk dengan kecepatan normal, desahnya makin menjadi sambil meremas kedua buah dadanya. Kaki kanannya kunaikkan di pundakku, penisku makin dalam melesak. Entah kenapa, tiba tiba bayangan Febi kembali melintas dipikiranku, terbayang Febi sedang telentang menerima kocokan pacarnya, masih terdengar desahan kenikmatan darinya, maka kupejamkan mataku sambil membayangkan bahwa aku sedang mengocok keponakanku itu. Belum 5 menit aku menikmati vaginanya ketika kurasakan remasan kuat dari vaginanya disertai jeritan orgasme, fantasiku buyar. Desi terlalu cepat mencapai puncak kenikmatan itu, padahal aku masih jauh dari puncaknya, aku ingin tetap mengocoknya tapi dia sepertinya sudah kelelahan dan minta beristirahat sebentar, kupikir tak ada salahnya untuk beristirahat dulu, toh kita tidak terburu buru, masih ada waktu semalam hingga besok. Akhirnya kuturuti permintaannya, kami telentang berdampingan di atas ranjang, Desi merebahkan kepalanya di dadaku, kurasakan jantungnya yang keras berdetak disertai napas yang berat.
“Punya Om sepertinya masih terasa mengganjal di dalam, abis punya Om gede banget sih” bisiknya.
Aku tersenyum menghadapi kemanjaannya.
Kuhubungi Room Service untuk memesan makan siang, baru tersadar ternyata kami belum makan, tak ada salahnya menambah tenaga dan energi. Tak lebih dari 10 menit kemudian kudengar bel berbunyi, cepat amat servisnya, pikirku. Kuambil handuk dan kubelitkan di pinggang,kuminta Desi menutupi tubuhnya dengan selimut. Tanpa pikir panjang kubuka pintu dan.. sungguh sangat mengagetkanku, bukannya Room Service yang nongol ternyata Febi yang berada di depan pintu, aku terkejut tak menyangka kedatangannya karena memang aku tak mengharap kedatangannya kali ini. Kusesali kecerobohanku untuk tidak mengintip terlebih dahulu dari lubang di pintu.
Febi langsung menerobos masuk, seperti biasa seolah tak pernah terjadi sesuatu, dengan manja Febi memelukku seperti layaknya seorang keponakan, kucium pipi kiri kanannya, hal yang biasa kami lakukan, tapi kali ini aku merasakan getaran yang tidak seperti biasanya, aku bisa merasakan tonjolan buah dadanya yang montok mengganjal di dadaku, padahal tak pernah terjadi sebelumnya. Dia langsung nyelonong masuk ke dalam.
“Om lagi mandi ya, malam ini Om harus traktir Febi dan temenin aku.. Mbak Desi!”
Belum sempat dia menyelesaikan kata katanya ketika melihat Desi di ranjang, melihat ke arahku lalu kembali lagi ke Desi. Kami tertangkap basah, tak ada lagi alasan untuk mengelak, aku diam seribu basa menunggu reaksi dari Febi. Sebelum aku tahu harus berbuat apa, Desi bangun dari ranjang, menutupi tubuh telanjangnya dengan selimut lalu menggandeng Febi ke kamar mandi, sekilas kulihat mukanya merona merah seperti orang marah. Kukenakan piyama yang ada dilemari menunggu kedua gadis itu, pasrah menerima nasib selanjutnya, meski tidak terlalu khawatir karena aku juga memegang kartunya Febi. Bel pintu kembali berbunyi ketika kedua gadis itu masih di kamar mandi, ternyata Room Service pesanan kami, mereka keluar sesaat setelah Waitress menutup pintu kamar. Bertiga kami makan dalam kebisuan setelah Desi mengenakan piyama yang sama denganku, dia berbagi makanan dengan Febi karena memang pesanan Cuma untuk kami berdua, tak ada kata yang terucap selama makan.
Aku tak berani membuka topik karena belum tahu bagaimana sikap mereka terhadap kejadian ini.
“Om, kita saling jaga rahasia ya, just keep among us, aku nggak keberatan Om sama Mbak Desi asal Om juga tidak cerita sama Mbak Lily tentang kejadian tadi siang” Febi membuka percakapan, aku merasakan lampu kuning mengarah hijau darinya.
Febi melanjutkan, “Karena tadi Om melihatku sama Doni, aku juga ingin melihat Om sama Mbak Desi” lanjutnya mengagetkan, aku tak tahu apa maunya anak ini.
“Terserah kamu Feb, toh aku juga udah biasa melihat kamu main sama pacar pacarmu” kata Desi lalu duduk dipangkuanku dengan sikap pamer.
Sebenarnya agak segan juga kalau harus melakukannya didepan keponakanku sendiri, tapi Sebelum aku protes, Desi sudah mendaratkan bibirnya di bibirku, tangannya menyelip diselangkanganku, meremas penisku dan mengocoknya. Mau tak mau Kubalas dengan lumatan di bibir dan remasan di buah dadanya, rasa seganku perlahan hilang berganti dengan birahi dan sensasi, Febi seakan tidak melihat kami, menghabiskan sisa makanan yang masih ada di atas meja. Kami saling melepas piyama hingga telanjang di depan Febi. Desi merosot turun diantara kakiku, menjilati dan mengulum kemaluanku. Terkadang kurasakan giginya mengenai batang penis tegangku, maklum masih pemula.
“Feb, lihat punya Om-mu, besar mana sama punya Doni” Desi memamerkan penis tegangku yang ada digenggamannya.
“Wow, gede banget” sahut Febi lalu memandang ke arahku.
“Bisa pingsan kamu kalau segede itu” lanjutnya dengan nada kagum
“Nggak tuh, enak lagi, coba aja sendiri” jawab Desi melanjutkan kulumannya, kulihat Febi menggeser duduknya melihat penisku keluar masuk mulut Desi seakan tak percaya kalau dia bisa melakukannya.
“Akhirnya berhasil juga mendapatkan Om-ku yang selama ini kamu kagumi” seloroh Febi mengagetkanku, Desi hanya tersenyum.
“Mau coba?” goda Desi sambil menyodorkan penisku ke Febi, aku diam saja menunggu reaksi keponakanku, tapi dia diam saja, Desi menjilati penisku seakan memamerkan ke Febi mainannya.
Febi menggeser lagi mendekati kami, Desi menuntun tangan Febi dan menyentuhkannya ke penisku, ada ke-ragu raguan di wajahnya untuk menyentuh penis Om-nya. Wajah putihnya bersemu merah ketika Desi menggenggamkan tangannya ke penisku, dia hanya menggenggam tanpa berani menggerakkan tangannya, memandang ke arahku seolah minta pendapat. Aku diam saja, hanya mengangguk kecil pertanda setuju. Perlahan keponakanku mulai meremas penisku, tangannya yang putih mulus sungguh kontras dengan penisku yang kecoklatan gelap, makin lama gerakannya berubah dari meremas lalu mengocok, sementara Desi masih asyik menjilati kepala penisku sambil mengelus kantong bola. Gerakan mereka mulai seirama, Febi mengocok keras ketika kepala penisku berada di mulut Desi, aku mendesah kenikmatan dalam permainan kedua gadis ini. Ketika Desi menjilati kantong bola, Febi kembali memandangku, kubalas dengan senyum dan anggukan, dia menundukkan kepalanya ke arah penisku, tapi sebelum sampai ke tujuannya Desi memotong.
“Kami sudah telanjang masak kamu masih pakai pakaian lengkap kayak orang mau kuliah, cepat copot gih” katanya kembali menjilat dan mengulum.
Febi terlihat ragu ragu untuk melepas pakaiannya dan telanjang di depanku, dia diam sejenak, aku menghindar ketika dia manatapku, meskipun sebenarnya aku sangat berharap dia melakukannya.
“Kok jadi bengong gitu, kenapa malu, kan Om-mu sudah melihatmu telanjang tadi dan lagian waktu kecil kan sering dimandiin, jadi kenapa risih” goda Desi
Akhirnya Febi tunduk pada godaan Desi, dia membalikkan badan membelakangiku sambil melepas kaos ketatnya, kulihat punggungnya yang mulus dengan hiasan bra hijau muda, bodynya sungguh menggetarkan tanpa timbunan lemak di perutnya, ketika jeans-nya dilepas, aku makin kagum dengan ke-sexy-annya, pantatnya padat membentuk body seperti gitar spanyol nan indah, baru sekarang aku menyadari betapa keponakanku tumbuh menjadi seorang gadis yang menawan, selama ini pengamatan seperti ini telah kulewatkan, aku hanya melihatnya sebagai seorang gadis kecil yang selalu manja, tapi tak pernah melihatnya sebagai seorang gadis cantik yang penuh gairah.
Darahku berdesir makin kencang saat Febi membalikkan badannya menghadapku, buah dadanya yang sungguh montok indah nian terbungkus bra satin, kaki bukitnya menonjol seakan ingin berontak dari kungkungannya, kaki Febi yang putih mulus berhias celana dalam hijau mini di selangkangannya menutupi bagian indah kewanitaannya. Febi menyilangkan tangannya di dadanya seakan menutupi tubuhnya dari sorotan mata nakalku.
“Alaa sok suci kamu, lepas aja BH-mu sekalian” Desi kembali menggoda tapi kali ini Febi tak menurutinya, dengan masih memakai bikini dia ikutan Desi mengeroyok selangkanganku, tangannya berebut dengan Desi mengocokku, kutarik tubuh Desi untuk duduk disampingku, aku ingin melihat saat pertama kali keponakanku menjilat dan mengulum penisku tanpa gangguan Desi.
Mula mula agak ragu dia menjilati kepala penisku tapi akhirnya dengan penuh gairah lidahnya menyusuri seluruh bagian kejantananku sebelum akhirnya memasukkan ke mulutnya yang mungil, aku mendesis penuh kenikmatan saat pertama kali penisku menerobos bibir dan mulut Febi, sungguh kenikmatan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya, kenikmatan yang bercampur dengan sensasi yang hebat, mendapat permainan oral dari keponakanku sendiri. Penisku makin cepat meluncur keluar masuk mulut Febi. Diluar dugaanku ternyata Febi sangat mahir bermain oral, jauh lebih mahir dibandingkan Desi, sepertinya dia lebih berpengalaman dari sobat sekamarnya. Lidah Febi menari nari di kepala penisku saat berada di mulutnya, sungguh ketrampilan yang hanya dimiliki mereka yang sudah terbiasa, aku harus jujur kalau permainan oral keponakanku menyamai tantenya yaitu istriku. Begitu penuh gairah Febi memainkan penisku membuatku terhanyut dalam lautan kenikmatan, kepalanya bergerak liar turun naik diselangkanganku. Aku mendesah makin lepas dalam nikmat.
Desi kembali ke selangkanganku, kini kedua gadis bergantian memasukkan penisku ke mulutnya diselingi permainan dua lidah yang menyusuri kejantananku secara bersamaan, aku melayang makin tinggi. Desi memasang kondom, bentuknya unik berbeda dengan sebelumnya, dikulumnya sebentar penisku yang terbungkus kondom lalu dia naik ke pangkuanku, menyapukan ke vaginanya dan melesaklah penisku menerobos liang kenikmatannya saat dia menurunkan badan.
“Aduuhh.. sshh.. gila Feb, punya Om-mu enak banget, penuh rasanya” komentarnya setelah penisku tertanam semua di liang vaginanya.
Febi duduk di sebelahku melihat sahabatnya merasakan kenikmatan dari Om-nya, aku masih ragu untuk mulai menjamah tubuh Febi, selama ini yang kami lakukan hanya peluk dan cium dari seorang Om kepada keponakannya yang masih kecil, tapi kini aku harus melihatnya sebagai seorang gadis sexy yang menggairahkan. Belum ada keberanianku mulai menikmati tubuh sintal keponakanku, hanya memandang dengan kagum dan penuh hasrat gairah.
“aagghh.. uff.. Feb.. lepas dong bikinimu, kamu harus merasakan nikmatnya Om-mu” Desi ngoceh disela desahannya.
Sepertinya antara aku dan Febi saling menunggu, sama sama risih dan malu untuk mulai, ketika desahan Desi makin liar aku tak tahan lagi, kuraih kepala Febi dalam rangkulanku dan kucium bibirnya. Ada perasaan aneh ketika bibirku menyentuh bibirnya, perasaan yang tidak pernah kujumpai ketika berciuman dengan wanita manapun, mungkin hubungan batin sebagai seorang Om masih membatasi kami. Setelah sesaat berciuman agak canggung, akhirnya kami mulai menyesuaikan diri, saling melumat dan bermain lidah, jauh lebih bergairah dibanding dengan Desi atau lainnya, kami seolah sepasang kekasih yang sudah lama tidak bertemu. Kocokan Desi makin liar tapi lumatan bibir lembut Febi tak kalah nikmatnya.
Agak gemetar tanganku ketika mulai mengelus punggung telanjang Febi, dengan susah payah, meskipun biasanya cukup dengan tiga jari, aku berhasil melepas kaitan bra yang ada di punggung. Masih tetap berciuman kulepas bra-nya, tanganku masih gemetar ketika menyusuri bukit di dada Febi, begitu kenyal dan padat berisi, kuhentikan ciumanku untuk melihat keindahan buah dadanya, jantungku seakan berdetak 3 kali lebih cepat melihat betapa indah dan menantang kedua bukitnya yang berhiaskan putting kemerahan di puncaknya, I have no idea berapa orang yang sudah menikmati keindahan ini.
Desah kenikmatan Desi sudah tak kuperhatikan lagi, kuusap dan kuremas dengan lembut, kurasakan kenikmatan kelembutan kulit dan kekenyalannya, gemas aku dibuatnya. Febi menyodorkan buah dadanya ke mukaku, langsung kusambut dengan jilatan lidah di putingnya dan dilanjutkan dengan sedotan ringan, dia menggelinjang meremas rambutku. Belum puas aku mengulum putting Febi, Desi sudah turun dari pangkuanku, lalu kami pindah ke ranjang, Desi nungging mengambil mengambil posisi doggie, langsung kukocok dia dari belakang sambil memeluk tubuh sexy Febi. Kukulum putting kemerahannya untuk kesekian kalinya bergantian dari satu puncak ke puncak lainnya, Febi mendesis nikmat, inilah pertama kali kudengar desahan nikmat langsung darinya, begitu merangsang dan penuh gairah di telinga.
Tanpa kusadari, ternyata Febi sudah melepas celana dalamnya, aku kembali terkesima untuk kesekian kalinya, selangkangannya yang indah berhias bulu kemaluan yang sangat tipis, bahkan nyaris tak ada, sungguh indah dilihat. Gerakan pinggul Desi makin tak beraturan, antara maju mundur dan berputar, penisku seperti diremas remas di vaginanya, sungguh nikmat, kali ini Desi bisa bertahan lebih lama. Kami berganti posisi, aku telentang diantara kedua gadis cantik ini dengan penis yang masih tegak tegang menantang.
“Feb, gantian, kamu harus coba nikmatnya Om-mu” Desi mempersilahkan Febi, tapi aku menolak dan minta Desi segera naik melanjutkannya.
Terus terang, jauh di lubuk hati ini masih menolak untuk bercinta atau bersenggama dengan Febi, aku masih harus berpikir panjang untuk bertindak lebih jauh dari sekedar oral, saat ini belum bisa menerima untuk melanjutkan ke senggama atau tidak, aku belum tahu. Desi kembali bergoyang pinggul di atasku, Febi kuberi isyarat untuk naik ke kepalaku, dia langsung mengerti, kakinya dibuka lebar di depan mukaku, terlihat dengan jelas vaginanya yang masih kemerahan seperti daging segar, kepalaku langsung terbenam di selangkangannya, lidahku menyusuri bibir dan klitorisnya sambil meremas pantatnya yang padat, desahan Febi bersahutan dengan Desi. Seperti halnya Desi, kedua gadis ini menggoyangkan pinggulnya di atasku, vagina Febi menyapu seluruh wajahku. Febi mendesah keras dan tubuhnya menegang ketika kusedot vaginanya, hampir dia menduduki wajahku. Desi minta bertukar tempat, rupanya dia ingin mendapatkan kenikmatan seperti yang aku berikan ke keponakanku. Kini vagina Desi yang basah tepat di atas mukaku, sementara Febi melepas kondom yang membalut penisku, membersihkan sisa cairan dari vagina Desi dengan selimut lalu mulai menjilatinya.
Rasa asin dari vagina Desi tak kuperhatikan, cairannya menyapu mukaku, sementara kemaluanku sudah mengisi rongga mulut Febi dengan cepatnya. Aku begitu asyik menikmati vagina Desi dengan lidahku, tanpa kusadari Febi sudah mengambil posisi untuk memasukkan penisku ke vaginanya, aku baru tersadar ketika Febi sudah naik di atas tubuhku dan menyapukan penisku ke bibir vaginanya, aku harus mencegahnya, pikirku, karena masih belum memutuskan apakah harus melakukannya, hati kecilku masih belum menerima kalau aku bercinta dengan keponakanku sendiri.
“Febi, jangan”, teriakku.
Tapi terlambat, penisku sudah meluncur masuk ke vagina keponakanku tanpa kondom, sudah terjadi, ada rasa sesal meskipun sedikit sekali. Tapi rasa sesal segera berubah menjadi heran karena begitu mudahnya penisku menerobos liang vaginanya, tidak seperti Desi yang cukup sempit dan kesakitan, tapi Febi sepertinya tidak ada rasa sakit sama sekali ketika vaginanya terisi penisku yang berukuran 17 cm itu. Bahkan dia langsung mengocok dan menggoyang dengan cepatnya seolah tak ada halangan dengan ukuran penisku seperti yang dialami Desi. Goyangan pinggul Febi lebih nikmat dari Desi tapi sepertinya vagina Febi tidak sesempit Desi, tidak ada kurasakan remasan dan cengkeraman otot dari vaginanya, hanya keluar masuk dan gesekan seperti biasa, dalam hal ini vagina Desi lebih nikmat, itulah perbedaan antara Desi dan Febi, meskipun keduanya sama sama nikmat.
Desi turun dari mukaku, kuraih buah dada montok Febi dan kuremas remas gemas penuh nafsu, kutarik Febi dalam pelukanku, kukocok dari bawah dengan cepatnya, desahannya begitu bergairah di telingaku.
“Oh.. yess.. enak banget Om truss.. Febi kaangeen.. Febi cemburuu.. Febi sayang Om.. udah lama Febi menunggu kesempatan ini” desahnya.
Aku kaget ternyata disamping cinta seorang keponakan dia juga menyimpan cinta layaknya seorang gadis pada lawan jenisnya. Kami bergulingan, kini aku di atasnya, kunikmati ekspresi kenikmatan wajah cantik keponakanku yang sedang dilanda birahi tinggi, desahannya makin keras dan liar, rasanya lebih liar dari yang kulihat tadi siang membuatku makin bernafsu mengocok lebih cepat dan lebih keras. Dengan gemas kuciumi pipi Febi, tidak dengan perasaan kasih sayang seperti biasanya tapi penuh dengan perasaan nafsu, kususuri leher jenjangnya yang putih mulus, baru sekarang kusadari betapa menggairahkan tubuh keponakanku ini. Febi menggelinjang dan menjerit ketika lidahku mencapai puncak buah dadanya, kupermainkan putingnya yang kemerahan, dengan kuluman ringan kusedot buah dadanya, itulah yang membuat dia menggelinjang hebat penuh nikmat.
Desi memelukku dari belakang, diciuminya tengkuk dan punggungku, dalam keadaan normal bercinta dengan dua wanita cantik tentulah menyenangkan tapi ini keadaan khusus dimana pertama kali aku mencumbu keponakanku tercinta, aku ingin menikmatinya secara total, keterlibatan Desi sebenarnya kurasakan mengganggu tapi aku tak bisa menyuruhnya pergi, karena dialah aku bisa menikmati tubuh sexy Febi. Tanpa menghiraukan pelukan Desi, kuangkat kedua kaki Febi kepundakku, dengan meremas kedua buah dadanya sebagai pegangan aku mengocoknya keras dan cepat. Febi menjerit keras antara sakit dan nikmat, kepala penisku serasa menyentuh dinding terdalam dari vaginanya, tangannya mencengkeram erat lenganku, matanya melotot ke arahku seakan tak percaya aku melakukan ini padanya, tapi sorot matanya justru menambah tinggi nafsuku, dia kelihatan makin cantik dengan wajah yang bersemu merah terbakar nafsu, lebih menggairahkan dan menggoda, makin dia melotot makin cepat kocokanku, makin keras pula jerit dan desah kenikmatannya. Dan tak lama kemudian dia sampai pada puncak kenikmatan tertinggi.
“Truss.. Om.. Febi mau keluar ya.. truss.. fuck me harder” dia mendesis indah, dan dengan diiringi jeritan kenikmatan panjang dia menggoyang goyangkan kepalanya, cengkeraman di lenganku makin erat, tubuhnya menegang, dia telah mencapai orgasme lebih dulu, kunikmati saat saat orgasme yang dialami Febi.
Inilah pertama kali aku melihat ekspresi orgasme dari keponakanku yang cantik, begitu liar dan menggairahkan, sungguh tak kalah dengan tantenya, istriku. Tubuh Febi perlahan mulai melemah, kuturunkan kakinya dari pundakku lalu kukecup bibir dan keningnya.
“Makasih Om, ini orgasme terindah yang pernah kualami, nanti lagi ya, aku ingin merasakan Om keluar di dalam” katanya mendorong tubuhku turun dari atas tubuhnya.
Desi sudah sampingnya bersiap menerimaku, posisi menungging dengan kaki dibuka lebar, penisku yang masih tegang siap untuk masuk ke vagina lainnya. Rupanya Desi tak pernah melupakan pengamannya, dia memberiku kondom sebelum penisku sempat menyentuh bibir vaginanya, sementara Febi tak peduli dengan hal itu, aku tak khawatir karena memang tidak berniat memuntahkan spermaku di vagina keponakanku. Febi memasangkan kondom di penisku dan kembali untuk kesekian kalinya penisku menguak celah sempit di antara kaki Desi, sungguh sempit, meski udah beberapa kali kumasuki tapi masih tetap saja terasa mencengkeram pada mulanya.
Berbeda dengan punya Febi yang langsung bisa “melahap” semuanya, Desi meringis sebentar saat penisku kudorong menguak vaginanya, cukup lama sebelum akhirnya aku bisa mengocoknya dengan normal, sesekali hentakan keras menghunjam membuatnya teriak entah sakit atau enak. Kupegangi pantatnya yang padat berisi, kocokanku makin cepat, desahan Desi begitu juga makin keras terdengar, kuraih buah dadanya yang menggantung dan kuremas sambil tetap mengocoknya. Terus terang setelah merasakan nikmatnya bercinta dengan keponakanku, terasa Desi begitu hambar, padahal saat pertama tadi dia begitu menggairahkan, kini aku hanya berusaha untuk memuaskan dia sebagai balas jasa dan secepat mungkin mencapai orgasme dengannya supaya berikutnya aku bisa lebih “all out” dengan Febi.
Kocokan kerasku membawa Desi lebih cepat ke puncak kenikmatan, tangan Desi dan Febi saling meremas, teriakan orgasme Desi mengagetkanku, apalagi diiringi dengan denyutan dan remasan kuat dari vaginanya, penisku seperti diremas remas, sungguh nikmat yang tak bisa kudapat dari Febi, akhirnya akupun harus takluk pada kenikmatan cengkeraman vagina Desi, menyemprotlah spermaku di dalam vaginanya. Kembali dia menjerit merasakan denyut kenikmatan penisku, kami saling memberi denyutan nikmat, lebih nikmat dari yang kudapat tadi. Tubuhku langsung ambruk di atas punggun Desi, kami bertiga telentang dalam kenangan dan kenikmatan indah. Aku telentang di antara dua gadis cantik yang menggairahkan, Desi melepas kondom, sungguh tak menyangka kalau aku akhirnya bercinta dengan keponakanku sendiri yang sangat sexy dan menggairahkan. Diusianya yang belum 23 tahun dia terlalu pintar bermain sex apalagi permainan oralnya, sungguh sukar dipercaya kalau dia mampu melakukannya dengan sangat baik.
Setelah kudesak akhirnya dia mengakui bahwa dia sudah sering melakukannya sejak setahun yang lalu. Pertama kali yang menikmati keperawanannya adalah P. Freddy, dosennya sendiri, seorang duda berumur hampir 50 tahun, orangnya jauh dari simpatik, justru lebih mendekati sadis, karena wajahnya tipikal orang maluku yang keras. Untuk mendapatkan nilai lulus dari dia akhirnya Febi harus menyerahkan keperawanannya, kalau tidak dia tidak akan bisa melewati tahap persiapan yang berakibat Drop Out. Dengan perasaan jijik Febi menyerahkan kehangatan dan kesuciannya pada si tua bangka, seminggu sekali dia terpaksa harus melayani nafsu bejat si dosen, setelah berjalan dua bulan dan merasakan nikmatnya bercinta akhirnya keterpaksaan itu berubah menjadi ketergantungan, bukan lagi P. Fredy yang memaksa tapi terkadang justru Febi yang minta karena dia tidak mungkin melakukannya dengan orang lain. Hingga akhirnya dia menemukan teman kuliah pujaan hati, tapi begitu sampai ke urusan sex ternyata Febi masih tidak bisa melupakan keperkasaan P. Fredy, jadi dia tetap melakukannya dengan si dosen untuk mendapatkan kepuasan, pacarnya tidak pernah memperlakukan Febi seperti yang dilakukan P. Fredy, perlakuannya begitu sabar dan kebapakan dan dia selalu memenuhi apa yang Febi inginkan, tak pernah memaksa dan selalu sopan di ranjang, begitu romantis hingga Febi makin terhanyut dalam pesona si dosen, dari keterpaksaan menjadi ketergantungan. Semua berakhir setelah P. Fredy mendapat Profesor dan promosi dipindah tugas ke Ujung Pandang. Untuk memenuhi ketergantungannya Febi sering melakukannya dengan pacarnya, tapi sosok permainan sex seperti P. Fredy tak pernah dia dapatkan dari sang pacar. Entah sudah berapa kali dia ganti pacar, tak pernah lebih dari 3 bulan mereka pacaran, selalu diawali dan diakhiri di ranjang.
Cerita Febi sungguh mengagetkanku, rupanya selama ini aku dan istriku terlalu memandang enteng masalah yang dihadapi Febi, tak pernah memberi solusi yang kondusif, kini baru kusadari hal itu. Istriku pernah cerita kalau Febi ingin mendapatkan suami seperti Om-nya, aku, sabar penuh pengertian dan kebapakan, hal yang tidak pernah dia terima dari ayah kandungnya. Diam diam dia mengagumiku, aku tak menyangka kalau kekagumannya ternyata lebih jauh dari sekedar seorang Om.
“Om Febi cemburu sekali ketika melihat Om sama Mbak Lily bercinta, begitu penuh perasaan dan gairah” katanya sambil kepalanya disandarkan di dadaku.
“Oh ya? kapan dan dimana” tanyaku kaget
“Di rumah, ketika direnovasi, hampir tiap kali aku mendengar desahan dari Mbak Lily aku naik dan mengintip dari celah celah bangunan yang belum selesai itu, setelah itu aku tak bisa tidur sampai pagi, sejak itu aku bertekad untuk bisa merasakan nikmat seperti itu dari Om, bahkan aku ingin lebih dari itu” katanya.
Berarti sejak dia kelas 3 SMA dia sudah melihat kami berhubungan.
Mendengar penuturan Febi gairahku kembali naik, penisku menegang dalam genggaman Febi, Desi tertidur di samping kami, mungkin kelelahan setelah mendapat 2 kali orgasme berurutan dariku.
“Di sofa yuk Om, Febi udah lama nggak bermain di sofa sejak terakhir kali dengan P. Fredy” ajaknya seraya bangun dan menarikku.
Febi langsung duduk di sofa dan membuka kakinya, aku tak mau langsung melakukannya, kucium bibirnya lalu turun ke leher dan berhenti di kedua bukitnya, dengan gemas kuciumi bukit di dadanya, kombinasi jilatan dan kuluman membuat dia mendesah.
Sengaja kutinggalkan beberapa bekas kemerahan di buah dadanya supaya dia berhenti melakukan dengan pacarnya untuk beberapa hari. Dia cemberut ketika tahu ada kemerahan di dadanya tapi justru kecemberutannya makin menambah kecantikan wajahnya. Bibirku menyusuri perutnya lalu berhenti di selangkangannya, terasa asin ketika lidahku menyentuh vaginanya, mungkin cairan ketika dia orgasme tadi. Tangannya meremas rambutku ketika lidahku menari nari di bibir vaginanya, kakinya menjepit kepalaku, aku makin bergairah mempermainkan vaginanya dengan bibirku.
“Udah.. udah.. Om.. sekarang.. Febi udah nggak tahan nih” desahnya menarik rambutku.
Aku berdiri, kusodorkan penisku ke mulutnya, dia menggenggam dan mengocoknya, memandang ke arahku sejenak sebelum menjilati dan memasukkan penisku ke mulutnya. Tanpa kesulitan, segera penisku meluncur keluar masuk mulut mungil keponakanku yang cantik, kembali kurasakan begitu pintar dia memainkan lidahnya. Antara jilatan, kuluman dan kocokan membuatku mulai melayang tinggi. Puas dengan permainan oral-nya, aku lalu jongkok di depannya, dia menyapukan penisku ke vaginanya, dia menatapku dengan pandangan penuh gairah, aku jadi agak malu memandangnya, namun nafsu lebih berkuasa, dengan sekali dorong melesaklah penisku kembali ke vaginanya, dia masih tetap menatapku ketika aku mulai mengocoknya. Kakinya menjepit pinggangku, kutarik dia dalam pelukanku, kudekap erat hingga kami menyatu dalam suatu ikatan kenikmatan birahi, saling cium, saling lumat.
Febi mendesah liar seperti sebelumnya, kurebahkan dia di sofa lalu kutindih, satu kaki menggantung dan kaki satunya dipundakku. Aku tak pernah bosan menikmati ekspresi wajah innocent yang memerah penuh birahi, makin menggemaskan. Buah dadanya bergoyang keras ketika aku mengocoknya, dia memegangi dan meremasnya sendiri. Kuputar tubuhnya untuk posisi doggie, dia tersenyum, tanpa membuang waktu kulesakkan penisku dari belakang, dia menjerit dan mendorong tubuhku menjauh, kuhentikan gerakanku sejenak lalu mengocoknya perlahan, tak ada penolakan. Kupegang pantatnya yang padat berisi, Febi melawan gerakan kocokanku, kami saling mengocok, dia begitu mahir mempermainkan lawan bercintanya.
Aku bisa melihat penisku keluar masuk vagina keponakanku, kupermainkan jari tanganku di lubang anusnya, dia menggeliat ke-gelian sambil menoleh ke arahku. Kuraih buah dadanya yang menggantung dan bergoyang indah, kuremas dengan gemas dan kupermainkan putingnya. Aku sepertinya benar benar menikmati tubuh indah keponakanku dengan berbagai caraku sendiri, ada rasa dendam tersendiri di hatiku, kalau orang lain telah menikmatinya, aku sebagai orang yang membesarkannya tentu ingin menikmatinya lebih dari lainnya, tak ada yang lebih berhak dari aku. Kuraih tangannya dan kutarik kebelakang, dengan tangannya tertahan tanganku, tubuh Febi menggantung, aku lebih bebas melesakkan penisku sedalam mungkin. Desah kenikmatan Febi mekin keras memenuhi kamar ini. Kudekap tubuhnya dari belakang, kuremas kembali buah dadanya, penisku masih menancap di vaginanya, kuciumi telinga dan tengkuknya, geliat nikmat Febi makin liar.
“Aduh oom.. enak banget Omm, Febi sukaa, trus Om”
Kulepaskan tubuh Febi, kambali kami bercinta dengan doggie style, tak terasa lebih setengah jam kami bercinta, belum ada tanda tanda orgasme diantara kami. Kami berganti posisi, Febi sudah di pangkuanku, tubuhnya turun naik mengocokku, buah dadanya berayun ayun di mukaku, segera kukulum dan kusedot dengan penuh gairah hingga kepalaku terbenam diantara kedua bukitnya. Gerakan Febi berubah menjadi goyangan pinggul, berputar menari hula hop di pangkuanku, berulang kali dia menciumiku dengan gemas, sungguh tak pernah terbayangkan kalau akhirnya aku bisa saling mengulum dengannya. Tak lama kemudian, tiba tiba Febi menghentikan gerakannya, dia juga memintaku untuk diam.
“Sebentar Om, Febi nggak mau keluar sekarang, masih banyak yang kuharapkan dari Om” katanya sambil lebih membenamkan kepalaku di antara kedua bukitnya, aku hampir tak bisa napas.
“Kamu turun dulu” pintaku
“Tapi Om, Febi kan belum” protesnya
“Udahlah percaya Om” potongku
Kutuntun dan kuputar tubuhnya menghadap dinding, kubungkukkan sedikit lalu kusapukan penisku ke vaginanya dari belakang, Febi mengerti maksudku, kakinya dibuka lebih lebar, mempermudah aku melesakkan penisku. Tubuhnya makin condong ke depan, desah kenikmatan mengiringi masuknya penisku mengisi vaginanya.
“ss.. aduuh Om, enak Om.. belum pernah aku.. aauu” desahnya sambil membalas gerakanku dengan goyangan pinggulnya yang montok.
Kami saling bergoyang pinggul, saling memberi kenikmatan sementara tanganku menggerayangi dan meremas buah dadanya. Nikmat sekali goyangan Febi, lebih nikmat dari sebelumnya, berulang kali dia menoleh memandangku dengan sorot mata penuh kepuasan, mungkin dia belum pernah melakukan dengan posisi seperti ini. Tubuhnya makin lama makin membungkuk hingga tangannya sudah tertumpu meja sebelah. Kudorong sekalian hingga dia telungkup di atasnya, aku tetap masih mengocoknya dari belakang, dia menaikkan satu kakinya di pinggiran meja, penisku melesak makin dalam, kocokanku makin keras, sekeras desah kenikmatannya. Kubalikkan tubuhnya, dia telentang di atas meja, kunaikkan satu kakinya di pundakku, kukocok dengan cepat dan sedalam mungkin.
“ss.. eegghh.. udaahh oom, Febi nggaak kuaat, mau keluar niih” desahnya
“Sama Om juga”
“Kita sama sama, keluarin di dalam saja, aman kok, Febi pake pil, jangan ku.. aa.. sshhiit” belum sempat dia menyelesaikan kalimatnya ternyata sudah orgasme duluan, aku makin cepat mengocoknya, tak kuhiraukan teriakan orgasme Febi, makin keras teriakannya makin membuatku bernafsu. Semenit kemudian aku menyusulnya ke puncak kenikmatan, kembali dia teriak keras ketika penisku berdenyut menyemprotkan sperma di vaginanya. Aku telah membasahi vagina dan rahim keponakanku dengan spermaku, dia menahanku ketika kucoba menarik keluar.
“Tunggu, biarkan keluar sendiri” cegahnya, maka kutelungkupkan tubuhku di atas tubuhnya, kucium kening dan pipinya sebelum akhirnya kucium bibirnya.
“Makasih Om, permainan yang indah, the best deh pokoknya” bisiknya menatapku tajam.
Kuhindari tatapannya, tak sanggup aku melawan tatapan tajam keponakanku itu.
Jarum jam masih menunjukkan pukul 17:30, entah sudah berapa lama aku melayani kedua gadis ini, gelapnya malam mulai menyelimuti Kota Semarang, para pedagang kaki lima di simpang lima sudah mulai menata dagangannya. Aku sempat tertidur sejenak diantara kedua gadis itu sebelum mereka membangunkanku untuk makan malam, jam 19:30. Kami memutuskan untuk makan di luar sambil shoping di Mall sebelah hotel. Ternyata mereka lebih senang shopping lebih dulu dari pada makan malam, padahal aku sudah lapar akibat bekerja terlalu keras, terpaksa aku memenuhi keinginan kedua gadis itu. Diluar dugaanku justru mereka memilih untuk belanja parfum, lingerie dan pakaian dalam, aku ikutan memilihkan untuk mereka, tentu saja yang kuanggap sexy, tak jarang aku diminta memberikan penilaian ketika mereka mencoba bra di ruang ganti, tentu dengan senang hati aku memenuhinya. Tak lupa kami membeli beberapa VCD porno di pinggiran jalan.
Kami kembali ke hotel hampir pukul 22:00, kuminta mereka memakai apa yang baru mereka beli, sungguh sexy dan menggairahkan kedua bidadari itu mengenakan pakaian dalam yang serba mini pilihanku, hampir semuanya dicoba, tapi aku sudah tak tahan lagi melihat penampilan mereka. Saat mereka berganti lagi untuk ketiga kalinya, aku sudah tak sanggup menahan lebih lama lagi, terutama melihat tubuh sexy Febi, kutarik mereka ke ranjang dan kucumbui mereka bersamaan, kami saling bergulingan seperti anak kecil sedang bermain main. Mereka berebutan melepas pakaian dan celanaku, bahkan suit untuk menentukan siapa yang melepas celana dalamku. Bersama sama mereka mulai menjilati dan mengulum penisku, kedua lidah gadis itu secara bersamaan menyusuri penis dan kantong bola dengan gerakan berbeda, aku segera melayang tinggi didampingi kedua bidadari ini.
“Om percaya nggak, Desi itu udah lama lho kagum sama Om, jadi ini sudah menjadi fantasinya” kata Febi disela kulumannya.
“Ih kamu buka rahasia deh” Desi yang sedang menjilati pahaku mencubih Febi, mereka berdua tertawa sambil terus menjilatiku.
Kedua tanganku meremas remas dua buah dada yang berbeda, baik kekenyalan maupun besarnya, punya Febi lebih besar tapi Desi lebih kenyal dan padat. Febi lebih cepat mengambil inisiatif, kakinya dilangkahkan ke tubuhku hingga posisi 69, Desi yang kalah cepat bergeser di antara kakiku, sambil menjilati Febi aku masih bisa merasakan kuluman dari dua mulut yang berbeda. Ketika Febi menegakkan tubuhnya melepaskan kulumannya pada penisku, Desi segera mengambil posisi untuk memasukkan penisku ke vaginanya, rupanya takut keduluan Febi dia tak mempedulikan lagi kondomnya seperti sebelumnya, kurasakan vaginanya yang rapat mencengkeram erat penisku, apalagi tanpa kondom, kurasakan makin kuat mencengkeram, hingga semua tertanam dia tak berani bergerak.
“Om kalo keluar bilang ya” rupanya dia masih sedikit sadar
Perlahan tubuhnya turun naik dan mulai menggoyangkan pinggul, penisku terasa diremas dengan hebat, gerakannya makin cepat dan tidak beraturan. Tak lebih lima menit dia turun dari tubuhku.
“Feb, giliranmu, aku nggak udah tahan, bisa keluar duluan aku nanti, habis enak banget sih” katanya.
Mereka bertukar posisi, sepeti sebelumnya penisku langsung masuk ke vagina Febi tanpa hambatan yang berarti, berbeda dengan Desi yang mendiamkan sesaat sebelum mengocok, tubuh Febi langsung turun naik dengan cepatnya, pinggangnya berputar putar sambil tangannya mengelus kantong bola. Aku tak bisa melihat ekspresi wajah Febi karena mukaku tertutup pantat Desi yang tepat berada di atasku dengan vagina terbuka lebar. Jerit dan desahan kedua gadis di atasku saling bersahutan merasakan kenikmatan yang berbeda.
Tak lama kemudian Febi turun, Desi mengikutinya, kedua gadis itu lalu telentang bersebelahan dan membuka kakinya lebar lebar seakan mempersilahkan aku untuk memilihnya, aku bingung, kutatap mata keduanya, sama sama memberikan pandangan yang menggairahkan. Aku yakin Desi tidak bisa bertahan lama, maka kupilih Desi duluan supaya aku bisa menikmati Febi lebih lama dan memuntahkan spermaku ke vagina keponakanku itu.
“Om janji ya kalo keluar di luar saja” katanya ketika aku mendekatinya.
“Kalo aku nggak mau” godaku
“Pleese” Desi memelas
Tanpa menjawab lagi kusapukan penisku ke vaginanya dan mendorongnya masuk perlahan lahan.
“Pelan pelan Om, ini pertama kali aku nggak pake kondom” katanya pelan ketika penisku mulai menerobos liang kenikmatannya.
Kutelungkupkan tubuhku menindih tubuhnya setelah penisku masuk semuanya, pantatku mulai turun naik di atas tubuhnya, desah kenikmatan mengiringi kocokanku. Febi bergeser di belakangku, rupanya dia mengatur kaki Desi, diletakkannya menjepit pinggangku, penisku makin dalam mengisi liang kenikmatannya. Kukocok dia dengan cepat dan keras, kuhentakkan sedalam mungkin, tak kupedulikan desahan kenikmatannya, aku ingin segera membuatnya orgasme dan secepatnya beralih ke tubuh keponakanku yang sedang menunggu giliran. Diluar dugaanku, ternyata Desi tidak segera orgasme seperti perkiraanku, gerakannya malah semakin liar mencengkeramku, justru hampir saja aku keluar duluan kalau tidak segera kuhentikan gerakanku dan kucabut penisku dari vaginanya.
Desi tersenyum penuh kemenangan melihat aku hampir kalah, kuambil napas dalam dalam lalu kutahan dan kuhembuskan pelan pelan. Febi sudah bersiap di sampingnya dengan posisi nungging, kuturunkan teganganku dengan menciumi pantat Febi, menjilati vagina dan anusnya, dia menggeliat geli, kukocok vaginanya dengan dua jariku, dia mendesis. Setelah kurasa aku siap maka langsung kumasukkan penisku ke liang Febi dengan sekali dorong disusul kocokan cepat, dia menjerit nikmat lepas.
“Des, remas dadanya” perintahku sambil mengocoknya keras, Desi memandangku bingung, kuraih tangannya dan kuletakkan di dada Febi, kedua gadis itu kelihatan risih tapi aku tak peduli, kupaksa Desi meremasnya. Akhirnya Febi bisa menerima remasan Desi di buah dadanya, aku makin bergairah melihatnya, apalagi ketika Desi meremas kedua buah dada yang menggantung itu. Nafsuku makin meninggi ketika Febi membalas meremas buah dada Desi, mereka saling meremas buah dada.
Aku terkejut ketika Febi mengambil inisiatif lebih jauh, tiba tiba dia menciumi buah dada Desi dan menjilati putingnya, mulanya Desi tertawa geli menerima hal itu, tapi kemudian dia ikutan mendesah dan meremas rambut Febi yang ada di dadanya. Aku makin bergairah dibuatnya, kocokanku makin cepat dan liar, seliar sedotan Febi pada buah dada sahabatnya. Desi menyusupkan tubuhnya di bawah Febi, kepalanya tepat di bawah bukit yang menggantung, mereka saling mengulum buah dada seperti permainan lesbi meski aku yakin mereka bukan golongan itu.
Imajinasiku makin liar melihat kenakalan mereka, kuminta Desi nungging di atas Febi, tubuhnya menempel rapat di punggungnya, memeluk rapat dari belakang, vaginanya tepat di atas pantat Febi, masih tetap mengocok Febi kumasukkan dua jariku ke liang kenikmatannya, kedua gadis itu mendesah bersahutan. Kutarik keluar penisku dan segera beralih ke liang kenikmatan di atasnya, masih saja kurasakan rapatnya vagina Desi, nikmat yang berbeda dari dua vagina. Kocokanku berpindah dari satu vagina ke vagina lainnya. Aku tak tahu harus mengakhirinya di mana, hampir saja aku orgasme ketika tiba tiba kudengar bunyi HP-ku. Ingin kuabaikan tapi deringnya terasa mengganggu.
“Terima dulu Om, siapa tahu penting, atau mungkin dari Mbak Lily” kata Febi ketika aku sedang mengocok vagina di atasnya.
Terpaksa kutinggalkan kedua vagina yang sedang penuh gairah itu, benar saja istriku menelpon, aku menjauhi mereka, duduk di sofa supaya tidak terdengar suara napas mereka yang sedang ngos-ngosan. Kedua gadis itu menyusulku, Desi bersimpuh di antara kakiku sedangkan Febi duduk di sebelahku, menempelkan telinganya di HP, ikutan mendengar pembicaraanku dengan tantenya, sambil tangannya mengocok penisku bersamaan dengan lidah dan mulut Desi yang menari nari di penisku yang masih menegang. Handphone kuberikan ke Febi ketika istriku mau bicara padanya, akupun tak mau berlama lama bicara sama istriku dalam keadaan seperti ini, bisa bisa bicara sambil mendesah.
“Ya Mbak, ini Om mau antar Febi pulang, udah malam, lagian besok kan kuliah.. agak siang sih, jam 11 pagi kuliahnya.. tapi Febi belum pamit sama ibu Kost, ntar dicari”
Untungnya Febi mengikuti pembicaraan kami tadi hingga bisa langsung nyambung, kubalas Febi dengan mengulum putingnya ketika bicara sama tantenya, dia melototiku.
“..oke deh Mbak, nanti Febi telpon ke kost deh” jawabnya mengakhiri pembicaraan.
“Nakal ya, awas Febi balas” katanya lalu jongkok di sebelah sahabatnya, bersamaan mereka mengulum penisku, lidah kedua gadis itu menyusuri penisku kembali, aku mendesah sambil meremas rambut keduanya. Begitu nikmat permainan dua lidah, apalagi ketika bibir keponakanku mulai meluncur di batang kemaluanku, sementara sobatnya mempermainkan kantong bola dengan lidahnya, membawaku melayang tinggi dalam kenikmatan.
Akhirnya aku menyerah dalam permainan dua mulut mereka, menyemprotlah spermaku ketika berada di mulut Desi, segera dia menarik keluar tapi terlambat, beberapa semprotan sudah membasahi tenggorokannya. Febi segera meraih penisku dan langsung memasukkan ke mulut mungilnya, semprotanku sempat mengenai wajah dan rambut Desi sebelum akhirnya habis dalam kuluman keponakanku, sedikit tetesan keluar dari celah bibirnya, dia menyedot habis semburan demi semburan hingga tetes terakhir tanpa mengeluarkan dari mulutnya. Kedua gadis itu lalu menyapukan penisku yang sudah lemas ke wajahnya.
Malam itu kuhabiskan dengan mengarungi lautan kenikmatan bersama keponakanku dan sahabatnya, sepertinya mereka tak ada kata puas merengkuh kenikmatan demi kenikmatan, bergantian aku harus melayani mereka sampai kewalahan melayaninya, tapi dengan bantuan film VCD yang kami putar di Laptop, sedikit banyak aku bisa mengimbangi permintaan mereka. Entah jam berapa kami baru bisa tertidur, “terpaksa” aku pulang dengan pesawat terakhir ke Jakarta besoknya, “tak tega” meninggalkan keponakanku tercinta berikut sobat karibnya.
Pesanku sebelum meninggalkannya di airport, jangan merusak rumah tangga orang, jangan merebut suami orang, dan yang paling penting, jangan sampai hamil. Suatu pesan yang tak layak disampaikan seorang paman kepada keponakannya, apa boleh buat, tak mungkin aku menyadarkan Febi dari kelakuannya kalau aku sendiri berperilaku sama, bahkan meniduri keponakanku.
Kuketuk pintu rumah bercat biru, rumah itu kelihatan sunyi seakan tak berpenghuni, memang jam 12 siang begini adalah jam bagi anak kuliah berada kampus. Lima menit kemudian pintu dibuka, ternyata Desi, teman sekamar Febi, sudah tingkat akhir dan sedang mengambil skripsi.
“Febi ada?” tanyaku begitu pintu terbuka.
“Eh.. Om Hendra.., anu Om.. anu.. Febi-nya sedang ke kampus, emang dia nggak tahu kalo Om mau kesini?” sapanya dengan nada kaget.
Aku dan istriku sudah beberapa kali menengok keponakanku ini sehingga sudah mengenal teman sekamarnya dan sebagian penghuni rumah kost tersebut.
“Om emang ndadak aja, pesawat Om masih 2 jam lagi, jadi kupikir tak ada salahnya kalo mampir sebentar daripada bengong di airport” jawabku sambil mengangsurkan lumpia yang kubeli di pandanaran.
“Aku ingin nemenin Om ngobrol tapi maaf Om aku harus segera bersiap ke kantor, maklum aja namanya juga lagi magang, apalagi sekretaris di kantor sedang cuti jadi aku harus ganti jam 1 nanti” jawabnya lagi tanpa ada usaha untuk mempersilahkan aku masuk.
“Sorry aku nggak mau merepotkanmu, tapi boleh nggak aku pinjam kamar mandi, perut Om sakit nih” pintaku karena tiba tiba terasa mulas.
Desi berdiam sejenak.
“Please, sebentar aja” desakku, aku tahu memang nggak enak kalau masuk tempat kost putri apalagi Cuma ada Desi sendirian di rumah itu.
“Oke tapi jangan lama lama ya, nggak enak kalau dilihat orang, apalagi aku sendirian di sini” jawabnya mempersilahkanku masuk.
“Oke, cuman sebentar kok, cuma buang hajat aja” kataku
Aku tahu kamar mandi ada di belakang jadi aku harus melewati kamar Desi yang juga kamar Febi yang letaknya di ujung paling belakang dari 9 kamar yang ada dirumah itu sehingga tidak terlihat dari ruang tamu. Desi tak mengantarku, dia duduk di ruang tamu sambil makan lumpia oleh olehku tadi, kususuri deretan kamar kamar yang tertutup rapat, rupanya semua sedang ke kampus. Kulihat kamar Febi sedikit terbuka, mungkin karena ada Desi di rumah sehingga tak perlu ditutup, ketika kudekat di depannya kudengar suara agak berisik, mungkin radio pikirku, tapi terdengar agak aneh, semacam suara desahan, mungkin dia sedang memutar film porno dari komputernya, pikirku lagi. Ketika kulewat di depan kamar, suara itu terdengar makin jelas berupa desahan dari seorang laki dan perempuan, dasar anak muda, pikirku.
Tiba tiba pikiran iseng keluar, aku berbalik mendekati kamar itu, ingin melihat selera anak kuliah dalam hal film porno, dari pintu yang sedikit terbuka, kuintip ke dalam untuk mengetahui film apa yang sedang diputar. Pemandangan ada di kamar itu jauh mengagetkan dari apa yang kubayangkan, ternyata bukan adegan film porno tapi kenyataan, kulihat dua sosok tubuh telanjang sedang bergumulan di atas ranjang, aku tak bisa mengenali dengan jelas siapa mereka, karena sudut pandang yang terbatas. Sakit perutku tiba tiba hilang, ketika si wanita berjongkok diantara kaki laki laki dan mengulum kemaluannya dengan gerakan seorang yang sudah mahir, dari pantulan cermin meja rias sungguh mengagetkanku, ternyata wanita itu tak lain dan tak bukan adalah Febi, keponakanku yang aku sayang dan jaga selama ini, rambutnya dipotong pendek seleher membuatku agak asing pada mulanya. Sementara si laki lakinya aku tak kenal, yang jelas bukan pacarnya yang dikenalkan padaku bulan lalu. Aku tak tahu harus berbuat apa, ingin marah atau malahan ingin kugampar mereka berdua, lututku terasa lemas, shock melihat apa yang terjadi dimukaku. Aku ingin menerobos masuk ke dalam, tapi segera kuurungkan ketika kudengar ucapan Febi pada laki laki itu.
“Ayo Mas Doni, jangan kalah sama Mas Andi apalagi si tua Freddy” katanya lepas tanpa mengetahui keberadaanku.
Aku masih shock mematung ketika Febi menaiki tubuh laki laki yang ternyata namanya Doni, dan masih tidak dapat kupercaya ketika tubuh Febi turun menelan penis Doni ke vaginanya, kembali aku sulit mempercayai pemandangan di depanku ketika Febi mulai mengocok Doni dengan liar seperti orang yang sudah terbiasa melakukannya, desahan nikmat keluar dari mulut Febi dan Doni, tak ada kecanggungan dalam gerakan mereka. Tangan Doni menggerayangi di sekitar dada dan bukit keponakanku, meremas dan memainkannya. Aku masih mematung ketika mereka berganti posisi, tubuh Febi ditindih Doni yang mengocoknya dari atas sambil berciuman, tubuh mereka menyatu saling berpelukan, kaki Febi menjepit pinggang di atasnya, desahan demi desahan saling bersahutan seakan berlomba melepas birahi.
Tiba tiba kudengar suara sandal yang diseret dan langkah mendekat, aku tersadar, dengan agak gugup aku menuju kamar mandi, bukannya menghentikan mereka. Kubasuh mukaku dengan air dingin, menenangkan diri seakan ingin terbangun dan mendapati bahwa itu adalah mimpi, tapi ini bukan mimpi tapi kenyataan. Cukup lama aku di kamar mandi menenangkan diri sambil memikirkan langkah selanjutnya, tapi pikiranku sungguh buntu, tidak seperti biasanya ide selalu lancar mengalir dari kepalaku, kali ini benar benar mampet. Ketika aku kembali melewati kamar itu menuju ruang tamu, kudengar tawa cekikikan dari dalam.
“Nggak apa Mas, ntar kan bisa lagi dengan variasi yang lain” sayup sayup kudengar suara manja keponakanku dari kamar, tapi tak kuhiraukan, aku sudah tak mampu lagi berpikir jernih dalam hal ini.
“Kok lama Om, mulas ya” Tanya Desi begitu melihatku dengan wajah lusuh, sambil menikmati lumpia entah yang keberapa.
Aku diam saja, duduk di sofa ruang tamu.
“Kamu bohong bilang Febi nggak ada, ternyata dia di kamar dengan pacarnya” kataku pelan datar tanpa ekspresi.
Dia menghentikan kunyahan lumpianya, diam tak menjawab, kupandangi wajahnya yang hitam manis, dia menunduk menghindari pandanganku, diletakkannya lumpia yang belum habis di meja tamu.
“Jadi Om memergoki mereka?” katanya pelan
“Ya, dan Om bahkan melihat apa yang mereka perbuat di kamar itu”
“Lalu Om marahi mereka? kok nggak dengar ada ribut?” Desi mulai penuh selidik
“Entahlah, Om biarkan saja mereka melakukannya” aku seperti seorang linglung yang dicecar pertanyaan sulit
“Ha?, Om biarkan mereka menyelesaikannya? Om menontonnya?” cecarnya
Aku makin diam, seperti seorang terdakwa yang terpojok, Desi pindah duduk di sebelahku.
“Om menikmatinya ya” bisiknya, tatapan matanya tajam menembus batinku.
“Entahlah”
“Tapi Om suka melihatnya kan?” desaknya pelan ditelingaku, kurasakan hembusan napasnya mengenai telingaku.
Aku mengangguk pelan tanpa jawab.
“Om”
Aku menoleh, wajah kami berhadapan, hanya beberapa millimeter hidung kami terpisah, kurasakan napasnya menerpa wajahku. Entah siapa yang mulai atau mungkin aku telah terpengaruh kejadian barusan, akhirnya kami berciuman. Kejantananku kembali menegang merasakan sentuhan bibir Desi, kulumat dengan penuh gairah dan dibalasnya tak kalah gairah pula.
Desi meraih tanganku dan meletakkannya di dadanya, kurasakan bukitnya yang lembut tertutup bra, tidak terlalu besar tapi kenyal dan padat. Kubalas meletakkan tangannya di selangkanganku yang sudah mengeras. Desi menghentikan ciumannya ketika tangannya merasakan kekakuan di selangkanganku, sejenak memandangku lalu tersenyum dan kembali kami berciuman di ruang tamu.
Tiba tiba aku tersadar, ini ruangan terbuka dan anak lain bisa muncul setiap saat, tentu ini tak baik bagi semua.
“Kita tak bisa melakukan disini” bisikku
“Tapi juga tak mungkin melakukan di kamarku” jawabnya berbisik
“Kita keluar saja kalau kamu nggak keberatan” usulku
“Oke aku panggil taxi dulu” jawab Desi seraya menghubungi taxi via telepon
Sambil menunggu taxi datang kami bersikap sewajarnya, Febi masih juga belum nongol, mungkin dia melanjutkan dengan pacarnya untuk babak berikutnya. Ternyata Desi membohongiku dengan mengatakan ke kantor supaya aku segera pergi, tapi kini dia bersedia menemaniku selama menghabiskan waktu. Dengan beberapa pertimbangan maka kubatalkan penerbanganku dan kutunda besok, aku ingin bersama Desi dulu. Kutawari Desi untuk memilih hotel yang dia mau, ternyata dia mau di hotel berbintang di daerah Simpang Lima. Akhirnya Taxi yang kami tunggu datang juga, Desi kembali ke kamar berganti pakaian dan membawa beberapa barang keperluan menginap, sekaligus pesan sama Febi kalau dia tidak pulang malam ini. Dia makin cantik dan sexy mengenakan kaos ketat dengan celana jeans selutut.
Kami mendapatkan kamar yang menghadap ke arah simpang lima, Desi langsung melepas kaos dan celananya hingga tinggal bikini putih, tampak body-nya yang sexy dan menggairahkan. Kupeluk tubuh sintal Desi, dia membalas memelukku sambil melucuti pakaianku, tinggal celana dalam menutupi tubuhku, kurebahkan tubuhnya di ranjang, kutindih tubuhnya dan kuciumi bibir dan lehernya, aku masih terbayang tubuh mulus Febi yang sedang dicumbui pacarnya, kalau dibandingkan antara Desi dan Febi memang keponakanku lebih unggul baik dari kecantikan maupun body-nya. Tanpa sadar sambil mencium dan mencumbunya aku membayangkan tubuh Febi, hal yang tak pernah terlintas sebelumnya.
Kami sama sama telanjang tak lama kemudian, aku mengagumi keindahan buah dada Desi yang padat menantang dengan putting kemerahan, kujilati dan kukulum sambil mempermainkan dengan gigitan lembut, dia menggeliat dan mendesis. Jilatanku turun menyusuri perut dan berhenti di selangkangannya, rambut tipis menghiasi celah kedua kakinya, meski berumur 23 tahun tapi rambut kemaluannya sangat jarang, bahkan seakan Cuma membayang. Desi berusaha menutup rapat kakinya, dengan kesabaran kubimbing posisi kakinya membuka, seakan aku sedang memberikan pelajaran pada muridku. Aku sangat yakin kalau ini bukan pertama kali baginya, vaginanya yang masih segar kemerahan seolah memceritakan kalau tidak banyak merasakan hubungan sexual, tapi aku tak tahu kebenarannya. Mata Desi melotot ke arahku ketika bibirku menyusuri pahanya dan dia menjerit tertahan ketika kusentuh klitorisnya dengan lidahku.
“aahh.. sshh.. ennaak Om, terus Om” desahnya meremas rambutku.
Lidahku menari nari di bagian kewanitaannya, desahnya makin menjadi meski masih tertahan malu, kupermainkan jari jemariku di putingnya, dia makin menggeliat dalam nikmat. Desi memberiku isyarat untuk posisi 69, kuturuti kemauannya.
“Tadi Febi dengan posisi ini ketika Om datang” katanya sebelum mulutnya tertutup penisku.
Dia menyebut Febi membuatku teringat kembali akan keponakanku, masih terbayang bagaimana dia mengulum penis pacarnya dengan penuh gairah, aku membayangkan seolah sedang bercinta dengan Febi, masih jelas dalam benakku akan kemulusan tubuh telanjang Febi yang selama ini tak pernah aku lihat, masih jelas tergambar betapa montoknya buah dada nan indah lagi padat, mungkin lebih montok dari istriku sendiri. Kurasakan Desi kesulitan mengulum penisku, aku turun dari tubuhnya, kini kepala Desi berada di selangkanganku, dijilatinya kepala penisku.
“Punya Om gede banget sih, nggak muat mulutku, lagian aku nggak pernah melakukannya sama pacarku, aku Cuma melihat tadi Febi melakukannya, jadi aku ingin coba” komentarnya lalu kembali berusaha memasukkan penisku ke mulutnya, kasihan juga aku melihatnya memaksakan diri untuk mengulumku.
Kurebahkan tubuh telanjang Desi lalu kuusapkan penisku di bibir vaginanya, tapi sebelum penisku menerobos masuk dia mendorongku menjauh.
“Pake kondom dulu ya Om” katanya sambil bangun mengambil kondom dari tas tangannya.
Aku hampir lupa kalau yang kuhadapi ini seorang mahasiswa, bukan wanita panggilan yang tak peduli pada kondom karena mereka sudah pasti mempersiapkan dengan pil anti hamil. Aku jadi teringat Febi, apakah dia juga menggunakan kondom tadi, tak sempat kuperhatikan. Desi memasangkan kondom di penisku, kondom itu seperti bergerigi dan bentuknya agak aneh.
“Oleh oleh pacarku dari Singapura, ih susah amat mesti punya Om ukurannya XL kali” katanya lalu dia kembali telentang di depanku.
“Pelan pelan aja ya Om, baru kali ini aku lakukan selain sama pacarku, lagian punya Om jauh lebih besar dari punya dia” bisiknya
Kembali kusapukan penisku ke vaginanya yang sudah basah, perlahan memasuki liang kenikmatan Desi, tubuhnya menegang saat penisku menerobosnya, terasa begitu rapat, sempit dan kencang, penisku serasa dicengkeram, mungkin karena Desi terlalu tegang atau mungkin memang masih pemula. Desi memejamkan mata lalu melotot ke arahku, seakan tak percaya kalau penisku sedang mengisi vaginanya. Dia menggigit bibir bawahnya, tangannya mencengkeram lenganku, tubuhnya menggeliat ketika penisku melesak semua ke vaginanya. Kudiamkan sejenak sambil menikmati cantiknya wajah Desi dalam kenikmatan, dia menahanku ketika aku mulai mengocoknya.
“Jangan dulu Om, penuh banget, seperti menembus perutku” katanya
“Sakit?” tanyaku
“Ya dan enak, seperti perawan dulu” jawabnya sambil mulai menggoyangkan tubuhnya, aku menganggap pertanda sudah boleh bergerak.
Perlahan aku mulai mengocok vagina Desi, pada mulanya tubuhnya kembali menegang, penisku seperti terjepit di vagina, dia mulai menggeliat dan mendesah nikmat ketika beberapa kocokan berlalu, mungkin bentuk kondom sangat berpengaruh juga pada rangsangan di vaginanya. Penisku bergerak keluar masuk dengan kecepatan normal, desahnya makin menjadi sambil meremas kedua buah dadanya. Kaki kanannya kunaikkan di pundakku, penisku makin dalam melesak. Entah kenapa, tiba tiba bayangan Febi kembali melintas dipikiranku, terbayang Febi sedang telentang menerima kocokan pacarnya, masih terdengar desahan kenikmatan darinya, maka kupejamkan mataku sambil membayangkan bahwa aku sedang mengocok keponakanku itu. Belum 5 menit aku menikmati vaginanya ketika kurasakan remasan kuat dari vaginanya disertai jeritan orgasme, fantasiku buyar. Desi terlalu cepat mencapai puncak kenikmatan itu, padahal aku masih jauh dari puncaknya, aku ingin tetap mengocoknya tapi dia sepertinya sudah kelelahan dan minta beristirahat sebentar, kupikir tak ada salahnya untuk beristirahat dulu, toh kita tidak terburu buru, masih ada waktu semalam hingga besok. Akhirnya kuturuti permintaannya, kami telentang berdampingan di atas ranjang, Desi merebahkan kepalanya di dadaku, kurasakan jantungnya yang keras berdetak disertai napas yang berat.
“Punya Om sepertinya masih terasa mengganjal di dalam, abis punya Om gede banget sih” bisiknya.
Aku tersenyum menghadapi kemanjaannya.
Kuhubungi Room Service untuk memesan makan siang, baru tersadar ternyata kami belum makan, tak ada salahnya menambah tenaga dan energi. Tak lebih dari 10 menit kemudian kudengar bel berbunyi, cepat amat servisnya, pikirku. Kuambil handuk dan kubelitkan di pinggang,kuminta Desi menutupi tubuhnya dengan selimut. Tanpa pikir panjang kubuka pintu dan.. sungguh sangat mengagetkanku, bukannya Room Service yang nongol ternyata Febi yang berada di depan pintu, aku terkejut tak menyangka kedatangannya karena memang aku tak mengharap kedatangannya kali ini. Kusesali kecerobohanku untuk tidak mengintip terlebih dahulu dari lubang di pintu.
Febi langsung menerobos masuk, seperti biasa seolah tak pernah terjadi sesuatu, dengan manja Febi memelukku seperti layaknya seorang keponakan, kucium pipi kiri kanannya, hal yang biasa kami lakukan, tapi kali ini aku merasakan getaran yang tidak seperti biasanya, aku bisa merasakan tonjolan buah dadanya yang montok mengganjal di dadaku, padahal tak pernah terjadi sebelumnya. Dia langsung nyelonong masuk ke dalam.
“Om lagi mandi ya, malam ini Om harus traktir Febi dan temenin aku.. Mbak Desi!”
Belum sempat dia menyelesaikan kata katanya ketika melihat Desi di ranjang, melihat ke arahku lalu kembali lagi ke Desi. Kami tertangkap basah, tak ada lagi alasan untuk mengelak, aku diam seribu basa menunggu reaksi dari Febi. Sebelum aku tahu harus berbuat apa, Desi bangun dari ranjang, menutupi tubuh telanjangnya dengan selimut lalu menggandeng Febi ke kamar mandi, sekilas kulihat mukanya merona merah seperti orang marah. Kukenakan piyama yang ada dilemari menunggu kedua gadis itu, pasrah menerima nasib selanjutnya, meski tidak terlalu khawatir karena aku juga memegang kartunya Febi. Bel pintu kembali berbunyi ketika kedua gadis itu masih di kamar mandi, ternyata Room Service pesanan kami, mereka keluar sesaat setelah Waitress menutup pintu kamar. Bertiga kami makan dalam kebisuan setelah Desi mengenakan piyama yang sama denganku, dia berbagi makanan dengan Febi karena memang pesanan Cuma untuk kami berdua, tak ada kata yang terucap selama makan.
Aku tak berani membuka topik karena belum tahu bagaimana sikap mereka terhadap kejadian ini.
“Om, kita saling jaga rahasia ya, just keep among us, aku nggak keberatan Om sama Mbak Desi asal Om juga tidak cerita sama Mbak Lily tentang kejadian tadi siang” Febi membuka percakapan, aku merasakan lampu kuning mengarah hijau darinya.
Febi melanjutkan, “Karena tadi Om melihatku sama Doni, aku juga ingin melihat Om sama Mbak Desi” lanjutnya mengagetkan, aku tak tahu apa maunya anak ini.
“Terserah kamu Feb, toh aku juga udah biasa melihat kamu main sama pacar pacarmu” kata Desi lalu duduk dipangkuanku dengan sikap pamer.
Sebenarnya agak segan juga kalau harus melakukannya didepan keponakanku sendiri, tapi Sebelum aku protes, Desi sudah mendaratkan bibirnya di bibirku, tangannya menyelip diselangkanganku, meremas penisku dan mengocoknya. Mau tak mau Kubalas dengan lumatan di bibir dan remasan di buah dadanya, rasa seganku perlahan hilang berganti dengan birahi dan sensasi, Febi seakan tidak melihat kami, menghabiskan sisa makanan yang masih ada di atas meja. Kami saling melepas piyama hingga telanjang di depan Febi. Desi merosot turun diantara kakiku, menjilati dan mengulum kemaluanku. Terkadang kurasakan giginya mengenai batang penis tegangku, maklum masih pemula.
“Feb, lihat punya Om-mu, besar mana sama punya Doni” Desi memamerkan penis tegangku yang ada digenggamannya.
“Wow, gede banget” sahut Febi lalu memandang ke arahku.
“Bisa pingsan kamu kalau segede itu” lanjutnya dengan nada kagum
“Nggak tuh, enak lagi, coba aja sendiri” jawab Desi melanjutkan kulumannya, kulihat Febi menggeser duduknya melihat penisku keluar masuk mulut Desi seakan tak percaya kalau dia bisa melakukannya.
“Akhirnya berhasil juga mendapatkan Om-ku yang selama ini kamu kagumi” seloroh Febi mengagetkanku, Desi hanya tersenyum.
“Mau coba?” goda Desi sambil menyodorkan penisku ke Febi, aku diam saja menunggu reaksi keponakanku, tapi dia diam saja, Desi menjilati penisku seakan memamerkan ke Febi mainannya.
Febi menggeser lagi mendekati kami, Desi menuntun tangan Febi dan menyentuhkannya ke penisku, ada ke-ragu raguan di wajahnya untuk menyentuh penis Om-nya. Wajah putihnya bersemu merah ketika Desi menggenggamkan tangannya ke penisku, dia hanya menggenggam tanpa berani menggerakkan tangannya, memandang ke arahku seolah minta pendapat. Aku diam saja, hanya mengangguk kecil pertanda setuju. Perlahan keponakanku mulai meremas penisku, tangannya yang putih mulus sungguh kontras dengan penisku yang kecoklatan gelap, makin lama gerakannya berubah dari meremas lalu mengocok, sementara Desi masih asyik menjilati kepala penisku sambil mengelus kantong bola. Gerakan mereka mulai seirama, Febi mengocok keras ketika kepala penisku berada di mulut Desi, aku mendesah kenikmatan dalam permainan kedua gadis ini. Ketika Desi menjilati kantong bola, Febi kembali memandangku, kubalas dengan senyum dan anggukan, dia menundukkan kepalanya ke arah penisku, tapi sebelum sampai ke tujuannya Desi memotong.
“Kami sudah telanjang masak kamu masih pakai pakaian lengkap kayak orang mau kuliah, cepat copot gih” katanya kembali menjilat dan mengulum.
Febi terlihat ragu ragu untuk melepas pakaiannya dan telanjang di depanku, dia diam sejenak, aku menghindar ketika dia manatapku, meskipun sebenarnya aku sangat berharap dia melakukannya.
“Kok jadi bengong gitu, kenapa malu, kan Om-mu sudah melihatmu telanjang tadi dan lagian waktu kecil kan sering dimandiin, jadi kenapa risih” goda Desi
Akhirnya Febi tunduk pada godaan Desi, dia membalikkan badan membelakangiku sambil melepas kaos ketatnya, kulihat punggungnya yang mulus dengan hiasan bra hijau muda, bodynya sungguh menggetarkan tanpa timbunan lemak di perutnya, ketika jeans-nya dilepas, aku makin kagum dengan ke-sexy-annya, pantatnya padat membentuk body seperti gitar spanyol nan indah, baru sekarang aku menyadari betapa keponakanku tumbuh menjadi seorang gadis yang menawan, selama ini pengamatan seperti ini telah kulewatkan, aku hanya melihatnya sebagai seorang gadis kecil yang selalu manja, tapi tak pernah melihatnya sebagai seorang gadis cantik yang penuh gairah.
Darahku berdesir makin kencang saat Febi membalikkan badannya menghadapku, buah dadanya yang sungguh montok indah nian terbungkus bra satin, kaki bukitnya menonjol seakan ingin berontak dari kungkungannya, kaki Febi yang putih mulus berhias celana dalam hijau mini di selangkangannya menutupi bagian indah kewanitaannya. Febi menyilangkan tangannya di dadanya seakan menutupi tubuhnya dari sorotan mata nakalku.
“Alaa sok suci kamu, lepas aja BH-mu sekalian” Desi kembali menggoda tapi kali ini Febi tak menurutinya, dengan masih memakai bikini dia ikutan Desi mengeroyok selangkanganku, tangannya berebut dengan Desi mengocokku, kutarik tubuh Desi untuk duduk disampingku, aku ingin melihat saat pertama kali keponakanku menjilat dan mengulum penisku tanpa gangguan Desi.
Mula mula agak ragu dia menjilati kepala penisku tapi akhirnya dengan penuh gairah lidahnya menyusuri seluruh bagian kejantananku sebelum akhirnya memasukkan ke mulutnya yang mungil, aku mendesis penuh kenikmatan saat pertama kali penisku menerobos bibir dan mulut Febi, sungguh kenikmatan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya, kenikmatan yang bercampur dengan sensasi yang hebat, mendapat permainan oral dari keponakanku sendiri. Penisku makin cepat meluncur keluar masuk mulut Febi. Diluar dugaanku ternyata Febi sangat mahir bermain oral, jauh lebih mahir dibandingkan Desi, sepertinya dia lebih berpengalaman dari sobat sekamarnya. Lidah Febi menari nari di kepala penisku saat berada di mulutnya, sungguh ketrampilan yang hanya dimiliki mereka yang sudah terbiasa, aku harus jujur kalau permainan oral keponakanku menyamai tantenya yaitu istriku. Begitu penuh gairah Febi memainkan penisku membuatku terhanyut dalam lautan kenikmatan, kepalanya bergerak liar turun naik diselangkanganku. Aku mendesah makin lepas dalam nikmat.
Desi kembali ke selangkanganku, kini kedua gadis bergantian memasukkan penisku ke mulutnya diselingi permainan dua lidah yang menyusuri kejantananku secara bersamaan, aku melayang makin tinggi. Desi memasang kondom, bentuknya unik berbeda dengan sebelumnya, dikulumnya sebentar penisku yang terbungkus kondom lalu dia naik ke pangkuanku, menyapukan ke vaginanya dan melesaklah penisku menerobos liang kenikmatannya saat dia menurunkan badan.
“Aduuhh.. sshh.. gila Feb, punya Om-mu enak banget, penuh rasanya” komentarnya setelah penisku tertanam semua di liang vaginanya.
Febi duduk di sebelahku melihat sahabatnya merasakan kenikmatan dari Om-nya, aku masih ragu untuk mulai menjamah tubuh Febi, selama ini yang kami lakukan hanya peluk dan cium dari seorang Om kepada keponakannya yang masih kecil, tapi kini aku harus melihatnya sebagai seorang gadis sexy yang menggairahkan. Belum ada keberanianku mulai menikmati tubuh sintal keponakanku, hanya memandang dengan kagum dan penuh hasrat gairah.
“aagghh.. uff.. Feb.. lepas dong bikinimu, kamu harus merasakan nikmatnya Om-mu” Desi ngoceh disela desahannya.
Sepertinya antara aku dan Febi saling menunggu, sama sama risih dan malu untuk mulai, ketika desahan Desi makin liar aku tak tahan lagi, kuraih kepala Febi dalam rangkulanku dan kucium bibirnya. Ada perasaan aneh ketika bibirku menyentuh bibirnya, perasaan yang tidak pernah kujumpai ketika berciuman dengan wanita manapun, mungkin hubungan batin sebagai seorang Om masih membatasi kami. Setelah sesaat berciuman agak canggung, akhirnya kami mulai menyesuaikan diri, saling melumat dan bermain lidah, jauh lebih bergairah dibanding dengan Desi atau lainnya, kami seolah sepasang kekasih yang sudah lama tidak bertemu. Kocokan Desi makin liar tapi lumatan bibir lembut Febi tak kalah nikmatnya.
Agak gemetar tanganku ketika mulai mengelus punggung telanjang Febi, dengan susah payah, meskipun biasanya cukup dengan tiga jari, aku berhasil melepas kaitan bra yang ada di punggung. Masih tetap berciuman kulepas bra-nya, tanganku masih gemetar ketika menyusuri bukit di dada Febi, begitu kenyal dan padat berisi, kuhentikan ciumanku untuk melihat keindahan buah dadanya, jantungku seakan berdetak 3 kali lebih cepat melihat betapa indah dan menantang kedua bukitnya yang berhiaskan putting kemerahan di puncaknya, I have no idea berapa orang yang sudah menikmati keindahan ini.
Desah kenikmatan Desi sudah tak kuperhatikan lagi, kuusap dan kuremas dengan lembut, kurasakan kenikmatan kelembutan kulit dan kekenyalannya, gemas aku dibuatnya. Febi menyodorkan buah dadanya ke mukaku, langsung kusambut dengan jilatan lidah di putingnya dan dilanjutkan dengan sedotan ringan, dia menggelinjang meremas rambutku. Belum puas aku mengulum putting Febi, Desi sudah turun dari pangkuanku, lalu kami pindah ke ranjang, Desi nungging mengambil mengambil posisi doggie, langsung kukocok dia dari belakang sambil memeluk tubuh sexy Febi. Kukulum putting kemerahannya untuk kesekian kalinya bergantian dari satu puncak ke puncak lainnya, Febi mendesis nikmat, inilah pertama kali kudengar desahan nikmat langsung darinya, begitu merangsang dan penuh gairah di telinga.
Tanpa kusadari, ternyata Febi sudah melepas celana dalamnya, aku kembali terkesima untuk kesekian kalinya, selangkangannya yang indah berhias bulu kemaluan yang sangat tipis, bahkan nyaris tak ada, sungguh indah dilihat. Gerakan pinggul Desi makin tak beraturan, antara maju mundur dan berputar, penisku seperti diremas remas di vaginanya, sungguh nikmat, kali ini Desi bisa bertahan lebih lama. Kami berganti posisi, aku telentang diantara kedua gadis cantik ini dengan penis yang masih tegak tegang menantang.
“Feb, gantian, kamu harus coba nikmatnya Om-mu” Desi mempersilahkan Febi, tapi aku menolak dan minta Desi segera naik melanjutkannya.
Terus terang, jauh di lubuk hati ini masih menolak untuk bercinta atau bersenggama dengan Febi, aku masih harus berpikir panjang untuk bertindak lebih jauh dari sekedar oral, saat ini belum bisa menerima untuk melanjutkan ke senggama atau tidak, aku belum tahu. Desi kembali bergoyang pinggul di atasku, Febi kuberi isyarat untuk naik ke kepalaku, dia langsung mengerti, kakinya dibuka lebar di depan mukaku, terlihat dengan jelas vaginanya yang masih kemerahan seperti daging segar, kepalaku langsung terbenam di selangkangannya, lidahku menyusuri bibir dan klitorisnya sambil meremas pantatnya yang padat, desahan Febi bersahutan dengan Desi. Seperti halnya Desi, kedua gadis ini menggoyangkan pinggulnya di atasku, vagina Febi menyapu seluruh wajahku. Febi mendesah keras dan tubuhnya menegang ketika kusedot vaginanya, hampir dia menduduki wajahku. Desi minta bertukar tempat, rupanya dia ingin mendapatkan kenikmatan seperti yang aku berikan ke keponakanku. Kini vagina Desi yang basah tepat di atas mukaku, sementara Febi melepas kondom yang membalut penisku, membersihkan sisa cairan dari vagina Desi dengan selimut lalu mulai menjilatinya.
Rasa asin dari vagina Desi tak kuperhatikan, cairannya menyapu mukaku, sementara kemaluanku sudah mengisi rongga mulut Febi dengan cepatnya. Aku begitu asyik menikmati vagina Desi dengan lidahku, tanpa kusadari Febi sudah mengambil posisi untuk memasukkan penisku ke vaginanya, aku baru tersadar ketika Febi sudah naik di atas tubuhku dan menyapukan penisku ke bibir vaginanya, aku harus mencegahnya, pikirku, karena masih belum memutuskan apakah harus melakukannya, hati kecilku masih belum menerima kalau aku bercinta dengan keponakanku sendiri.
“Febi, jangan”, teriakku.
Tapi terlambat, penisku sudah meluncur masuk ke vagina keponakanku tanpa kondom, sudah terjadi, ada rasa sesal meskipun sedikit sekali. Tapi rasa sesal segera berubah menjadi heran karena begitu mudahnya penisku menerobos liang vaginanya, tidak seperti Desi yang cukup sempit dan kesakitan, tapi Febi sepertinya tidak ada rasa sakit sama sekali ketika vaginanya terisi penisku yang berukuran 17 cm itu. Bahkan dia langsung mengocok dan menggoyang dengan cepatnya seolah tak ada halangan dengan ukuran penisku seperti yang dialami Desi. Goyangan pinggul Febi lebih nikmat dari Desi tapi sepertinya vagina Febi tidak sesempit Desi, tidak ada kurasakan remasan dan cengkeraman otot dari vaginanya, hanya keluar masuk dan gesekan seperti biasa, dalam hal ini vagina Desi lebih nikmat, itulah perbedaan antara Desi dan Febi, meskipun keduanya sama sama nikmat.
Desi turun dari mukaku, kuraih buah dada montok Febi dan kuremas remas gemas penuh nafsu, kutarik Febi dalam pelukanku, kukocok dari bawah dengan cepatnya, desahannya begitu bergairah di telingaku.
“Oh.. yess.. enak banget Om truss.. Febi kaangeen.. Febi cemburuu.. Febi sayang Om.. udah lama Febi menunggu kesempatan ini” desahnya.
Aku kaget ternyata disamping cinta seorang keponakan dia juga menyimpan cinta layaknya seorang gadis pada lawan jenisnya. Kami bergulingan, kini aku di atasnya, kunikmati ekspresi kenikmatan wajah cantik keponakanku yang sedang dilanda birahi tinggi, desahannya makin keras dan liar, rasanya lebih liar dari yang kulihat tadi siang membuatku makin bernafsu mengocok lebih cepat dan lebih keras. Dengan gemas kuciumi pipi Febi, tidak dengan perasaan kasih sayang seperti biasanya tapi penuh dengan perasaan nafsu, kususuri leher jenjangnya yang putih mulus, baru sekarang kusadari betapa menggairahkan tubuh keponakanku ini. Febi menggelinjang dan menjerit ketika lidahku mencapai puncak buah dadanya, kupermainkan putingnya yang kemerahan, dengan kuluman ringan kusedot buah dadanya, itulah yang membuat dia menggelinjang hebat penuh nikmat.
Desi memelukku dari belakang, diciuminya tengkuk dan punggungku, dalam keadaan normal bercinta dengan dua wanita cantik tentulah menyenangkan tapi ini keadaan khusus dimana pertama kali aku mencumbu keponakanku tercinta, aku ingin menikmatinya secara total, keterlibatan Desi sebenarnya kurasakan mengganggu tapi aku tak bisa menyuruhnya pergi, karena dialah aku bisa menikmati tubuh sexy Febi. Tanpa menghiraukan pelukan Desi, kuangkat kedua kaki Febi kepundakku, dengan meremas kedua buah dadanya sebagai pegangan aku mengocoknya keras dan cepat. Febi menjerit keras antara sakit dan nikmat, kepala penisku serasa menyentuh dinding terdalam dari vaginanya, tangannya mencengkeram erat lenganku, matanya melotot ke arahku seakan tak percaya aku melakukan ini padanya, tapi sorot matanya justru menambah tinggi nafsuku, dia kelihatan makin cantik dengan wajah yang bersemu merah terbakar nafsu, lebih menggairahkan dan menggoda, makin dia melotot makin cepat kocokanku, makin keras pula jerit dan desah kenikmatannya. Dan tak lama kemudian dia sampai pada puncak kenikmatan tertinggi.
“Truss.. Om.. Febi mau keluar ya.. truss.. fuck me harder” dia mendesis indah, dan dengan diiringi jeritan kenikmatan panjang dia menggoyang goyangkan kepalanya, cengkeraman di lenganku makin erat, tubuhnya menegang, dia telah mencapai orgasme lebih dulu, kunikmati saat saat orgasme yang dialami Febi.
Inilah pertama kali aku melihat ekspresi orgasme dari keponakanku yang cantik, begitu liar dan menggairahkan, sungguh tak kalah dengan tantenya, istriku. Tubuh Febi perlahan mulai melemah, kuturunkan kakinya dari pundakku lalu kukecup bibir dan keningnya.
“Makasih Om, ini orgasme terindah yang pernah kualami, nanti lagi ya, aku ingin merasakan Om keluar di dalam” katanya mendorong tubuhku turun dari atas tubuhnya.
Desi sudah sampingnya bersiap menerimaku, posisi menungging dengan kaki dibuka lebar, penisku yang masih tegang siap untuk masuk ke vagina lainnya. Rupanya Desi tak pernah melupakan pengamannya, dia memberiku kondom sebelum penisku sempat menyentuh bibir vaginanya, sementara Febi tak peduli dengan hal itu, aku tak khawatir karena memang tidak berniat memuntahkan spermaku di vagina keponakanku. Febi memasangkan kondom di penisku dan kembali untuk kesekian kalinya penisku menguak celah sempit di antara kaki Desi, sungguh sempit, meski udah beberapa kali kumasuki tapi masih tetap saja terasa mencengkeram pada mulanya.
Berbeda dengan punya Febi yang langsung bisa “melahap” semuanya, Desi meringis sebentar saat penisku kudorong menguak vaginanya, cukup lama sebelum akhirnya aku bisa mengocoknya dengan normal, sesekali hentakan keras menghunjam membuatnya teriak entah sakit atau enak. Kupegangi pantatnya yang padat berisi, kocokanku makin cepat, desahan Desi begitu juga makin keras terdengar, kuraih buah dadanya yang menggantung dan kuremas sambil tetap mengocoknya. Terus terang setelah merasakan nikmatnya bercinta dengan keponakanku, terasa Desi begitu hambar, padahal saat pertama tadi dia begitu menggairahkan, kini aku hanya berusaha untuk memuaskan dia sebagai balas jasa dan secepat mungkin mencapai orgasme dengannya supaya berikutnya aku bisa lebih “all out” dengan Febi.
Kocokan kerasku membawa Desi lebih cepat ke puncak kenikmatan, tangan Desi dan Febi saling meremas, teriakan orgasme Desi mengagetkanku, apalagi diiringi dengan denyutan dan remasan kuat dari vaginanya, penisku seperti diremas remas, sungguh nikmat yang tak bisa kudapat dari Febi, akhirnya akupun harus takluk pada kenikmatan cengkeraman vagina Desi, menyemprotlah spermaku di dalam vaginanya. Kembali dia menjerit merasakan denyut kenikmatan penisku, kami saling memberi denyutan nikmat, lebih nikmat dari yang kudapat tadi. Tubuhku langsung ambruk di atas punggun Desi, kami bertiga telentang dalam kenangan dan kenikmatan indah. Aku telentang di antara dua gadis cantik yang menggairahkan, Desi melepas kondom, sungguh tak menyangka kalau aku akhirnya bercinta dengan keponakanku sendiri yang sangat sexy dan menggairahkan. Diusianya yang belum 23 tahun dia terlalu pintar bermain sex apalagi permainan oralnya, sungguh sukar dipercaya kalau dia mampu melakukannya dengan sangat baik.
Setelah kudesak akhirnya dia mengakui bahwa dia sudah sering melakukannya sejak setahun yang lalu. Pertama kali yang menikmati keperawanannya adalah P. Freddy, dosennya sendiri, seorang duda berumur hampir 50 tahun, orangnya jauh dari simpatik, justru lebih mendekati sadis, karena wajahnya tipikal orang maluku yang keras. Untuk mendapatkan nilai lulus dari dia akhirnya Febi harus menyerahkan keperawanannya, kalau tidak dia tidak akan bisa melewati tahap persiapan yang berakibat Drop Out. Dengan perasaan jijik Febi menyerahkan kehangatan dan kesuciannya pada si tua bangka, seminggu sekali dia terpaksa harus melayani nafsu bejat si dosen, setelah berjalan dua bulan dan merasakan nikmatnya bercinta akhirnya keterpaksaan itu berubah menjadi ketergantungan, bukan lagi P. Fredy yang memaksa tapi terkadang justru Febi yang minta karena dia tidak mungkin melakukannya dengan orang lain. Hingga akhirnya dia menemukan teman kuliah pujaan hati, tapi begitu sampai ke urusan sex ternyata Febi masih tidak bisa melupakan keperkasaan P. Fredy, jadi dia tetap melakukannya dengan si dosen untuk mendapatkan kepuasan, pacarnya tidak pernah memperlakukan Febi seperti yang dilakukan P. Fredy, perlakuannya begitu sabar dan kebapakan dan dia selalu memenuhi apa yang Febi inginkan, tak pernah memaksa dan selalu sopan di ranjang, begitu romantis hingga Febi makin terhanyut dalam pesona si dosen, dari keterpaksaan menjadi ketergantungan. Semua berakhir setelah P. Fredy mendapat Profesor dan promosi dipindah tugas ke Ujung Pandang. Untuk memenuhi ketergantungannya Febi sering melakukannya dengan pacarnya, tapi sosok permainan sex seperti P. Fredy tak pernah dia dapatkan dari sang pacar. Entah sudah berapa kali dia ganti pacar, tak pernah lebih dari 3 bulan mereka pacaran, selalu diawali dan diakhiri di ranjang.
Cerita Febi sungguh mengagetkanku, rupanya selama ini aku dan istriku terlalu memandang enteng masalah yang dihadapi Febi, tak pernah memberi solusi yang kondusif, kini baru kusadari hal itu. Istriku pernah cerita kalau Febi ingin mendapatkan suami seperti Om-nya, aku, sabar penuh pengertian dan kebapakan, hal yang tidak pernah dia terima dari ayah kandungnya. Diam diam dia mengagumiku, aku tak menyangka kalau kekagumannya ternyata lebih jauh dari sekedar seorang Om.
“Om Febi cemburu sekali ketika melihat Om sama Mbak Lily bercinta, begitu penuh perasaan dan gairah” katanya sambil kepalanya disandarkan di dadaku.
“Oh ya? kapan dan dimana” tanyaku kaget
“Di rumah, ketika direnovasi, hampir tiap kali aku mendengar desahan dari Mbak Lily aku naik dan mengintip dari celah celah bangunan yang belum selesai itu, setelah itu aku tak bisa tidur sampai pagi, sejak itu aku bertekad untuk bisa merasakan nikmat seperti itu dari Om, bahkan aku ingin lebih dari itu” katanya.
Berarti sejak dia kelas 3 SMA dia sudah melihat kami berhubungan.
Mendengar penuturan Febi gairahku kembali naik, penisku menegang dalam genggaman Febi, Desi tertidur di samping kami, mungkin kelelahan setelah mendapat 2 kali orgasme berurutan dariku.
“Di sofa yuk Om, Febi udah lama nggak bermain di sofa sejak terakhir kali dengan P. Fredy” ajaknya seraya bangun dan menarikku.
Febi langsung duduk di sofa dan membuka kakinya, aku tak mau langsung melakukannya, kucium bibirnya lalu turun ke leher dan berhenti di kedua bukitnya, dengan gemas kuciumi bukit di dadanya, kombinasi jilatan dan kuluman membuat dia mendesah.
Sengaja kutinggalkan beberapa bekas kemerahan di buah dadanya supaya dia berhenti melakukan dengan pacarnya untuk beberapa hari. Dia cemberut ketika tahu ada kemerahan di dadanya tapi justru kecemberutannya makin menambah kecantikan wajahnya. Bibirku menyusuri perutnya lalu berhenti di selangkangannya, terasa asin ketika lidahku menyentuh vaginanya, mungkin cairan ketika dia orgasme tadi. Tangannya meremas rambutku ketika lidahku menari nari di bibir vaginanya, kakinya menjepit kepalaku, aku makin bergairah mempermainkan vaginanya dengan bibirku.
“Udah.. udah.. Om.. sekarang.. Febi udah nggak tahan nih” desahnya menarik rambutku.
Aku berdiri, kusodorkan penisku ke mulutnya, dia menggenggam dan mengocoknya, memandang ke arahku sejenak sebelum menjilati dan memasukkan penisku ke mulutnya. Tanpa kesulitan, segera penisku meluncur keluar masuk mulut mungil keponakanku yang cantik, kembali kurasakan begitu pintar dia memainkan lidahnya. Antara jilatan, kuluman dan kocokan membuatku mulai melayang tinggi. Puas dengan permainan oral-nya, aku lalu jongkok di depannya, dia menyapukan penisku ke vaginanya, dia menatapku dengan pandangan penuh gairah, aku jadi agak malu memandangnya, namun nafsu lebih berkuasa, dengan sekali dorong melesaklah penisku kembali ke vaginanya, dia masih tetap menatapku ketika aku mulai mengocoknya. Kakinya menjepit pinggangku, kutarik dia dalam pelukanku, kudekap erat hingga kami menyatu dalam suatu ikatan kenikmatan birahi, saling cium, saling lumat.
Febi mendesah liar seperti sebelumnya, kurebahkan dia di sofa lalu kutindih, satu kaki menggantung dan kaki satunya dipundakku. Aku tak pernah bosan menikmati ekspresi wajah innocent yang memerah penuh birahi, makin menggemaskan. Buah dadanya bergoyang keras ketika aku mengocoknya, dia memegangi dan meremasnya sendiri. Kuputar tubuhnya untuk posisi doggie, dia tersenyum, tanpa membuang waktu kulesakkan penisku dari belakang, dia menjerit dan mendorong tubuhku menjauh, kuhentikan gerakanku sejenak lalu mengocoknya perlahan, tak ada penolakan. Kupegang pantatnya yang padat berisi, Febi melawan gerakan kocokanku, kami saling mengocok, dia begitu mahir mempermainkan lawan bercintanya.
Aku bisa melihat penisku keluar masuk vagina keponakanku, kupermainkan jari tanganku di lubang anusnya, dia menggeliat ke-gelian sambil menoleh ke arahku. Kuraih buah dadanya yang menggantung dan bergoyang indah, kuremas dengan gemas dan kupermainkan putingnya. Aku sepertinya benar benar menikmati tubuh indah keponakanku dengan berbagai caraku sendiri, ada rasa dendam tersendiri di hatiku, kalau orang lain telah menikmatinya, aku sebagai orang yang membesarkannya tentu ingin menikmatinya lebih dari lainnya, tak ada yang lebih berhak dari aku. Kuraih tangannya dan kutarik kebelakang, dengan tangannya tertahan tanganku, tubuh Febi menggantung, aku lebih bebas melesakkan penisku sedalam mungkin. Desah kenikmatan Febi mekin keras memenuhi kamar ini. Kudekap tubuhnya dari belakang, kuremas kembali buah dadanya, penisku masih menancap di vaginanya, kuciumi telinga dan tengkuknya, geliat nikmat Febi makin liar.
“Aduh oom.. enak banget Omm, Febi sukaa, trus Om”
Kulepaskan tubuh Febi, kambali kami bercinta dengan doggie style, tak terasa lebih setengah jam kami bercinta, belum ada tanda tanda orgasme diantara kami. Kami berganti posisi, Febi sudah di pangkuanku, tubuhnya turun naik mengocokku, buah dadanya berayun ayun di mukaku, segera kukulum dan kusedot dengan penuh gairah hingga kepalaku terbenam diantara kedua bukitnya. Gerakan Febi berubah menjadi goyangan pinggul, berputar menari hula hop di pangkuanku, berulang kali dia menciumiku dengan gemas, sungguh tak pernah terbayangkan kalau akhirnya aku bisa saling mengulum dengannya. Tak lama kemudian, tiba tiba Febi menghentikan gerakannya, dia juga memintaku untuk diam.
“Sebentar Om, Febi nggak mau keluar sekarang, masih banyak yang kuharapkan dari Om” katanya sambil lebih membenamkan kepalaku di antara kedua bukitnya, aku hampir tak bisa napas.
“Kamu turun dulu” pintaku
“Tapi Om, Febi kan belum” protesnya
“Udahlah percaya Om” potongku
Kutuntun dan kuputar tubuhnya menghadap dinding, kubungkukkan sedikit lalu kusapukan penisku ke vaginanya dari belakang, Febi mengerti maksudku, kakinya dibuka lebih lebar, mempermudah aku melesakkan penisku. Tubuhnya makin condong ke depan, desah kenikmatan mengiringi masuknya penisku mengisi vaginanya.
“ss.. aduuh Om, enak Om.. belum pernah aku.. aauu” desahnya sambil membalas gerakanku dengan goyangan pinggulnya yang montok.
Kami saling bergoyang pinggul, saling memberi kenikmatan sementara tanganku menggerayangi dan meremas buah dadanya. Nikmat sekali goyangan Febi, lebih nikmat dari sebelumnya, berulang kali dia menoleh memandangku dengan sorot mata penuh kepuasan, mungkin dia belum pernah melakukan dengan posisi seperti ini. Tubuhnya makin lama makin membungkuk hingga tangannya sudah tertumpu meja sebelah. Kudorong sekalian hingga dia telungkup di atasnya, aku tetap masih mengocoknya dari belakang, dia menaikkan satu kakinya di pinggiran meja, penisku melesak makin dalam, kocokanku makin keras, sekeras desah kenikmatannya. Kubalikkan tubuhnya, dia telentang di atas meja, kunaikkan satu kakinya di pundakku, kukocok dengan cepat dan sedalam mungkin.
“ss.. eegghh.. udaahh oom, Febi nggaak kuaat, mau keluar niih” desahnya
“Sama Om juga”
“Kita sama sama, keluarin di dalam saja, aman kok, Febi pake pil, jangan ku.. aa.. sshhiit” belum sempat dia menyelesaikan kalimatnya ternyata sudah orgasme duluan, aku makin cepat mengocoknya, tak kuhiraukan teriakan orgasme Febi, makin keras teriakannya makin membuatku bernafsu. Semenit kemudian aku menyusulnya ke puncak kenikmatan, kembali dia teriak keras ketika penisku berdenyut menyemprotkan sperma di vaginanya. Aku telah membasahi vagina dan rahim keponakanku dengan spermaku, dia menahanku ketika kucoba menarik keluar.
“Tunggu, biarkan keluar sendiri” cegahnya, maka kutelungkupkan tubuhku di atas tubuhnya, kucium kening dan pipinya sebelum akhirnya kucium bibirnya.
“Makasih Om, permainan yang indah, the best deh pokoknya” bisiknya menatapku tajam.
Kuhindari tatapannya, tak sanggup aku melawan tatapan tajam keponakanku itu.
Jarum jam masih menunjukkan pukul 17:30, entah sudah berapa lama aku melayani kedua gadis ini, gelapnya malam mulai menyelimuti Kota Semarang, para pedagang kaki lima di simpang lima sudah mulai menata dagangannya. Aku sempat tertidur sejenak diantara kedua gadis itu sebelum mereka membangunkanku untuk makan malam, jam 19:30. Kami memutuskan untuk makan di luar sambil shoping di Mall sebelah hotel. Ternyata mereka lebih senang shopping lebih dulu dari pada makan malam, padahal aku sudah lapar akibat bekerja terlalu keras, terpaksa aku memenuhi keinginan kedua gadis itu. Diluar dugaanku justru mereka memilih untuk belanja parfum, lingerie dan pakaian dalam, aku ikutan memilihkan untuk mereka, tentu saja yang kuanggap sexy, tak jarang aku diminta memberikan penilaian ketika mereka mencoba bra di ruang ganti, tentu dengan senang hati aku memenuhinya. Tak lupa kami membeli beberapa VCD porno di pinggiran jalan.
Kami kembali ke hotel hampir pukul 22:00, kuminta mereka memakai apa yang baru mereka beli, sungguh sexy dan menggairahkan kedua bidadari itu mengenakan pakaian dalam yang serba mini pilihanku, hampir semuanya dicoba, tapi aku sudah tak tahan lagi melihat penampilan mereka. Saat mereka berganti lagi untuk ketiga kalinya, aku sudah tak sanggup menahan lebih lama lagi, terutama melihat tubuh sexy Febi, kutarik mereka ke ranjang dan kucumbui mereka bersamaan, kami saling bergulingan seperti anak kecil sedang bermain main. Mereka berebutan melepas pakaian dan celanaku, bahkan suit untuk menentukan siapa yang melepas celana dalamku. Bersama sama mereka mulai menjilati dan mengulum penisku, kedua lidah gadis itu secara bersamaan menyusuri penis dan kantong bola dengan gerakan berbeda, aku segera melayang tinggi didampingi kedua bidadari ini.
“Om percaya nggak, Desi itu udah lama lho kagum sama Om, jadi ini sudah menjadi fantasinya” kata Febi disela kulumannya.
“Ih kamu buka rahasia deh” Desi yang sedang menjilati pahaku mencubih Febi, mereka berdua tertawa sambil terus menjilatiku.
Kedua tanganku meremas remas dua buah dada yang berbeda, baik kekenyalan maupun besarnya, punya Febi lebih besar tapi Desi lebih kenyal dan padat. Febi lebih cepat mengambil inisiatif, kakinya dilangkahkan ke tubuhku hingga posisi 69, Desi yang kalah cepat bergeser di antara kakiku, sambil menjilati Febi aku masih bisa merasakan kuluman dari dua mulut yang berbeda. Ketika Febi menegakkan tubuhnya melepaskan kulumannya pada penisku, Desi segera mengambil posisi untuk memasukkan penisku ke vaginanya, rupanya takut keduluan Febi dia tak mempedulikan lagi kondomnya seperti sebelumnya, kurasakan vaginanya yang rapat mencengkeram erat penisku, apalagi tanpa kondom, kurasakan makin kuat mencengkeram, hingga semua tertanam dia tak berani bergerak.
“Om kalo keluar bilang ya” rupanya dia masih sedikit sadar
Perlahan tubuhnya turun naik dan mulai menggoyangkan pinggul, penisku terasa diremas dengan hebat, gerakannya makin cepat dan tidak beraturan. Tak lebih lima menit dia turun dari tubuhku.
“Feb, giliranmu, aku nggak udah tahan, bisa keluar duluan aku nanti, habis enak banget sih” katanya.
Mereka bertukar posisi, sepeti sebelumnya penisku langsung masuk ke vagina Febi tanpa hambatan yang berarti, berbeda dengan Desi yang mendiamkan sesaat sebelum mengocok, tubuh Febi langsung turun naik dengan cepatnya, pinggangnya berputar putar sambil tangannya mengelus kantong bola. Aku tak bisa melihat ekspresi wajah Febi karena mukaku tertutup pantat Desi yang tepat berada di atasku dengan vagina terbuka lebar. Jerit dan desahan kedua gadis di atasku saling bersahutan merasakan kenikmatan yang berbeda.
Tak lama kemudian Febi turun, Desi mengikutinya, kedua gadis itu lalu telentang bersebelahan dan membuka kakinya lebar lebar seakan mempersilahkan aku untuk memilihnya, aku bingung, kutatap mata keduanya, sama sama memberikan pandangan yang menggairahkan. Aku yakin Desi tidak bisa bertahan lama, maka kupilih Desi duluan supaya aku bisa menikmati Febi lebih lama dan memuntahkan spermaku ke vagina keponakanku itu.
“Om janji ya kalo keluar di luar saja” katanya ketika aku mendekatinya.
“Kalo aku nggak mau” godaku
“Pleese” Desi memelas
Tanpa menjawab lagi kusapukan penisku ke vaginanya dan mendorongnya masuk perlahan lahan.
“Pelan pelan Om, ini pertama kali aku nggak pake kondom” katanya pelan ketika penisku mulai menerobos liang kenikmatannya.
Kutelungkupkan tubuhku menindih tubuhnya setelah penisku masuk semuanya, pantatku mulai turun naik di atas tubuhnya, desah kenikmatan mengiringi kocokanku. Febi bergeser di belakangku, rupanya dia mengatur kaki Desi, diletakkannya menjepit pinggangku, penisku makin dalam mengisi liang kenikmatannya. Kukocok dia dengan cepat dan keras, kuhentakkan sedalam mungkin, tak kupedulikan desahan kenikmatannya, aku ingin segera membuatnya orgasme dan secepatnya beralih ke tubuh keponakanku yang sedang menunggu giliran. Diluar dugaanku, ternyata Desi tidak segera orgasme seperti perkiraanku, gerakannya malah semakin liar mencengkeramku, justru hampir saja aku keluar duluan kalau tidak segera kuhentikan gerakanku dan kucabut penisku dari vaginanya.
Desi tersenyum penuh kemenangan melihat aku hampir kalah, kuambil napas dalam dalam lalu kutahan dan kuhembuskan pelan pelan. Febi sudah bersiap di sampingnya dengan posisi nungging, kuturunkan teganganku dengan menciumi pantat Febi, menjilati vagina dan anusnya, dia menggeliat geli, kukocok vaginanya dengan dua jariku, dia mendesis. Setelah kurasa aku siap maka langsung kumasukkan penisku ke liang Febi dengan sekali dorong disusul kocokan cepat, dia menjerit nikmat lepas.
“Des, remas dadanya” perintahku sambil mengocoknya keras, Desi memandangku bingung, kuraih tangannya dan kuletakkan di dada Febi, kedua gadis itu kelihatan risih tapi aku tak peduli, kupaksa Desi meremasnya. Akhirnya Febi bisa menerima remasan Desi di buah dadanya, aku makin bergairah melihatnya, apalagi ketika Desi meremas kedua buah dada yang menggantung itu. Nafsuku makin meninggi ketika Febi membalas meremas buah dada Desi, mereka saling meremas buah dada.
Aku terkejut ketika Febi mengambil inisiatif lebih jauh, tiba tiba dia menciumi buah dada Desi dan menjilati putingnya, mulanya Desi tertawa geli menerima hal itu, tapi kemudian dia ikutan mendesah dan meremas rambut Febi yang ada di dadanya. Aku makin bergairah dibuatnya, kocokanku makin cepat dan liar, seliar sedotan Febi pada buah dada sahabatnya. Desi menyusupkan tubuhnya di bawah Febi, kepalanya tepat di bawah bukit yang menggantung, mereka saling mengulum buah dada seperti permainan lesbi meski aku yakin mereka bukan golongan itu.
Imajinasiku makin liar melihat kenakalan mereka, kuminta Desi nungging di atas Febi, tubuhnya menempel rapat di punggungnya, memeluk rapat dari belakang, vaginanya tepat di atas pantat Febi, masih tetap mengocok Febi kumasukkan dua jariku ke liang kenikmatannya, kedua gadis itu mendesah bersahutan. Kutarik keluar penisku dan segera beralih ke liang kenikmatan di atasnya, masih saja kurasakan rapatnya vagina Desi, nikmat yang berbeda dari dua vagina. Kocokanku berpindah dari satu vagina ke vagina lainnya. Aku tak tahu harus mengakhirinya di mana, hampir saja aku orgasme ketika tiba tiba kudengar bunyi HP-ku. Ingin kuabaikan tapi deringnya terasa mengganggu.
“Terima dulu Om, siapa tahu penting, atau mungkin dari Mbak Lily” kata Febi ketika aku sedang mengocok vagina di atasnya.
Terpaksa kutinggalkan kedua vagina yang sedang penuh gairah itu, benar saja istriku menelpon, aku menjauhi mereka, duduk di sofa supaya tidak terdengar suara napas mereka yang sedang ngos-ngosan. Kedua gadis itu menyusulku, Desi bersimpuh di antara kakiku sedangkan Febi duduk di sebelahku, menempelkan telinganya di HP, ikutan mendengar pembicaraanku dengan tantenya, sambil tangannya mengocok penisku bersamaan dengan lidah dan mulut Desi yang menari nari di penisku yang masih menegang. Handphone kuberikan ke Febi ketika istriku mau bicara padanya, akupun tak mau berlama lama bicara sama istriku dalam keadaan seperti ini, bisa bisa bicara sambil mendesah.
“Ya Mbak, ini Om mau antar Febi pulang, udah malam, lagian besok kan kuliah.. agak siang sih, jam 11 pagi kuliahnya.. tapi Febi belum pamit sama ibu Kost, ntar dicari”
Untungnya Febi mengikuti pembicaraan kami tadi hingga bisa langsung nyambung, kubalas Febi dengan mengulum putingnya ketika bicara sama tantenya, dia melototiku.
“..oke deh Mbak, nanti Febi telpon ke kost deh” jawabnya mengakhiri pembicaraan.
“Nakal ya, awas Febi balas” katanya lalu jongkok di sebelah sahabatnya, bersamaan mereka mengulum penisku, lidah kedua gadis itu menyusuri penisku kembali, aku mendesah sambil meremas rambut keduanya. Begitu nikmat permainan dua lidah, apalagi ketika bibir keponakanku mulai meluncur di batang kemaluanku, sementara sobatnya mempermainkan kantong bola dengan lidahnya, membawaku melayang tinggi dalam kenikmatan.
Akhirnya aku menyerah dalam permainan dua mulut mereka, menyemprotlah spermaku ketika berada di mulut Desi, segera dia menarik keluar tapi terlambat, beberapa semprotan sudah membasahi tenggorokannya. Febi segera meraih penisku dan langsung memasukkan ke mulut mungilnya, semprotanku sempat mengenai wajah dan rambut Desi sebelum akhirnya habis dalam kuluman keponakanku, sedikit tetesan keluar dari celah bibirnya, dia menyedot habis semburan demi semburan hingga tetes terakhir tanpa mengeluarkan dari mulutnya. Kedua gadis itu lalu menyapukan penisku yang sudah lemas ke wajahnya.
Malam itu kuhabiskan dengan mengarungi lautan kenikmatan bersama keponakanku dan sahabatnya, sepertinya mereka tak ada kata puas merengkuh kenikmatan demi kenikmatan, bergantian aku harus melayani mereka sampai kewalahan melayaninya, tapi dengan bantuan film VCD yang kami putar di Laptop, sedikit banyak aku bisa mengimbangi permintaan mereka. Entah jam berapa kami baru bisa tertidur, “terpaksa” aku pulang dengan pesawat terakhir ke Jakarta besoknya, “tak tega” meninggalkan keponakanku tercinta berikut sobat karibnya.
Pesanku sebelum meninggalkannya di airport, jangan merusak rumah tangga orang, jangan merebut suami orang, dan yang paling penting, jangan sampai hamil. Suatu pesan yang tak layak disampaikan seorang paman kepada keponakannya, apa boleh buat, tak mungkin aku menyadarkan Febi dari kelakuannya kalau aku sendiri berperilaku sama, bahkan meniduri keponakanku.
Langgan:
Catatan (Atom)